Selama bertahun-tahun vitamin C dikenal sebagai obat flu. Padahal, penelitian tidak membuktikan hubungan yang pasti di antara keduanya. Terdapat salah kaprah yang menganggap vitamin C sebagai penangkal flu.
Riset dr. Linus Pauling, seorang ahli biokimia dan perain Nobel pada tahun 70-an menarik minat banyak orang tentang pemakaian vitamin C dosis tinggi > 1000 mg/hari mampu mencegah gejala flu. Selama lebih dari 40 tahun beragam riset mencoba meneliti efek suplementasi vitamin C pada pencegahan atau perawatan sakit flu.
Memang, vitamin C turut berperan dalam membangun imunitas tubuh. Ia berperan dalam produksi dan fungsi leukosit (sel darah putih). Terutama dalam mempertahankan fungsi leukosit untuk melawan mikroorganisme asing dan bereaksi pada stimulasi kimia dari luar.
Sebagai respon dari mekanisme perlawanan pada mikoorganisme asing, leukosit melepaskan superoxide radical, asam hypochlorous dan peroxynitrite. Mereka adalah ‘racun’ yang akan membunuh patogen tadi.
Leukosit juga memrodukis sitokin, seperti interferon yang bersifat antivirus. Vitamin C pun tampaknya meningkatkan jumlah produksi interferon. Namun, di sisi lain aksi-aksi tersebut membuat leukosit rusak. Di sini vitamin C bekerja melalui mekanisme antioksidannya, ia akan melindungi leukosit dari kerusakan oksidasi.
Studi meta analisa (membandingkan berbagai macam riset) tahun 2007 pada 53 placebo-controlled trials mengevaluasi efek suplementasi vitamin C dari sisi insiden, durasi dan derajat keparahan selesma (radang tenggorokan atau infeksi saluran nafas atas) saat dikonsumsi sebagai suplemen harian (43 percobaan), atau saat dipakai sebagai bagian terapi ketika selesma terjadi (10 studi).
Suplementasi harian (25-200 mg/hari) vitamin C tidak mengurangi jumlah kejadian selesma secara umum (dalam 23 percobaan). Mamun untuk subyek yang mengalami stres fisik berat, seperti pelari marathon, atlet ski atau tentara yang bertugas di daerah kutub, suplementasi vitamin C menurunkan kejadian selesma / common cold sampai setengahnya.
Suplementasi vitamin C harian mempengaruhi durasi common cold, terutama untuk anak-anak dibanding pada dewasa. Yakni menurunkan lamanya selesma pada anak sampai 14%, sementara pada dewasa hanya 8%.
Studi meta analisa ini juga menyimpulkan mengonsumsi suplemen vitamin C saat sudah terinfeksi selesma tidak membuat durasi sakit atau derajat keparahan menurun.
Dr. Manny Alvares, Senior Managing Editor Health News, di FOX News Channel’s memaparkan tidak benar vitamin C bisa mencegah flu. “Tapi bila dikatakan vitamin C bisa memperlambat perubahan infeksi virus, benar adanya. Jadi bukan mencegah, tidak bisa disamakan dengan vaksinasi influenza,” tegasnya.
Zinc lebih efektif
Riset terbaru menunjukkan zinc efektif melawan infeksi virus dibanding vitamin C. Tim peneliti dari Harvard Medical School merekomendasikan konsumsi antara 15-25 mg zinc/hari. Mineral zinc dapat mengganggu perkembangan rhinovirus, biang keladi penyebab flu.
Peneliti coba membandingkan penderita sakit flu yang mulai mengonsumsi zinc saat sakit dengan yang hanya menelan vitamin C.
Studi pada tahun 2013 ini membandingkan 29 percobaan yang melibatkan lebih dari 11.000 responden. Mereka tidak menemukan efek konsisten pemberian vitamin C saja pada pengurangan durasi atau keparahan pilek.
Sementara pada mereka yang mendapatkan terapi zinc mengalami kejadian flu yang lebih pendek dan gejala yang lebih ringan. (jie)