What doesn’t kill you makes you stronger. Apa yang tidak membunuhmu justru membuatmu makin kuat. Inilah prinsip hidup bakteri, termasuk bakteri penyebab TB (tuberkulosis), Mycobacterium tuberculosis. “Mengobati infeksi bakteri itu harus sampai mati. Kalau berobat tidak teratur, kuman tidak mati tapi malah bermutasi jadi lebih kuat dan kebal terhadap obat-obatan,” tegas Dr. dr. Erlina Burhan, M.Sc, Sp.P(K) dari RS Persahabatan, Jakarta.
Obat untuk TB harus diminum teratur di waktu yang sama setiap hari sampai selesai, dengan dosis yang sesuai. Pengobatan TB yang tidak tuntas atau tidak benar membuat kuman TB menjadi kebal, menjadi TB-RO (resistan obat). Ada beberapa macam TB-RO, mulai dari yang resistan terhadap satu obat, MDR (multidrug-ressitant), XDR (extensively drug-resistant), hingga TDR (total drug-resistant). Di dunia, diperkirakan ada sekitar 600.000 pasien TB-RO, dan di Indonesia sekira 3.000 orang dengan angka kematian mencapai separuhnya. Yang terduga TB-MDR adalah mereka yang pernah pendapat pengobatan TB sebelumnya.
TB-RO muncul bukan salah kumannya, tapi karena ulah manusia; bisa dari pasien dan/atau dokternya. Dari sisi pasien karena tidak berobat dengan tuntas dan benar sesuai anjuran. Bisa pula dokter yang alpa, seperti yang dialami oleh Paran Sarimita, penyintas TB-MDR. Ia pertama kali terkena TB pada 2008, dengan gejala sesak napas. Oleh dokter di klinik tempatnya berobat, dikatakan bahwa ada flek di paru-parunya. “Saya diberi obat, tanpa ada penjelasan detil harus teratur dan tepat waktu. Hanya dibilang jangan sampai putus,” tuturnya.
Ia berobat sampai 2010, dan berdasarkan hasil Rontgen dibilang bahwa paru-parunya sudah bersih. Namun setahun kemudian ia merasakan gejala yang sama, dan ia kembali berobat ke klinik yang dulu. Dosis obatnya ditambah jadi dua kali lipat, ditambah suntikan yang tidak ia pahami apa isinya. Beberapa bulan berobat tidak ada perubahan. Akhirnya ia berobat ke Puskesmas dan dirujuk untuk periksa ke RS Persahabatan. Ia didiagnosis TB-MDR, akibat pengobatan yang kurang tepat dulu.
Diagnosis TB-RO harus dibuktikan secara bakteriologi melalui pemeriksaan lab, apakah memang sudah ada kuman yang resistan dalam dahak. “Diagnosis ditegakkan oleh dokter yang terlatih, sedangkan pengobatannya bisa dilakukan di semua fasilitas pelayanan kesehatan terlatih,” terang Dr. dr. Elvina.
Obat lebih banyak, pengobatan lebih lama
Untuk tahap pengobatannya, terdiri dari tahap awal dan lanjutan. “Di tahap awal, obatnya bisa sampai 32 tablet setiap hari, dan disuntik setiap hari dari Senin sampai Jumat. Bebas suntikan cuma di hari Sabtu dan Minggu,” papar Dr. dr. Elvina.
Durasi pengobatan bisa sampai >20 bulan dengan rejimen obat yang biasa. Dengan rejimen jangka pendek, bisa dipersingkat menjadi 9-11 bulan. Untuk suntikan minimal 8 bulan, atau 4 bulan tergantung obat yang digunakan. Suntikan dilakukan di bokong, kanan-kiri bergantian setiap hari.
Yang pasti, harus ada upaya agar penderita TB berobat setiap hari, khususnya TB-MDR. TB benar0benar harus diobati sampai tuntas karena buntutnya panjang. TB biasa yang tidak tuntas diobati bisa berkembang menjadi TB-MDR; TB-MDR yang tidak tuntas diobati bermutasi jadi TB-XDR, dan bila sudah sampai TB-TDR tidak ada lagi yang bisa dilakukan; hanya kematian yang menanti. Selain itu, pasien TB juga berpotensi menularkan TB ke orang-orang sekitarnya. Bila yang dideritanya adalah TB-RO, maka kuman itulah yang akan ditularkannya.
Memang tidak mudah bagi pasien TB-MDR untuk teratur berobat. Efek samping obat saja sudah berat, tapi kendala lain lebih berat lagi. “Banyak sekali kendala non medis. Misalnya mereka tidak bisa datang setiap hari karena harus bekerja. Ada yang dipecat dari pekerjaan, hingga diceraikan pasangan karena menderita TB-MDR,” sesal Dr. dr. Elvina. Meski pengobatannya gratis, bolak-balik setiap hari ke faskes untuk mendapat suntikan, tentu sangat memberatkan. Belum lagi stigma terhadap pasien TB-MDR, yang bisa membuat mereka dikucilkan.
Bagaimanapun beratnya, pengobatan TB-MDR harus dilakukan sampai tuntas, selagi masih ada kesempatan, sebelum kuman bermutasi lebih jauh lagi menjadi TB-TDR. Dokter, pasien, keluarga pasien, dan lingkungan harus saling mendukung agar pasien berobat sampai selesai. Stigma dan diskriminasi terhadap pasien TB harus dihilangkan; mereka berhak hidup berkualitas dan memiliki pekerjaan seperti orang lain. “TB ada obatnya, dan bisa disembuhkan. Kuncinya, berobat sampai selesai,” pungkas Dr. dr. Elvina. (nid)