Teguh Haryo Sasongko, Perdana University
Meski pemerintah Indonesia bertekad meningkatkan kapasitas tes reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) untuk mendeteksi virus penyebab COVID-19 hingga 10.000 spesimen per hari–lebih dari tiga kali lipat dari kapasitas saat ini-target ini besar kemungkinan sulit dicapai dalam waktu dekat. Kalau pun tercapai, jumlah tersebut masih tidak mencukupi untuk mendeteksi keseluruhan kasus.
Walaupun tes RT-PCR tetap harus dilaksanakan sesuai dengan kapasitas yang dimiliki untuk mendeteksi kasus positif, pemerintah perlu segera menetapkan kebijakan karantina terfokus, masif, dan terpusat yang secara realistis dapat menahan laju pertambahan kasus baru dan meluasnya daerah merah COVID-19.
Tes RT-PCR, satu-satunya tes paling akurat untuk mendeteksi coronavirus dan direkomendasikan oleh WHO, dilakukan untuk mengidentifikasi dan memisahkan orang-orang yang positif COVID dari masyarakat luas serta memberi gambaran epidemiologis kejadian wabah sehingga dapat ditentukan strategi yang tepat untuk menghentikannya.
Staf Khusus Menteri Kesehatan, Alex K. Ginting, menyatakan mustahil mengetes 10.000 spesimen sehari saat ini karena terbatasnya reagen (cairan pereaksi kimia yang digunakan untuk mendeteksi virus) dan tenaga terlatih di laboratorium.
Hitungan saya juga menunjukkan tes sebanyak itu tidak mungkin dicapai dalam waktu dekat walau melibatkan semua laboratorium yang telah ditunjuk di Indonesia. Namun demikian, tetap dibutuhkan lebih banyak lagi tes RT-PCR untuk memberi keyakinan bahwa semua yang positif COVID-19 di tengah masyarakat memang telah terdeteksi.
Kebijakan karantina saat ini
Kebijakan Gugus Tugas COVID-19 saat ini adalah melakukan tes RT-PCR bagi orang-orang yang dinyatakan positif maupun negatif oleh tes cepat antibodi alias rapid test (RT) dari tiga kelompok: OTG (orang tanpa gejala), ODP (orang dalam pemantauan), dan PDP (pasien dalam pengawasan).
Mereka dikenakan aturan karantina mandiri (untuk OTG) dan isolasi diri (untuk ODP dan PDP) baik dengan hasil positif (+RT) maupun negatif (-RT) tes cepat antibodi (RT), bukan berdasarkan RT-PCR.
Tidak begitu jelas peran RT-PCR dalam tata laksana pencegahan penyebaran COVID-19 selain menempatkan pasien positif bergejala sedang dan berat ke rumah sakit darurat COVID-19 dan RS Rujukan. Pasien-pasien yang terdeteksi positif COVID-19 melalui RT-PCR dengan gejala ringan dan tanpa gejala tetap diminta kembali ke rumah untuk isolasi diri.
Artinya, belum ada kebijakan yang benar-benar memisahkan orang-orang dengan risiko infeksi dari masyarakat luas. Sementara itu, karena kapasitasnya terbatas, fungsi tes RT-PCR menjadi tidak memadai dalam memberi gambaran epidemiologis yang akurat untuk menentukan strategi penghentian wabah serta memisahkan kasus positif dari masyarakat luas.
Saat ini karantina mandiri dan isolasi diri dilakukan di rumah masing-masing. Pada karantina mandiri, pasien dikarantina bersama orang lain yang tinggal satu rumah (terpisah dari masyarakat). Pada isolasi diri, pasien dikarantina di ruang khusus terpisah dari anggota keluarga lainnya.
Masalahnya per 29 April terdapat lebih dari 213.000 ODP dan 20.000 PDP, jauh lebih banyak dibanding kasus positif dari tes RT-PCR yang mencapai sekitar 9.500. Secara nasional, belum ada data OTG dan orang +RT (tes cepat positif).
Dengan ratusan ribu orang dalam semua kategori ini dan rendahnya kapasitas tes RT-PCR saat ini dapat dibayangkan panjangnya antrean tes hingga didapatkan konfirmasi diagnosis. Sementara itu, tanpa aturan hukum yang tegas karantina mandiri dan isolasi diri ternyata tidak secara penuh dipatuhi, sehingga tidak akan mampu mencegah penyebaran infeksi secara efektif.
Karena itu, diperlukan sistem karantina yang terpusat dengan implementasi yang ketat untuk memastikan efektivitasnya. Selain menaikkan tes harian RT-PCR yang realistis, pemerintah Indonesia perlu segera membuat kebijakan karantina terfokus dan masif untuk ODP, PDP dan OTG, baik yang hasil tes cepat antibodinya positif (+RT) maupun negatif (-RT).
Mereka harus segera ditempatkan di suatu ruang terpisah dari masyarakat umum hingga dinyatakan benar-benar sembuh.
Pentingnya karantina terpusat
Pentingnya karantina dalam memutus rantai penularan telah dilaporkan dalam sebuah riset yang dimuat The Cochrane Collaboration 8 April 2020.
Pemerintah kecamatan, kabupaten, dan provinsi perlu mengidentifikasi bangunan-bangunan besar, stadion-stadion, hotel-hotel atau bahkan rumah-rumah penduduk dengan ukuran besar untuk mengkarantina seluruh OTG, ODP dan PDP yang tidak memerlukan perawatan medis.
