Dicky L. Tahapary, Universitas Indonesia
Tinggal di Jakarta “menyumbang” timbunan lemak lebih banyak dalam tubuh individu dan berpotensi meningkatkan risiko diabetes melitus. Gaya hidup urban, seperti konsumsi makanan cepat saji yang berkalori tinggi dan lebih banyak menghabiskan waktu duduk di depan komputer, diduga kuat menjadi pemicu kegemukan.
Riset saya pada 2013-2015 menunjukkan tiap satu tahun tinggal di Jakarta indeks massa tubuh seseorang meningkat 0,15 kilogram/meter persegi. Bila rata-rata tinggi badan laki-laki di Indonesia 160 sentimeter, maka berat badan naik sebesar 0,4 kg/tahun. Selain itu, tinggal di perkotaan dikaitkan dengan peningkatan kegemukan di daerah perut (obesitas sentral). Tinggal di kota menambah lingkar perut rata-rata 0,5 sentimeter per tahun.
Indeks massa tubuh dan lingkar perut merupakan penanda adanya penumpukan lemak dalam tubuh, jadi terkait erat dengan obesitas dan risiko diabetes melitus.
Temuan saya itu makin diperkuat oleh hasil Riset Kesehatan Dasar terbaru yang dirilis akhir 2018 lalu. Hasil riset ini sungguh mengejutkan karena setidaknya satu dari tiap tiga orang dewasa (35%) di Indonesia mengalami masalah obesitas (indeks massa tubuh >25 kg/m2). Angka ini meningkat tajam dibanding riset serupa pada 2007 dan 2013, masing-masing sebesar 19% dan 26%.
Sejalan dengan kenaikan angka obesitas, jumlah penduduk dewasa dengan diabetes melitus di Indonesia juga terus menanjak. Saat ini setidaknya satu dari 10 orang dewasa (10,9%) di Indonesia menyandang diabetes melitus. Angka ini naik tajam dari angka sebelumnya pada 2007 (5,7 persen) dan 2013 (6,9%).
Obesitas, kondisi medis berupa kelebihan lemak tubuh, menimbulkan dampak merugikan bagi kesehatan individu seperti diabetes melitus atau kencing manis. Diabetes melitus merupakan beban yang besar bagi Indonesia karena dikaitkan dengan timbulnya berbagai komplikasi seperti jantung, gagal ginjal, kebutaan, amputasi, dan stroke. Penyakit ini juga dikaitkan dengan beban pembiayaan kesehatan yang tinggi.
Apakah tinggal di perkotaan lebih sehat?
Penelitian saya pada 2013 menunjukkan bahwa angka diabetes melitus lebih tinggi di daerah perkotaan dibandingkan dari daerah pedesaan. Sebagai kelanjutan riset ini pada 2014 dan 2015 saya membandingkan 154 laki-laki dengan latar belakang genetik dan usia yang sama antara 18-65 tahun yang tinggal di Nangapanda, Ende (Flores, Nusa Tenggara Timur). Dari jumlah itu, sebanyak 105 orang tetap di sana (pedesaan) dan 49 orang pindah dan tinggal di Jakarta lebih dari satu tahun.
Riset ini mendapatkan hasil bahwa laki-laki yang tinggal di daerah perkotaan memiliki resistensi insulin dan rata-rata kadar gula darah yang lebih tinggi daripada orang yang tinggal di pedesaan.
Pada resistensi insulin, insulin (hormon utama untuk menurunkan kadar gula dalam darah) tidak dapat berfungsi optimal sehingga kadar glukosa darah tinggi dan akhirnya menyebabkan diabetes melitus. Dari temuan ini dapat saya simpulkan bahwa penduduk perkotaan lebih rentan terkena penyakit diabetes melitus dibanding penduduk pedesaan.
Tingginya resistensi insulin pada individu perkotaan ini terkait dengan temuan riset tersebut: bahwa individu perkotaan memiliki rata-rata bobot tubuh yang lebih berat dibanding orang yang tinggal di pedesaan, terutama dalam hal lemak tubuh yang lebih tinggi.
Perbedaan kegemukan dan risiko diabetes antara masyarakat pedesaan dan perkotaan sangat mungkin disebabkan oleh perbedaan dalam hal gaya hidup antara masyarakat yang tinggal di perkotaan dan pedesaan, terutama terkait perbedaan pola asupan makanan dan aktivitas fisik. Perubahan gaya hidup karena urbanisasi mendorong masyarakat mengurangi aktivitas fisik tapi meningkatkan konsumsi makanan cepat saji yang mengandung lemak, garam, dan kalori dalam kadar tinggi.
