Secara umum, tumbuh kembang anak dipengaruhi faktor genetik dan lingkungan. Bakat alergi diturunkan secara genetik.
Ibu yang alergi, bisa menurunkan faktor 30% kepada bayinya. Bila ayah juga alergi, kemungkinan anak alergi lebih besar lagi. Kondisi tertentu selama kehamilan yang memicu respon inflamasi (peradangan), juga memperbesar risiko anak memiliki alergi.
Kondisi lain yang memicu inflamasi antara lain berat badan berlebih / obesitas; banyak konsumsi karbohidrat, protein dan lemak; kurang konsumsi sayur. Berdasar Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, 95,5 % masyarakat Indonesia kurang konsumsi sayur dan buah.
Konsumsi protein, lemak dan karbohidrat apalagi dengan indeks glikemi (IG) tinggi, akan menimbulkan derajat inflamasi ringan-sedang.
Menurut Dr. dr. Noroyono, Sp.OG dari FKUI/RSCM, Jakarta, inflamasi akan memicu reaksi aktivasi sistem imun yang dapat membuat regulasi yang salah, sehingga menimbulkan reaksi. Salah satunya alergi.
Pencegahan alergi
Ibu berperan besar dalam mencegah terjadinya proses penurunan bakat alergi dari ibu ke anak. Pemeriksaan pranatal tidak cukup hanya dengan pemeriksaan tensi, berat badan dan USG. Harus lebih komprehensif.
Ibu disarankan berdiskusi dengan dokter kandungan mengenai riwayat alergi dalam keluarga, sehingga bisa memikirkan pola makan dan kenaikan berat badan yang sesuai.
Setelah anak lahir, usahakan memberikan ASI eksklusif. ASI membantu mematangkan saluran cerna anak dan sistem imun, sehingga risiko alergi bisa ditekan.
Ibu dengan alergi juga perlu memperhatikan makanan selama hamil dan menyusui. Makanan bergizi wajib. Makanan yang dihindari adalah hanya yang menimbulkan alergi pada bayi yang disusui, atau membuat ibu alergi.
Lepas ASI eksklusif, tetap hindari makanan yang membuat anak alergi. Dukung dengan faktor lingkungan; rumah harus bersih dan bebas asap rokok sejak masa kehamilan. Bila muncul gejala alergi, faktor pencetus perlu dihindari.
Beban akibat alergi
Alergi berbeda dengan penyakit infeksi. Penyakit infeksi bisa sembuh, sementara alergi biasanya berkepanjangan dan memakan biaya besar untuk berobat, dan kualitas hidup anak menurun.
Ditambahkan oleh Dr. dr. Astrid Sulistomo, MPH, Sp.OK, anak dengan alergi bisa memberi beban biaya bagi keluarga dan negara. Belum lagi hal-hal yang tidak bisa dihitung dengan uang, misalnya kehidupan sosial pasien dan keluarga.
Akibat alergi, anak sakit-sakitan sehingga sering tidak masuk sekolah, sulit berpikir saat alergi kambuh, dan tidak bisa berolahraga. Nilai dan prestasi belajar di sekolah bisa menurun, sehingga rasa percaya dirinya bisa ikut turun. Orangtua terpaksa cuti, karena harus membawa anak berobat.
“Ini masalah kualitas hidup, tidak bisa dihitung dengan uang,” ujar dr. Astrid. (jie, nid)
Bersambung ke : ASI Efektif Mencegah Alergi Susu Sapi