Pria tidak mengalami proses hamil dan persalinan. Kadar hormon pria pun tidak naik turun. Para ayah tidak juga tidak merasakan puting yang sakit selama proses menyusui. Jadi, apa sebenarnya yang menyebabkannya mengalami depresi?
Berdasarkan riset yang dilakukan di Swedia, ternyata penyebabnya cukup banyak. Selama lebih dari 10 tahun jumlah pria yang mengalami depresi pada proses transisi menjadi ayah meningkat signifikan.
Dalam studi yang dipublikasikan di Scandinavian Journal of Psychology (2017) peneliti mencoba menghitung berapa banyak pria yang menderita depresi pascakelahiran. Riset sebelumnya menemukan antara 4-10% ayah baru menderita depresi.
Pada studi baru tersebut, dari 447 responden, terdapat lonjakan yang mengejutkan : 28% pria menunjukkan gejala depresi ringan dan 4% dengan gejala depresi sedang.
Riset juga mendapati kurang dari 1 dari 5 ayah yang mengalami depresi mencari pertolongan medis, walau sebagian besar dari mereka pernah punya pikiran untuk menyakiti diri sendiri.
Sebagai gambaran, menurut theguardian.com, kasus depresi pascamelahirkan terjadi pada sekitar 13% wanita di Inggris. Praktisi medis kerap mengajukan serangkaian tes untuk melakukan deteksi dini pada wanita pascamelahirkan, tetapi tidak pada pria.
Deteksi
Penulis utama riset tersebut, Elisa Psouni, dari Department of Psychology, Lund University, Swedia, mengatakan bahwa Edinburg Postnatal Depression Scale (EPDS) yang biasa dipakai untuk deteksi gangguan depresi pada pria atau wanita, tidak terlalu akurat untuk mendeteksi kasus depresi di masa transisi menjadi ayah.
Depresi pada pria (ayah baru) sangat mungkin meningkat. Banyak pria mengalami kesulitan dalam proses menjadi ayah. Psouni percaya bahwa para ayah baru tersebut mengalami dilema yang sama seperti istrinya, termasuk mencoba menyesuaikan antara mengurus anak dengan bekerja.
Pria yang mengalami depresi kerap kali juga mengalami tekanan ekstra, seperti di lingkungan kerja, ditambah bila istri mereka juga menderita depresi. Kurang tidur/istirahat, memiliki bayi kembar atau sedang ada konflik keluarga turut berkontribusi meningkatkan risiko depresi.
Ayah yang depresi membuatnya kurang senang tersenyum dan bermain dengan anaknya. Riset juga menyatakan bahwa anak-anak sangat terpengaruh oleh depresi pascamelahirkan. Mereka menjadi lebih mungkin mengalami gangguan perilaku dan bermasalah di usia tujuh tahun.
Seorang pria dipertimbangkan mengalami depresi pascakelahiran bila terjadi perubahan mood, seperti menjadi lekas marah atau mengalami kecemasan, di tahun pertama menjadi orang tua (depresi pada pria terjadi sepanjang 12 bulan pertama pascakelahiran).
Terapi perilaku kognitif (cognitive behavioral therapy) bisa membantu, demikian juga konsumsi obat antidepresi. Tetapi bila gejala depresi tidak dikenali, tambah Psouni, “ Salah satu hal yang paling mengerikan adalah saat Anda baru menyadari mengalami depresi setahun kemudian dan baru berjuang mengejar ketinggalan, Anda telah kehilangan tahun pertama kehidupan anak Anda.” (jie)
Baca juga : Atasi Depresi Setelah Melahirkan