Penduduk perkotaan cenderung memiliki waktu lebih banyak duduk di depan komputer dengan mobilitas yang cenderung terbatas. Sedangkan penduduk pedesaan memiliki mobilitas yang lebih banyak dan aktivitas yang lebih berat seperti bertani dan berburu di hutan. Kedua hal ini, yaitu konsumsi makanan berkalori tinggi dan kurangnya aktivitas fisik menyebabkan adanya keseimbangan energi berlebih sehingga disimpan dalam bentuk timbunan lemak di tubuh, yang jika berlebihan akan menyebabkan obesitas dengan berbagai komplikasinya.
Tinggal di desa bisa cegah obesitas dan diabetes?
Apakah dengan tinggal di daerah pedesaan akan serta merta melindungi kita dari bahaya obesitas dan diabetes? Jawabannya belum tentu. Penelitian yang kami lakukan pada 2014-2015 menunjukkan bahwa menjaga pola makan yang sehat merupakan hal yang penting untuk mencegah diabetes melitus.
Kami membandingkan efek pemberian makanan berkalori tinggi dan tinggi kandungan lemaknya (ekstra 1500 kilo kalori) tiga kali sehari dalam jangka 5 hari pada individu yang tinggal di pedesaan dan perkotaan. Kami pilih yang sehat 20 orang di desa dan 20 orang di kota dari 105 laki-laki yang tetap tinggal di Ende Nusa Tenggara Timur dan 49 laki-laki yang pindah ke Jakarta.
Saya mengevaluasi apakah terdapat perbedaan dalam hal kenaikan resistensi insulin. Awalnya saya berpikir bahwa individu yang tinggal di daerah pedesaan akan terlindung dari terjadinya resistensi insulin karena mereka lebih banyak aktif secara fisik. Ternyata hasilnya di luar dugaan.
Pemberian makanan yang tinggi lemak dan jauh di atas kebutuhan harian, bahkan hanya dalam jangka pendek sekali pun, sudah dapat menyebabkan kenaikan resistensi insulin. Ini terjadi tidak hanya pada individu yang tinggal di perkotaan, tapi juga mereka yang tinggal di pedesaan.
Riset ini kembali menegaskan bahwa aspek asupan makanan ini merupakan salah satu aspek penting terjadinya obesitas dan diabetes melitus. Jadi benar apa kata para guru saya di Fakultas Kedokteran UI selama ini, satu hal penting yang bisa kita lakukan untuk mencegah obesitas dan diabetes melitus adalah jamu (jaga mulut).
Lalu bagaimana cara mencegahnya?
Ada empat langkah penting untuk mencegah obesitas dan diabetes mellitus: menjaga pola makan yang sehat, terapkan pola hidup aktif, kenali faktor risikonya, dan periksa secara berkala.
Selain menjaga pola hidup sehat dengan pola makan yang sehat dan aktif secara fisik, kita juga perlu meningkatkan kesadaran kita untuk mengenali faktor risiko dan memeriksa secara berkala untuk mengidentifikasi obesitas dan diabetes melitus.
Perlu diingat bahwa hampir tiga dari empat penyandang diabetes melitus di Indonesia tidak mengetahui dirinya menyandang diabetes melitus kalau tidak menjalani pemeriksaan darah. Bila Anda berisiko terkena diabetes melitus seperti memiliki riwayat keluarga kandung dengan diabetes, jarang makan sayur dan buah, jarang beraktivitas fisik, memiliki tekanan darah tinggi, dan kegemukan, maka sebaiknya Anda memeriksakan gula darah puasa dan dua jam setelah makan setidaknya setahun sekali.
Sebenarnya yang juga mudah adalah mengenali adanya kegemukan atau obesitas. Pemeriksaan ini sederhana. Kita bisa hitung indeks massa tubuh (IMT) dengan membagi berat badan (dalam kg) dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter). Angka IMT normal untuk orang Indonesia adalah 18,5-23 kg/m2. Bila di atas itu berarti sudah terjadi kelebihan berat badan dan bila >25 kg/m2 sudah dapat dikatakan mengalami obesitas.
Angka patokan IMT tersebut lebih rendah dibandingkan dengan orang Eropa atau Amerika karena pada orang Indonesia atau kebanyakan orang Asia, diabetes/kencing manis dapat terjadi pada postur tubuh yang lebih ramping sekali pun.
Hal lain yang bisa diukur adalah lingkar perut dengan melingkarkan penggaris kain melalui pusar, angka normalnya adalah <80 cm untuk perempuan dan <90cm untuk laki-laki. Lingkar perut di atas angka tersebut menandakan adanya obesitas sentral yang meningkatkan risiko diabetes melitus dan penyakit lainnya.
Jadi kesehatan tubuh bukan hanya ditentukan tempat di mana Anda tinggal, tapi juga oleh makanan apa yang saja yang masuk ke mulut Anda dan seberapa banyak aktivitas fisik Anda.
Dicky L. Tahapary, Lecturer at the Division of Endocrinology and Metabolism, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine. Researcher at The Metabolic, Vascular, and Aging Cluster, The Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI), Universitas Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Ilustrasi: Abstract photo created by freepic.diller - www.freepik.com