Antartika atau Kutub Selatan adalah satu-satunya benua di dunia tanpa kasus virus corona, tetapi para peneliti yang ‘terdampar’ di sana pun melakukan isolasi selama pandemi di tengah tempat yang sudah terisolasi. Apa yang bisa kita pelajari dari mereka?
Sebelumnya, berdasarkan laporan resmi pemerintah (covid19.go.id) per tanggal 25 Mei 2020, terkonfirmasi 22.750 kasus positif COVID-19, dengan 15.717 orang dirawat, 5.642 sembuh dan 1.391 kasus meninggal. Walau kasus terus bertambah kita masih melihat di sana-sini orang-orang yang tidak disiplin melakukan protokol pencegahan infeksi virus corona.
Orang pergi berbelanja di pasar tradisional tanpa memakai masker, tidak menjaga jarak dengan orang lain masih banyak ditemui. Bahkan belum lama ini beredar video warga berebut masuk mall di Lebak, Banten, ketika persiapan lebaran. Dan masih banyak cerita tentang ngeyel-nya masyarat kita.
Ini berbeda 180 derajat dengan yang terjadi di Antartika. Para peneliti yang sedang bertugas di sana menerapkan aturan isolasi, walau tidak ditemui satupun kasus COVID-19. “Bila sampai ada kasus COVID-19 di sini bisa menjadi bencana. Jadi kami juga menerapkan langkah-langkah lockdown. Ini adalah isolasi di dalam isolasi. Pencegahan selalu lebih baik daripada pengobatan,” terang Pradeep Tomar, seorang dokter yang sedang dalam misi penelitian di pangkalan India Bharati.
Ia sudah tinggal di pangkalan tersebut selama lima bulan, dalam tugas penempatan satu tahun. Bila COVID-19 ‘mencapai’ di basis penelitian di Antartika, itu bisa sangat mengerikan. Tidak ada tempat lain untuk pergi, fasilitas medis terbatas, dan kemungkinan penyebaran ke orang lain akan tinggi.
Walau sebagai satu-satunya benua tanpa kasus COVID-19, ada 23 tim peneliti yang melakukan lockdown sejak Februari 2020. Dan bila ada seseorang datang ke Antartika, harus melakukan isolasi mandiri 14 hari. Bila seseorang mulai mengalami gejala COVID-19, ia dan orang-orang yang pernah melakukan kontak dengannya akan segera diisolasi.
Saat ini ada 29 negara yang berbasis di Antartika. Sebelum karantina dilakukan, rutin ada kunjungan ke Bharati dari tim ekspedisi tetangga. Bendera nasional pengunjung akan dinaikkan untuk menyambut kedatangan mereka. Anggota tim yang berbeda-beda akan merayakan hari-hari nasional yang penting bersama-sama.
Dan jika salah satu pangkalan membutuhkan peralatan yang tidak mereka punyai, mereka akan meminjamnya dari negara ‘tetangga’ mereka. “Harmonisasi antarbangsa ini tidak terlihat di dunia nyata,” kata Dr. Tomar. Tetapi dia belum melihat siapa pun dari fasilitas lain sejak awal Maret, ketika kegiatan bersama dihentikan.
Saat Dr. Tomar datang ke Bharati pada 15 November 2019, untuk mempelajari efek psikologis dari ekspedisi kutub pada para peneliti, dunia masih sama seperti sebelumnya. Sekarang, katanya, ada kecemasan terus-menerus di situs penelitian, dipicu oleh kurangnya informasi tentang virus corona, dan kekhawatiran tentang kondisi keluarga di rumah.
Dr. Tomar dan rekan-rekannya hanya memiliki gambaran yang samar tentang pandemi global ini dan langkah-langkah yang diperlukan selama lockdown. Ia mengandalkan dari update informasi dari keluarga atau temannya. Dampak-dampak dari sosial distancing hanya mampu ia bayangkan.
“Teman-teman telah memberi tahu bahwa mereka bertahan dalam situasi seperti kami, terisolasi dan terpaku di rumah,” katanya.
Dengan karantina yang terjadi di banyak tempat di dunia, melakukan perjalanan dari pangkalan ke tempat lain juga menjadi sulit. Ini bisa berarti para ilmuwan harus tinggal lebih lama di tengah cuaca yang ekstrim.
Pangkalan Bharati (menghadap ke Samudra Selatan) yang mulai beroperasi pada 2012 adalah salah satu pos penelitian terjauh di planet ini. Daratan terdekat adalah Afrika Selatan dengan jarak lebih dari 5.000 km. Satu-satunya transportasi adalah dengan kapal yang biasanya ada di musim ‘panas’ Antartika, antara bulan November – akhir Maret.
Beruntung mereka yang hidup di cuaca yang tidak ramah ini menyadari bagaimana harus bersikap/mengatasi lockdown. Setiap orang bekerja dari ‘rumah’ selama mereka tinggal di fasilitas riset tersebut.
Di sana tidak ada toko sehingga tidak ada pilihan untuk jalan-jalan santai, selain itu suhu bisa turun hingga -40°C. Sebelum mereka datang, seluruh anggota tim pangkalan Bharati menerima pelatihan untuk mempelajari bagaimana bertahan hidup di tengah musim dingin di Antartika, secara fisik atau mental.
Isolasi yang terus-menerus dan kurangnya sinar matahari membuat mereka berisiko tinggi mengamali depresi. Dan di benua yang selama musim dingin tidak ada sinar matahari sama sekali, menjaga pola tidur rutin sangatlah sulit. “Kami mendorong sesama anggota tim untuk mempraktikkan pola tidur yang baik di sini,” kata Dr. Tomar.
Ketika ia datang, Dr. Tomar khawatir tentang bahaya dari lanskap di Antartika. “Ada ancaman yang terus-menerus jika tinggal di sini,” imbuhnya. “Lapisan es yang luas penuh dengan celah tersembunyi dan kita bisa jatuh ke dalamnya.”
Tetapi sekarang, dia lebih takut pada orang-orang di rumah. Selama satu tahun ia tinggal di benua beku, dunia seperti yang diketahui oleh Dr. Tomar bisa berubah tanpa bisa lagi ia kenali. “Saya benar-benar berharap bisa melayani negara pada saat yang paling dibutuhkan ini,” tambahnya. “Saya berharap bisa melihat dunia yang sama lagi ketika pulang.” (jie)