David Peter Mitchell, Monash University
Penulis sebelumnya menyajikan makalahnya mengenai koro dan praktek penyembuhan tradisional di Indonesia pada acara simposium History of Medicine in Southeast Asia, 27-30 Juni, 2018 di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
Pada abad ke-19, ketika Belanda menguasai wilayah yang sekarang menjadi negara Indonesia, mereka menemui beberapa fenomena aneh seperti amuk, latah, dan koro (sindrom penis mengecil).
Mereka penasaran dan heran, kemudian mengajukan penjelasan bahwa fenomena-fenomena tersebut merupakan sindrom psikiatris yang spesifik untuk budaya lokal tertentu. Amuk dipahami sebagai luapan amarah yang tak tertahankan sementara latah sebagai refleks terkejut yang berlebihan. Budaya-budaya Indonesia memodifikasi dan menafsirkan fenomena ini dengan cara lokal yang spesifik.
Dari ketiga sindrom ini, koro paling tidak dikenal, karena kebanyakan kejadiannya hanya terjadi di Sulawesi Selatan. Dalam budaya medis orang-orang Bugis dan Makassar kata koroq memiliki arti penis yang mengecil, atau mengerut ke dalam, tapi orang Belanda tidak percaya itu sungguh-sungguh terjadi.
Sementara orang Belanda tahu bahwa penis bisa mengerut jika terpapar suhu dingin, mereka tidak menerima bahwa penis bisa mengerut karena penyebab lain. Mereka mengadopsi kata koroq, dengan membuang akhiran glotal di akhir kata tersebut, menjadi koro. Mereka mendefinisikannya sebagai kondisi delusional di mana pasien percaya bahwa penis mereka mengecil padahal tidak. Ini menjadi pandangan dominan di literatur internasional dan terdapat di teks-teks psikiatri utama di seluruh dunia.
Klasifikasi Penyakit Internasional (ICD), yang disusun oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), didasarkan pada biologi manusia yang universal dan bukan berdasarkan budaya. Maka, sindrom aneh yang terjadi di satu tempat saja menurut budaya terdaftar khusus di lampiran di luar klasifikasi utama.
Baca juga: Masuk angin? Kerokan saja
Delusi atau efek kecemasan?
Pada 1985, psikiater dari Amerika Ronald Simons menjelaskan bahwa pada koro, mengerutnya penis merupakan refleks untuk melindungi dalam situasi lari-atau-kelahi (fight-or-flight).
Mengecilnya penis umum terjadi dalam keadaan cemas. Ini dapat menjadi serangan panik besar dan menyebabkan penis mengerut ke dalam secara ekstrem, karena semakin cemas mereka penis akan semakin mengerut. Mengecilnya penis menyebabkan kecemasan, dan kecemasan tersebut membuat penis semakin mengerut, dan seterusnya.
Mengecilnya penis sebagai refleks protektif melindungi penis dari luka ditemukan dalam situasi lari-atau-kelahi pada binatang. Dalam model yang Simons ajukan refleks ini masih terjadi secara parsial pada manusia.
Teori dari Simons memberikan penjelasan universal untuk koro secara biologis bukannya penjelasan budaya yang spesifik. Namun, argumen ini belum diterima secara luas. Definisi koro sebagai sejenis gangguan delusional masih diterima secara luas dalam literatur internasional.
Di Indonesia, koro ditangani oleh tabib tradisional, yaitu dukun, yang kebanyakan merupakan warga desa dengan tingkat pendidikan sekolah umum yang rendah.
Para dukun ini jelas tidak membaca literatur internasional dan dengan cara sederhana mengikuti metode penyembuhan yang diturunkan melalui tradisi oral. Bukti yang ada menunjukkan bahwa praktik para tabib tradisional ini lebih cocok masuk ke dalam model serangan panik yang diajukan Simons ketimbang konsep bahwa koro adalah gangguan delusional.
Ketika seorang pasien datang dalam keadaan panik dan mengatakan bahwa penisnya mengecil, sang dukun menerima keluhan ini apa adanya. Dia akan memberikan perawatannya, dan menghilangkan rasa panik yang memungkinkan penis yang mengerut kembali ke kondisi normal.
Jika koro dipahami sebagai serangan panik, pemulihan yang terjadi tidak mengherankan. Serangan panik umumnya meningkat hingga suatu titik puncak dan kemudian dengan cepat menurun, sehingga sang dukun sebenarnya hanya membantu memberikan perawatan yang alamiah.
Di mana lagi di Indonesia?
Sindrom penis mengerut akibat rasa panik ini terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Yang pertama tercatat dari Sulawesi Selatan pada 1859. Hanya dalam beberapa dekade terakhir informasi yang signifikan muncul dari wilayah lain.