Tempat-tempat ini dijadikan pusat karantina dengan pengawasan ketat. Perlu dibuat 4 kategori pusat karantina yang terpisah satu sama lain, yaitu (1) karantina OTG, (2) karantina ODP, (3) karantina PDP, dan (4) karantina OTG/ODP/PDP dengan hasil positif dari tes cepat antibodi. Semua yang termasuk dalam kategori-kategori ini harus segera dikarantina secara terpusat minimal 14 hari.
Pusat-pusat karantina perlu memiliki desain yang sesuai dan fasilitas yang memadai sesuai standar WHO, sehingga kontak antarpasien dan antara pasien dengan petugas karantina dapat ditekan seminimal mungkin, sementara kebutuhan peserta karantina dapat dipenuhi.
Karantina perlu dilakukan segera dengan fasilitasi dan koordinasi aparat pemerintah serta pelibatan aktif elemen masyarakat. Elemen masyarakat perlu dilibatkan untuk bahu membahu mengurangi risiko dampak sosial ekonomi, potensi stigmatisasi, dan kerahasiaan data-data pasien.
Rumah sakit, yang menjadi satu kategori pusat karantina tersendiri, akan dipenuhi dengan kasus-kasus berat yang memerlukan perawatan medis. Tempat tidur di rumah sakit COVID-19 diprioritaskan bagi kasus yang membutuhkan perawatan medis yang berat terutama ICU dan ventilator.
Seluruh rumah sakit non-rujukan harus menyiapkan bangsal-bangsal isolasi untuk kasus-kasus ODP dan PDP yang memerlukan perawatan medis lebih sederhana.
Ide mengkarantina OTG/ODP/PDP ini sangat tidak biasa dan mungkin banyak yang menentang. Pasalnya, jika karantina dilakukan tanpa uji diagnostik tes RT-PCR, orang-orang positif palsu akan dikarantina bersama orang-orang yang benar-benar positif. Dengan cara ini, terdapat risiko rantai penularan baru justru akan tercipta.
Namun perlu diingat bahwa rantai penularan baru itu tercipta dalam situasi terpisah dari masyarakat luas. Jadi, masyarakat secara umum akan tetap terhindar dari penyebaran virus.
Untuk mengurangi risiko ini, pusat-pusat karantina harus dipisahkan seperti digambarkan di atas.
Dalam hal ini, surveilans aktif untuk mengidentifikasi mereka yang harus dikarantina harus dilakukan lebih agresif. Saat ini surveilans aktif dibebankan kepada puskesmas. Ini tidak cukup.
Puskesmas memiliki sumber daya sangat terbatas untuk cakupan sebesar kecamatan atau kelurahan. Dengan arus mudik yang telah terlanjur besar, RT/RW perlu dilibatkan secara aktif untuk mendeteksi warga masyarakat dengan riwayat kontak dan perjalanan ke daerah dengan transmisi lokal, walaupun tanpa gejala.
Tes RT-PCR dan kemampuan Indonesia saat ini
Hingga 28 April terdapat 62.544 spesimen telah dites dengan RT-PCR untuk mendeteksi virus penyebab COVID-19.
Dari jumlah itu, 84,8% dinyatakan negatif COVID-19 dan 15,2% (9.511 orang) positif. Dengan memperhatikan pertambahan spesimen harian antara 23-28 April, saya menghitung kapasitas alat tes PCR Indonesia saat ini sekitar 3.000 spesimen per hari.
Jika semua data itu berasal dari 12 laboratorium yang pertama kali ditunjuk melalui SK Menkes (No. 182 Tahun 2020), maka rata-rata kapasitas setiap laboratorium adalah 250 tes per hari.
Dengan asumsi rata-rata tes per hari yang sama kapasitasnya, maka 60 laboratorium yang telah ditunjuk diproyeksikan mampu melakukan 15.000 tes per hari.
Sebuah riset berbasis pemodelan dengan data per 31 Maret, tim SimcovID memprediksi saat ini terdapat 32.000 kasus positif di Jakarta saja. Per 28 April kasus terkonfirmasi positif dengan tes RT-PCR di Jakarta adalah 4.002.
Dengan distribusi 42% kasus dari total nasional disumbang oleh DKI Jakarta saat ini, artinya berdasarkan riset tersebut Indonesia diperkirakan memiliki 76.190 kasus di masyarakat.
Dengan merujuk pada riset tersebut, Indonesia seharusnya melakukan tes RT-PCR setidaknya 761.190 untuk mendapatkan kasus positif 76.190. Angka ini merujuk standar rata-rata global bahwa 10% dari total tes PCR adalah positif.
Saat ini pemerintah hanya memiliki sekitar 8,2% kapasitas (62.544 tes per 28 April) dari yang seharusnya (761.190 tes). Dengan kapasitas tes harian di angka 3.000 tes, tidak cukup hanya mengejar hingga 3-5 kali lipat (10.000-15.000 tes per hari), tapi diperlukan peningkatan 12 kali lipat (36.000 tes per hari) dari saat ini. Dan mencapai angka itu sungguh sulit untuk Indonesia sekarang ini.
Karena itu, saya mengusulkan kebijakan mengkarantina OTG (orang tanpa gejala), ODP (orang dalam pemantauan) dan PDP (pasien dalam pengawasan) secara terpusat jauh lebih memungkinkan.
Teguh Haryo Sasongko, Associate Professor, Perdana University RCSI School of Medicine; Peneliti dan anggota The Cochrane Collaboration, organisasi ilmiah berbasis bukti medis dan kesehatan; Deputy Director, Perdana University Center for Research Excellence, Perdana University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
_____________________________________________
Ilustrasi: Medical photo created by prostooleh - www.freepik.com