Penelitian tentang obat-obat yang berpotensi melawan COVID-19 terus dilakukan di seluruh dunia. Sebelumnya hidroklorokuin juga dipercaya bisa melawan infeksi virus ini. Tetapi riset terbaru di AS dan Kanada menyatakan bila hidroklorokuin tidak memberi perlindungan pencegahan terhadap COVID-19.
Riset tersebut menyatakan minum hidroklorokuin segera setelah terpapar SARS-CoV-2 tidak membantu mencegah infeksi. Sebelumunya, obat ini bahkan dipuji oleh President AS, Donald Trump, yang mengatakan dia menggunakannya sebagai profilaksis (pencegahan) terhadap virus corona baru ini.
Sebagai informasi, hidroklorokuin telah digunakan selama beberapa dekade sebagai obat antimalarial dan untuk pengobatan infeksi protozoa lainnya. Penggunaannya juga diperluas dalam pengobatan penyakit lupus dan rheumatoid arthritis. Obat ini digunakan, secara eksperimental, untuk mengobati SARS pada tahun 2003.
Tetapi uji coba yang melibatkan 821 orang di AS dan Kanada menunjukkan bila efek hidroklorokuin tidak memiliki perbedaan signifikan dibandingkan obat plasebo dalam pencegahan infeksi COVID-19. Riset ini dipimpin oleh tim dari University of Minnesota, AS, dan telah diterbitkan di New England Journal of Medicine.
Partisipan adalah orang dewasa yang terdeteksi melakukan kontak dengan pasien positif COVID-19 selama lebih dari 10 menit pada jarak sekitar dua meter. Mayoritas dari mereka (719) dianggap memiliki ‘risiko tinggi’ terpapar karena tidak memakai masker atau pelindung mata saat itu, sementara sisanya tergolong ‘risiko sedang’ karena mereka menggunakan masker tetapi tidak memakai kacamata (goggles).
Seluruh partisipan secara acak mendapatkan hidroklorokuin atau obat plasebo (obat kosong yang tidak mengandung zat aktif) selama empat hari. Kemudian peneliti mengamati seberapa banyak pasien yang berkembang menjadi positif COVID-19 dalam dua minggu berikutnya, yang dikonfirmasi baik lewat tes lab atau gejala klinisnya.
Peneliti menemukan 49 dari 414 orang yang mendapatkan hidroklorokuin positif terinfeksi virus corona, dibandingkan dengan 58 pada 407 orang kelompok plasebo. Ini juga berarti 11,83% partisipan yang mendapatkan obat antimalaria tersebut terinfeksi, verus 14,25% dari kelompok plasebo.
Mengingat ukuran sempel, perbedaan sekitar 2,4% poin dalam mendukung efek obat tidak dianggap signifikan secara statistik, yang berarti itu bisa terjadi karena kebetulan.
Efek samping terlihat lebih sering pada kelompok hidroklorokuin dibanding plasebo, yakni 40,1% vs 16,8%, tetapi tidak ada efek samping serius yang dilaporkan.
“Percobaan ini tidak menunjukkan manfaat yang signifikan dari hidroklorokuin sebagai obat pencegahan COVID-19,” tulis peneliti dalam laporannya.
Hasil penelitian ini ditunggun-tunggu karena itu adalah uji coba terkontrol acak (randomized controlled trial), percobaan yang dirancang dengan hati-hati dan dianggap sebagai ‘gold standard’ untuk menyelidiki hasil klinis.
Beberapa penelitian sebelumnya pada obat ini – yang menjadi sorotan banyak media di dunia – sifatnya adalah ‘observasional,’ yang berarti melihat kembali apa yang sudah terjadi. Dengan demikian, lebih banyak variabel dibiarkan berubah dan umumnya lebih sulit untuk menarik kesimpulan tegas.
Namun demikian, Martin Landray, profesor epidemiologi di Universitas Oxford, mengatakan diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengetahui dengan pasti apakah hidroklorokuin mungkin memiliki efek yang cukup positif.
"Penelitian ini masih terlalu kecil untuk menjadi definitif," kata Landray, yang tidak terlibat dalam riset tersebut. (jie)