Di Flores barat dan tengah, sindrom ini dikenal dengan sebutan ru’u pota, “sihir pengecil”. Koran lokal Flores Post melaporkan epidemi dengan ratusan kasus tersebut di Ende dari 5-7 Oktober 1999.
Di Sumba Timur, sindrom ini dikenal sebagai hei lulu, “semuanya naik ke atas”. Di distrik Belu di Timor sindrom ini dikenal sebagai lulik oan subaran, “si kecil yang suci sedang bersembunyi”. Laporan mengenai kondisi ini muncul di surat kabar lokal di Indonesia dan laporan ahli antropologi lokal, tapi belum pernah di jurnal medis internasional.
Cerita dukun penyembuh koro
Karena ketidakjelasan seputar teori Simons, ketika saya mendengar pada 2002 tentang seorang dukun dari Sumba di pinggiran Waingapu yang terkenal dapat menyembuhkan koro, saya memutuskan untuk mengunjunginya.
Umbu Hina Panjarra seorang peternak babi dan penggemar berat Megawati Soekarnoputri, mantan presiden Indonesia, sangat bersemangat ketika bercerita. Dia mengatakan bahwa tidak hanya warga desa, tapi beberapa pejabat penting pemerintah juga diantar secara tergesa-gesa ke rumah sederhana beralas tanah milik Hina, seringkali dengan sehelai tali yang diikat pada penis mereka untuk mencegahnya menghilang.
Hina memberi perawatan dengan pijatan yang keras, memijat otot betis dan paha ke arah atas, dan memijat perut ke arah bawah, seakan-akan mendorong semacam energi tubuh menuju penis yang mengecil. Sangat penting untuk memijat dengan keras, katanya, dan memberi tekanan pijat yang menyakitkan.
Gaya dukun ini seperti pemain pertunjukan yang antusias dan dia suka meminta pasiennya telanjang bulat agar keadaan penis yang membaik dapat terlihat, dan drama membuka tali yang mengikat penis menjadi tanda bahwa baik tabib dan pasien sudah yakin bahwa krisis telah berlalu.
Ini materi yang menakjubkan. Namun, cerita ini merupakan anekdot dan tidak membuktikan tesis milik Simons.
Hina tidak memiliki catatan pengukuran atau foto atau dokumentasi apapun. Gaya berbahasa Hina merupakan gaya tabib karismatik dan bukan gaya bahasa pengamat yang objektif, berhati-hati dan kritis terhadap dirinya sendiri.
Namun, ceritanya menjadi petunjuk bahwa memang ada refleks penis mengerut yang patut diteliti secara sungguh-sungguh.
Saya dengan mudah menemukan Hina Panjarra di Sumba karena sebelumnya saya pernah bekerja di sana sebagai Pejabat Kepala Dinas Kesehatan di Sumba Barat pada 1968-69, tapi saya hanya seorang pengunjung pada tahun 2002 dan tidak pada posisi untuk mengumpulkan bukti-bukti hasil pengamatan terhadap pasien Hina. Namun, saya menjadi yakin bahwa mengumpulkan lebih banyak informasi mengenai topik ini cukup bernilai.
Baca juga: Mengapa riset kesehatan jarang mempengaruhi kebijakan di Indonesia
Bukti baru
Baru-baru ini bukti baru muncul dari beberapa dokter di Kairo, Mesir, yang memberikan suntikan botoks pada pria yang malu karena penis yang mengecil. Mereka telah mempublikasikan pengukuran tingkat mengecilnya penis dan tingkat perbaikan hasil dari suntikan botoks.
Mengikuti beberapa petunjuk, saya mengunjungi Ende dan kemudian Makassar, dan menemukan dukun di kedua tempat, yang mengobati sindrom ru’u pota dan koroq.
Meskipun kepercayaan masing-masing budaya berbeda dari tempat ke tempat, begitu juga dengan gaya dan metode penyembuhan para dukun, ketiga tabib yang saya ajak bicara menekankan dua hal: bahwa mengecilnya penis itu betul-betul terjadi, dan selama pasien dibawa dengan selamat ke rumah sang dukun, mereka semua bisa disembuhkan dan penisnya kembali ke kondisi normal.
Meskipun koro ditemukan di Indonesia, publikasi internasional terbaru mengenai koro datang dari India, Afrika dan banyak negara lain, tapi tidak satu pun dari Indonesia.
Mungkin sudah saatnya bagi ahli antropologi medis Indonesia dan peneliti kesehatan untuk membangkitkan kembali penelitian dengan subjek koro, mengambil manfaat dari keberlanjutan praktik dukun di bidang ini.
David Peter Mitchell, Adjunct Senior Research Associate, Monash University
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
__________________________________
ilustrasi: Pexels / Pixabay.com