“Ginjal itu kecil, tapi tugasnya besar,” ujar dr. Tunggul D. Situmorang, Sp.PD-KGH. Saat ginjal tak lagi berfungsi, maka harus dilakukan terapi pengganti ginjal. Sebelumnya telah dibahas hemodialisis (HD). Pilihan dialisis lainnya yakni dengan CAPD (continous ambulatory peritoneal dialisis).
Pada prosedur ini, proses filtrasi (penyaringan) darah menggunakan dinding perut yang disebut membran peritoneal, dan dilakukan sendiri oleh pasien. Sebelumnya, dilakukan pemasangan kateter di perut, untuk akses CAPD. Bila kateter sudah siap dipakai, maka dialisis cukup dilakukan dengan tiga langkah mudah.
Pertama, kateter dihubungkan dengan kantung berisi cairan dialisat. Cairan yang sudah masuk ini didiamkan dalam rongga perut selama 4-6 jam untuk menarik kelebihan air, elektrolit dan racun. Kemudian, cairan dikeluarkan ke kantung kosong. Proses ini dilakukan sebanyak empat kali dalam sehari, setiap hari.
CAPD dianggap lebih praktis dan nyaman karena tidak perlu bolak-balik ke RS, dan tidak melibatkan jarum. Pasien juga lebih bebas bergerak dan bepergian. Pola makan bisa lebih bebas, pasien lebih segar karena sampah metabolik lebih cepat dibersihkan, dan fungsi ginjal yang tersisa masih bisa dipertahankan.
Mengganti cairan CAPD bisa dilakukan di mana saja; yang penting kebersihan terjaga, untuk menghindari infeksi. Selama melakukan penggantian cairan, hindari embusan angin misalnya dari kipas atau pintu/jendela terbuka, binatang dan gangguan lain. Simpan semua peralatan di tempat bersih.
Namun, tidak semua orang bisa menjalani CAPD. “CAPD tidak boleh dilakukan oleh perempuan hamil trimester III,” ujar dr. Tunggul. Contoh kontraindikasi CAPD lain misalnya penyakit radang usus berat, dan abses (infeksi berat) pada perut. Adapun mereka dengan malnutrisi berat, proteinuria >10 g/hari, demensia, dan kebersihan diri yang buruk, relatif tidak disarankan.
CAPD juga bisa dilakukan waktu tidur, dengan APD (automated peritoneal dialisis), yang menggunakan mesin khusus. Mesin ini bekerja dengan mengukur cairan yang diperlukan serta waktu pemberian, pendiaman dan penarikannya kembali. Semua proses ini dilakukan secara otomatis selama waktu tidur malam.
Pola makan
Mereka yang menjalani dialisis, baik HD maupun CAPD, perlu membatasi asupan cairan dan nutrisi tertentu karena ginjal sudah tidak berfungsi. Tujuannya, agar tidak terlalu banyak cairan dan zat tertentu yang menumpuk di dalam tubuh. Pengaturan nutrisi dan pola makan disesuaikan dengan kondisi tiap orang, tapi umumnya perlu membatasi asupan potassium (kalium), fosfor, sodium (garam) dan cairan.
Pada orang normal, kelebihan asupan kalium akan dibuang melalui urin. Namun pada orang dengan gangguan ginjal, kalium yang seharusnya dibuang akan terserap lagi sehingga terjadi hiperkalemia, yang akan meningkatkan keasaman darah. Terjadi asidosis metabolik yang menyebabkan muntah-muntah; bisa pula terjadi serangan jantung.
Ginjal yang sehat bekerja menjaga keseimbangan fosfor di dalam tubuh. Saat menjalani dialisis, bisa terjadi penumpukan fosfor dalam darah (hiperfosfatemia), yang membuat tulang menjadi lemah dan mudah patah. Karenanya, asupan fosfor perlu dibatasi.
Adapun sodium menjaga kecukupan cairan di dalam tubuh, dan ginjal mengatur kadar sodium di dalam tubuh. Saat ginjal rusak, sodium dapat menumpuk di dalam darah. Ini membuat tubuh menahan lebih banyak cairan. Adapun terlalu banyak cairan di tubuh bisa meningkatkan tekanan darah, menimbulkan bengkak, kesulian bernafas dan gagal jantung. Penting membatasi asupan garam dan cairan. (nid)
_____________________________________________
Ilustrasi: Background photo created by freepik - www.freepik.com