Luthfi T. Dzulfikar, The Conversation
Hampir 3 bulan sejak COVID-19 dinyatakan sebagai pandemi global oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah infeksi kini telah melebihi enam juta jiwa dengan hampir 400 ribu kasus kematian.
Berbagai negara kini berlomba-lomba mengembangkan vaksin. Hingga 2 Juni, terdapat 133 proyek pengembangan vaksin COVOD-19. Sepuluh di antaranya yang telah memasuki tahapan uji klinis.
Indonesia sendiri telah memulai upaya pengembangan vaksin dengan membentuk Konsorsium COVID-19 pada akhir Maret. Konsorsium ini terdiri dari instansi pemerintahan seperti Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) dan Lembaga Biologi Molekuler (LMB) Eijkman, berbagai perguruan tinggi, dan juga perwakilan industri farmasi seperti BUMN PT Biofarma.
Hingga kini, konsorsium tersebut telah berhasil menggalang lebih dari Rp 200 milyar dari berbagai sumber, dengan Rp 5 milyar di antaranya dianggarkan untuk pengembangan vaksin COVID-19.
Baca juga: COVID-19 tiba di Indonesia, riset: penolakan vaksinasi menurun drastis saat wabah terjadi
Pada umumnya, pengembangan vaksin semestinya mencapai 5-15 tahun. Namun, di tengah pandemi yang telah membunuh hampir 400 ribu nyawa dan memperlambat ekonomi dunia, berbagai tim riset mencoba melakukannya hanya dalam 2 tahun.
Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro sendiri menargetkan bahwa Konsorsium COVID-19 akan memiliki prototipe vaksin pada bulan April 2021, untuk kemudian siap dilakukan pengujian pada manusia.
Apa saja yang harus dilalui dalam pengembangan vaksin ini?
Prototipe vaksin ditargetkan siap awal 2021
Ni Nyoman Puspaningsih, koordinator Tim Riset COVID-19 di Universitas Airlangga mengatakan bahwa langkah awal yang harus dilakukan adalah memetakan urutan genom dari coronavirus pasien yang ada di Indonesia.
“Ini penting untuk melihat apakah Indonesia ada bedanya dengan negara Asia lainnya atau Eropa atau Amerika, ada mutasi atau tidak. Kalau beda, desain vaksin yang tepat menjadi penting karena belum tentu cocok dengan yang ada di negara lain,” katanya.
Pada awal Mei lalu, LBM Eijkman pertama kalinya mengirimkan tiga urutan genom coronavirus di Indonesia kepada GISAID, bank data virus influenza terbesar di dunia.
Sejauh ini, Konsorsium COVID-19 telah menyelesaikan sembilan urutan - tujuh dari Eijkman dan dua dari Universitas Airlangga.
“Karena urutan genom lengkap dari virus COVID19 [di Indonesia] sudah ada datanya, sehingga sekarang bisa mulai mendesain vaksin. Ini tahapan awal yang diperlukan,” tambah Nyoman.
Desain dari vaksin yang digunakan berbagai negara dan tim riset di dunia bervariasi. Terdapat desain vaksin yang bekerja dengan pelemahan virus, rekayasa asam nukleat, hingga memasukkan sebagian protein virus ke dalam sel perantara.
Konsorsium COVID-19 sendiri mengumumkan pada pertengahan Mei lalu akan mengembangkan vaksin yang berbasis pada metode terakhir di atas, atau umumnya disebut dengan ‘protein rekombinan’.
Metode ini adalah yang umumnya digunakan untuk memproduksi vaksin Hepatitis B, dan juga merupakan desain yang dipilih oleh perusahaan farmasi dari Amerika Serikat (AS), Novavax - satu dari sepuluh pengembang vaksin COVID-19 yang tercatat telah memasuki tahap pengujian klinis.
Baca juga: Alasan mengapa WHO mengatakan vaksin COVID-19 baru ada dalam 18 bulan
“Masing-masing negara pun bisa berbeda, mana [protein] yang bisa menimbulkan stimulan antibodi yang tinggi, karena setiap protein dari virus ini berbeda,” terang Kambang Sariadji, seorang peneliti biomedis di Litbangkes Kementerian Kesehatan.
“Terkadang protein A bisa tingkatkan 90% antibodi, kadang B 70%. Harus diuji [di laboratorium] mana yang lebih kuat antigenitasnya.”
Sama seperti target Menristek, Konsorsium COVID-19 berencana menghasilkan kandidat vaksin yang siap diuji secara klinis paling lambat bulan April 2021.
Pengujian dan produksi massal
Biasanya, sebelum memasuki pengujian pada manusia, kandidat vaksin diuji efektivitas dan juga keamanannya pada sel dan hewan dalam suatu laboratorium dengan tingkatan keamanan Bio-Safety Level (BSL) 3.
Namun, Kambang mengatakan bahwa pada masa darurat pandemi, pengembangan vaksin bisa langsung lompat ke pengujian klinis pada manusia, sebelum pada akhirnya mengajukan izin ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan diproduksi masal.
Beberapa pengembang virus termasuk perusahaan bioteknologi AS Moderna, misalnya, melewati tahap uji pada hewan. Mereka memasuki tahap uji klinis hanya kurang dari tiga bulan sejak genom coronavirus pertama di terbitkan di bank data biologis Genbank.
“Tahap pra-klininik ada sebetulnya dilakukan dengan hewan cobaan, tapi nanti [dalam masa pandemi] bisa dipotong. Langsung saja begitu antigen-nya kuat, diuji pada manusia secara klinis,” katanya.
Meskipun demikian, hal ini masih menjadi perdebatan. Beberapa peneliti mengimbau bahwa tingkat keamanan vaksin akan dikorbankan apabila memotong langkah pengujian pra-klinis dan klinis.
Tahapan uji klinis sendiri memiliki tiga fase pengujian.
- Pertama, pada sampel yang kecil untuk melihat respon antibodi.
- Kedua, pada sampel yang lebih besar dengan karakter pasien yang paling rawan terkena virus
- Ketiga, pada jumlah yang massal - ratusan atau ribuan pada beberapa lokasi yang berbeda - untuk melihat efektivitas pada jangka waktu tertentu.
“Begitu lolos uji fase satu, dua dan tiga, maka PT Biofarma akan produksi secara massal, setelah itu akan disampaikan melalui Dinas Kesehatan seluruh masyarakat untuk bisa diimunisasi vaksin COVID-19,” kata Kambang.
“Dari situ diharapkan dengan 80% yang diimunisasi timbul herd immunity [kekebalan kelompok]. Mungkin awalnya proyek pilot di provinsi atau kabupaten, kalau bagus lanjut provinsi lainnya.”
David Handojo Muljono, Deputi Direktur LBM Eijkman mengatakan ada kepentingan tersendiri untuk Indonesia bisa mengembangkan vaksin secara mandiri dan tidak bergantung pada negara lain.
“Ini semua negara butuh, rebutan. Bayangkan kalau negara lain [sudah mengembangkan terlebih dahulu] akan dia jual ke kita dengan harga mahal. Jadi kalau bisa kita buat efisien dan lebih ringan dan bisa produksi dalam negeri, itu aspek-aspek yang harus dipikirkan,” katanya.
Luthfi T. Dzulfikar, Associate Editor, The Conversation
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
___________________________________________