Salah satu bagian dari penanganan kanker adalah biopsi, atau pengambilan sampel jaringan. Tetapi di masyarakat terdapat pandangan bila melakukan biopsi justru mempercepat penyebaran tumor kanker, ini membuat masyarakat menolak melakukan biopsi.
Biopsi merupakan tindakan untuk mengambil contoh jaringan tumor yang dicurigai kanker, untuk menentukan benar tidaknya tumor tersebut adalah kanker dan terapi selanjutnya yang harus dilakukan.
“Ada anggapan biopsi menyebabkan kanker lebih cepat menyebar,” kata Dr. dr. Ikhwan Rinaldi, SpPD-KHOM, ahli hematologi onkologi medik RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. “Masalahnya, tanpa biopsipun tumor kanker akan menyebar. Jadi bukan biopsi yang menyebabkan tumor kanker menyebar.”
Kanker terjadi karena proses panjang yang menyebabkan perubahan genetik dalam sel. Normalnya sel berumur 120 hari sebelum akhirnya mati dan beregenerasi. Perubahan genetik menyebabkan sel berumur > 120 hari dan ‘menolak’ untuk mati.
Ia menjadi mampu membelah lebih cepat dan lebih tahan terhadap apoptosis atau mekanisme kematian sel terprogram. Serta memiliki kemampuan untuk membentuk pembuluh darah baru untuk mencukupi kebutuhan makannya.
Anggapan yang salah tentang biopsi kerap kali membuat masyarakat beralih ke tempat lain, dalam hal ini pengobatan alternatif yang belum terbukti secara ilmiah. Pada banyak kasus, penderita baru datang ke dokter setelah kondisinya lebih parah. Menyebabkan keterlambatan penanganan yang berhubungan erat dengan penurunan persentase kesembuhan.
“Biopsi itu wajib. Tidak ada pengobatan tanpa hasil biopsi. Kanker bentuknya sel, sehingga harus dilihat melalui mikroskop, bahkan tidak bisa dilihat dengan CT scan. Setelah dilihat (di bawah mikroskop) terlihat bila sel kanker bentuknya tidak sama dengan sel sekitarnya. Selain itu juga untuk memastikan jenis kankernya,” terang dr. Ikhwan, dalam bincang-bincang Mengapa Penanganan Kanker Harus Terstandar?, di Jakarta (30/1/2020).
Ada risiko sangat besar bila seorang dokter melakukan pengobatan tanpa didahului prosedur biopsi, yakni memberikan obat yang salah. Kanker di organ tertentu, misalnya kanker paru, memiliki jenis sel yang berbeda (kanker paru non-sel kecil (non-small-cell lung cancer/NSCLC) dan kanker paru sel kecil (small-cell lung cancer / SCLC)), yang mana pengobatannya pun berbeda.
Persepsi yang salah tentang dibiopsi biasanya disebabkan penderita tidak segera melakukan pengobatan setelah dilakukan biopsi. Melainkan pergi ke terapi alternatif.
“Nanti kembali lagi setelah tiga bulan, tentu saja kondisinya sudah berbeda (dibanding hasil biopsi pertama). Atau memang ada pada beberapa orang yang tumornya sangat ganas, walau sudah diobati progresinya sangat cepat,” tambah dr. Ikhwan.
Sehingga sangat direkomendasikan setelah melakukan biopsi segera melanjutkan pengobatan sesuai standar internasional tatalaksana kanker. Dalam hal ini Indonesia mengacu pada panduan dari Amerika Serikat (National Comprehensive Cancer Network) atau Eropa (European Society Medical Oncology), atau panduan nasional penanggulangan kanker dari Kementerian Kesehatan.
Setelah dipastikan benjolan / tumor tersebut adalah kanker, maka perlu dilakukan pencarian adanya penyebaran di organ-organ lain lewat CT (computerized tomography) scan dan PET (positron emission tomography) scan.
Pemeriksaan untuk menentukan penyebaran kanker adalah suatu keharusan, karena pengobatan pada kanker yang sudah menyebar dan belum menyebar pun berbeda. (jie)