Christopher Robertson, University of Arizona dan Keith Joiner, University of Arizona
Ketika virus corona menyebar, pihak otoritas kesehatan terkemuka di Amerika Serikat mengatakan kepada komite Senat pada 25 Februari bahwa “kita tidak dapat menutup Amerika Serikat secara rapat tanpa celah karena suatu virus”.
Komentar dari Alex Azar II, Kepala Layanan Kesehatan dan Kemanusiaan, meningkatkan kekhawatiran tentang dampak virus corona (COVID-19) di AS, yang saat itu terjadi relatif kecil, yakni 57 kasus pada 25 Februari. Tapi pekan ini kasus positif COVID-19 di AS tercatat lebih dari 900 kasus dengan 28 kematian.
Dan dengan ratusan kasus virus corona baru yang dilaporkan di Korea Selatan, lonjakan kematian di Iran, dan penutupan sekolah, tempat olahraga, museum, klub malam dan tempat-tempat lain di seluruh kota Italia, penyebaran pesat COVID-19 mungkin akan mencapai ambang batas sebuah pandemi.
WHO pada akhir Februari mengatakan bahwa penyakit ini “berpotensi menjadi pandemi”. Dan pada Rabu, 11 Maret, WHO benar-benar menyatakan COVID-19 sebagai pandemi.
Hanya wabah terbaru ini yang menunjukkan seberapa cepat patogen dapat menyebar ke seluruh dunia. Respons berbagai negara menjadi bukti perlu adanya kebutuhan mendesak untuk mengintervensi dan mengendalikan penyebaran penyakit, seperti penerbangan dibatalkan, kapal pesiar dikarantina, larangan bepergian lintas negara, dan pemantauan ketat keadaan di Cina.
Apa yang sekarang tidak dapat diperdebatkan adalah bahwa penerbangan dengan menggunakan pesawat terbang memberikan dorongan besar terhadap penyebaran virus. Sebagai akademisi di bidang hukum dan kesehatan masyarakat, kami mempelajari bagaimana perjalanan maskapai penerbanganan berkontribusi terhadap penyebaran agen infeksi dan bagaimana vaksin potensial dapat membatasi hal ini.
Dampak global pada dunia penerbangan
Epidemi SARS pada 2002 menelan biaya maskapai penerbangan sekitar US$ 7 miliar. Setelah memperhitungkan penerbangan yang ditangguhkan, ambruknya perdagangan, dan transportasi pasokan medis buatan Cina, biaya yang disebabkan COVID-19 kemungkinan akan jauh lebih besar.
Ini bukanlah hal yang baru. Perjalanan udara adalah salah satu cara untuk menyebarkan penyakit menular yang mematikan,di antaranya termasuk difteri, hepatitis A, influenza A dan B, campak, gondong, meningokokus, rubela, tuberkulosis, norovirus, dan penyakit menular lainnya.
Di AS, maskapai penerbangan melayani lebih dari dua setengah juta orang per hari, memaksa mereka berada dalam sebuah kabin berbentuk silinder dan berbagi udara yang sama untuk bernapas, toilet yang sama, dan mengambil makanan bersebelahan selama berjam-jam.
Wabah campak sudah mulai ada di bandara. Satu pesawat yang membawa satu pasien SARS akan memicu penyakit setidaknya pada 16 orang lainnya. Penularan influenza selama penerbangan didokumentasikan dengan baik; setelah peristiwa 9-11 (serangan teroris ke WTC di New York City), ketika penerbangan maskapai AS diberhentikan secara tiba-tiba, pola kematian yang berkaitan dengan influenza atau pneumonia secara dramatis berubah. Secara konsisten, penelitian ini menemukan satu-satunya prediktor penyebaran influenza yang paling signifikan adalah volume penerbangan domestik.
Tidak ada keraguan bahwa kontak dekat antarmanusia, terutama apabila terjadi cukup lama, akan menyebarkan penularan. Ini berlaku penularan melalui tetesan air saluran pernapasan (droplets), kontak kulit secara langsung, dan terkadang, penyebaran yang melalui feses dan oral. Yang membuat hal ini semakin buruk: maskapai penerbangan, yang membawa orang dari satu tempat ke tempat lain, dapat mengubah yang tadinya hanya wabah lokal menjadi krisis di seluruh dunia.
