Peneliti dari Johns Hopkins Medicine, Baltimore, Amerika Serikat, mengevaluasi lebih dari 900 orang usia pertengahan. Kemudian menghubungkan antara pengalaman hidup yang penuh tekanan dengan dampaknya pada fungsi kognitif.
Penurunan kognitif di saat tua lebih banyak terjadi pada wanita yang mengalami stres, tetapi ini tidak terjadi pada responden pria. Penemuan ini sejalan dengan lebih banyaknya kejadian penyakit Alzheimer pada wanita, dibanding laki-laki.
Studi ini dirancang untuk menunjukkan hubungan antara fenomena, tetapi tidak menentukan sebab dan akibat. Namun begitu, peneliti meyakini bahwa stres memang menjadi faktor penyebab demensia (pikun). Riset tersebut telah diterbitkan dalam International Journal of Geriatric Psychiatry edisi Juli 2019.
Menurut data the Alzheimer’s Association, satu dari enam wanita berusia 60 tahun ke atas menderita Alzheimer, dibandingkan satu dari 11 pria. Sayangnya, saat ini belum ada pengobatan yang efektif untuk memperlambat perburukan penyakit.
Dilansir dari sciencedaily.com, Cynthia Munro, PhD, associate professor psikiatri di Johns Hopkins, mengatakan, “Kita tidak bisa menghilangkan stres, tetapi kita bisa menyesuaikan cara kita merespons stres. Ini akan memiliki efek nyata pada fungsi otak seiring bertambahnya usia.”
Bagaimana tes dilakukan
Studi ini menggunakan data dari 909 penduduk Baltimore yang dipakai di riset National Institute of Mental Health Epidemiologic Catchment Area; data dikumpulkan dari tahun 1981-1983.
Rata-rata partisipan berusia 47 tahun. Pemeriksaan dilakukan sebanyak tiga kali: tahun 1982, antara 1993-1996, dan antara 2003-2004. Pada pemeriksaan ketiga, subjek mendapat pertanyaan tentang pengalaman traumatis, seperti perang, pemerkosaan, kekerasan fisik, mengalami bencana alam, dll.
Sekitar 22% responden pria dan 23% wanita melaporkan setidaknya mengalami pengalaman traumatik satu kali.
Mereka juga ditanya tentang pengalaman yang menyebabkan stres, seperti pernikahan, perceraian, kematian orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, sakit, dll. Sebanyak 47% pria dan 50% wanita melaporkan mengalami setidaknya satu kali.
Pada pemeriksaan ketiga dilakukan tes memori. Subjek diminta untuk mengucapkan kembali 20 kata yang baru saja diperdengarkan, dan mengulanginya 20 menit kemudian. Rata-rata peserta mampu mengingat dengan segera delapan kata, dan enam kata 20 menit kemudian.
Mereka juga diminta mengidentifikasi kata-kata yang dibacakan dari 40 daftar kata. Rata-rata partisipan mampu mengidentifikasi dengan benar 15 kata. Dan di kunjungan berikutnya peserta segera bisa mengingat rata-rata tujuh kata, dan mengidentifikasi dengan benar hampir 14 kata.
Peneliti mengukur penurunan kemampuan menjawab tes tersebut dan membandingkannya dengan pengalaman hidup yang penuh tekanan atau peristiwa traumatis, untuk melihat apakah ada hubungannya.
Mereka menemukan bahwa memiliki pengalaman hidup yang stressful di usia paruh baya pada wanita berkaitan dengan penurunan yang lebih besar kemampuan mengingat dan mengenali kata-kata.
Wanita yang tidak mempunyai pengalaman traumatik dalam setahun terakhir (sebelum kunjungan ketiga) mengingat 0,5 kata lebih sedikit pada tes memori. Sementara wanita dengan pengalaman traumatik rata-rata mengingat satu kata lebih sedikit. Dan, kemampuan mengenali kata menurun rata-rata 1,7 kata; dibandingkan penurunan 1,2 kata pada subjek wanita tanpa pengalaman stressful.
Di satu sisi, peneliti tidak melihat hubungan antara penurunan kata dan pengalaman hidup yang penuh stres atau peristiwa traumatis di usia paruh baya pada pria.
"Stres menyebabkan peningkatan sementara hormon stres seperti kortisol, dan ketika sudah berakhir, kadarnya kembali ke garis dasar dan Anda pulih. Tetapi dengan stres berulang, atau dengan sensitivitas terhadap stres yang meningkat, tubuh akan meningkatkan respons hormon dan berkelanjutan, sehingga butuh waktu lebih lama untuk pulih, "kata Prof. Munro. "Jika kadar hormon stres meningkat dan tetap tinggi, ini tidak baik untuk hippocampus otak, pusat ingatan." (jie)