Sulit membayangkan cara yang lebih efisien untuk menyebarkan penyakit menular jika dibandingkan dengan hal ini.
Apa saja solusi potensial?
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) memiliki daftar “tidak diizinkan terbang” yang membuat orang dengan penyakit menular dilarang melakukan penerbangan. Namun kebijakan ini hanya berlaku untuk pasien yang telah didiagnosis atau memiliki gejala yang jelas. Padahal penyakit virus menular ini biasanya dimulai beberapa hari, bahkan berminggu-minggu, sebelum gejalanya muncul.
Misalnya, masa inkubasi COVID-19 diyakini antara dua hari dan dua minggu; bagi banyak orang, demam adalah tanda infeksi pertama dan satu-satunya. Sehingga pada situasi seperi ini, kebijakan seperti ini tidaklah efektif.
Saran yang mungkin dapat dilaksanakan yakni: maskapai penerbangan mungkin memerlukan vaksinasi untuk penumpang atau setidaknya membuat mereka menunjukkan pengecualian medis mengapa mereka tidak dapat divaksinasi.
Mungkin sekarang adalah waktunya untuk mempertimbangan cara ini. Saat ini, para ilmuwan sedang berupaya utuk mengembangkan vaksin COVID-19. Jika mereka berhasil, strategi distribusi vaksin akan segera dibutuhkan. Pada bulan ini juga, Badan Otoritas Makanan dan Obat AS (FDA) menyetujui vaksin baru untuk pandemi influenza H5N1, sedangkan vaksin flu musiman juga telah beredar di masyarakat.
Semua ini akan menyediakan paket uji yang sangat baik untuk menemukan cara memvaksinasi populasi luas selama masa pandemi. Vaksin dapat tersedia di bandara (seperti yang sekarang dilakukan pada beberapa vaksin penyakit yang telah tersedia).
Namun, kami percaya tujuan jangka panjang adalah membuat database untuk mengidentifikasi siapa saja yang telah divaksinasi baik untuk penyakit flu musiman maupun untuk penyakit epidemi. Ini akan membantu pendekatan kesehatan masyarakat untuk menangani pandemi pada masa depan ketika vaksin baru dengan cepat dapat dikembangkan.
Pertimbangan hukum dan etika
Ada otoritas hukum yang jelas untuk menghubungkan sebuah perintah vaksinasi dengan perjalanan udara. Setelah peristiwa 9-11, pengadilan menekankan bahwa maskapai penerbangan wajib melindungi penumpang dan mereka yang bertugas di bandara dari berbagai risiko. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) atau Kepala Pusat Pelayanan Kesehatan Publik AS (Surgeon General) dapat menggunakan wewenang untuk “membuat dan menegakkan peraturan semacam itu, untuk mencegah penyebaran penyakit menular”.
Di bawah konstitusi AS, pemerintah federal memiliki kekuatan untuk bertindak ketika mengatur “alur perdagangan antarnegara”. Hal ini termasuk maskapai penerbangan.
Bagaimana dengan hak-hak individu yang menolak untuk divaksinasi? Pengadilan telah lama menegakkan kewajiban vaksinasi dilakukan di sekolah-sekolah yang sering kali tak terhindarkan adanya kontak dekat dalam jangka waktu lama.
Meskipun ada “hak untuk berpergian”, dan ada hukum yang melindungi praktik keagamaan dari campur tangan pemerintah, pengadilan AS secara eksplisit menyatakan vaksinasi adalah kepentingan pemerintah dan hal ini telah mendapatkan mandat lebih dari satu abad.
Prinsip-prinsip hukum dasar ini, bersama dengan fakta-fakta, menunjukkan bahwa maskapai penerbangan dan bandara adalah kunci untuk menghentikan penyebaran penyakit. Intervensi kesehatan masyarakat jelas harus fokus pada hal-hal ini dampaknya paling besar.
Rizki Nur Fitriansyah menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.
Christopher Robertson, Professor of Law, University of Arizona dan Keith Joiner, Professor of Medicine, Economics and Health Promotions Science, University of Arizona
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
____________________________________________