“Saya sudah sampai ke puncak Himalaya,” ujar Tiara Savitri (50 tahun). Ia bukan pendaki gunung profesional, melainkan seorang penyandang penyakit lupus.
Bertahun-tahun sebelumnya, ia menganggap naik gunung hanyalah kegiatan karena kurang kerjaan. Susah payah ke puncak, kemudian turun lagi dan diterpa cuaca ekstrim. Maka, hanya mereka yang memiliki kondisi tubuh prima yang bisa naik gunung. Tiara membuktikan, hal itu tidak selalu benar.
“Aku naik gunung, bukan mengejar gunung lho. Jadi, enjoy saja karena tidak ada target harus sampai ke puncak. Alhamdulillah, aku bisa sampai ke puncak,” papar Ketua Yayasan Lupus Indonesia itu. Tiara memang penderita lupus, penyakit yang banyak menyerang wanita, dan hingga kini belum ada obatnya. Ia merasa, mendekatkan diri pada alam adalah sarana terapi bagi penyakitnya.
“Step by step aku bersyukur sudah sampai di sebuah pos. Selama pendakian, tiap 20 menit kami berhenti untuk minum. Sekian menit sekali, kami diperiksa pakai oksimeter; oksigen dan detak jantungnya berapa. Jadi, kami tahu kalau jalannya kecepatan.
Sebelum sampai ke Himalaya, pada 2012 lalu sekelompok pendaki perempuan mengajaknya untuk ikut mendaki dan mensosialisasikan tentang lupus di 12 gunung di Indonesia.
“Aku bergabung dengan Perempuan Pendaki Peduli Lupus, rata-rata usia kami di atas 40 tahun. Bawaanku yang paling banyak, karena dalam rombongan hanya aku yang lupus.
“Saat itu prof. dr. Zubairi Djoerban yang nanganin aku, tidak setuju aku naik gunung. Apalagi aku punya seorang anak. Sinar matahari langsung adalah “musuh besar” bagi odapus (orang dengan lupus). Odapus sensitif pada sinar matahari. Kulit bisa gosong, badan panas dan timbul ruam kulit. Kami juga dilarang keras kelelahan.
“Awalnya aku deg-degan, tapi setelah turun gunung aku merasa jauh lebih sehat dan makin bugar. Ketika aku tanya ke Prof. Zubairi: apa beda antara panas matahari di pantai dan di gunung, beliau nggak tahu jawabannya.
“Aku jadi berfikir, mendaki gunung bisa diterapkan ke sesama odapus, minimal kami bisa olahraga bareng. Olahraga adalah salah satu cara agar kami sehat,” tutur wanita yang pertama kali terdiagnosa lupus tahun 1998 ini.
Naik gunung, emosi turun
Ia bercerita tiap kali akan naik gunung, serangan psikosomatis dan ketakutan datang. Apalagi setelah mendengar cerita-cerita seram tentang gunung yang akan didaki.
“Dulu saat naik Gunung Slamet, tumben pelatihku nanya: kamu sudah siap mental, sudah tahu kondisi gunungnya, bagaimana ekstrim cuacanya? Aku pikir kenapa dia nanya begitu, maksudnya apa? “
Psikosomatis justru membuat kondisi badannya turun, muka merah dan panas tinggi. Karena penyakit lupus sangat berhubungan dengan emosi dan stres.
“Kalau pikiran jelek, ya sakitnya keluar. Akhirnya, aku sadar bahwa naik gunung itu harus menjaga sikap dan pikiran. Eh, panasnya reda dan aku jadi naik gunung.
“Dan, kebiasaanku, sebelum naik dan setelah turun gunung selalu periksa lab. Hasilnya bagus. Malah waktu aku turun dari Gunung Rinjani, aku tifus skala 6. Itu tinggi banget, tapi badan nggak panas atau mual. Aku masih bisa jalan-jalan. Dokternya sampai bingung. Aku tanya, apa yang membuat aku tidak tergeletak seperti orang yang skala 4 saja sudah masuk rumah sakit? Dokter diam. Akhirnya dia bilang bahwa daya tahanku bagus, dan lupusnya bisa lebih menekan virus tifus.
“Aku makin belajar tentang pengontrolan diri. Setelah naik gunung justru lebih sehat. Aku belajar bagaimana menahan emosi, sabar, melawan ketakutan, bagaimana menanamkan kepercayaan diri.
“Kepercayaan diri bagi odapus itu penting, karena setelah kita mendapatkan lupus kondisi fisik pasti berubah. Walau secara fisik berubah, bukan berarti kita tidak bisa seperti orang normal lainnya,” papar Tiara.
Bersahabat dengan alam
Tiara pernah berbobot sampai 120 kg, badannya berisi air karena ginjal bocor akibat lupus. Katanya tentang menjaga sikap saat di gunung:
“Waktu pertama kali naik Gunung Klabat, Sulawesi Utara, aku salah ngomong : akan menaklukkan alam. Setelah dari puncak, mau turun kami dihadang hujan badai. Yang di belakangku bilang ‘mbak Tiara sih tadi pakai ngomong mau menaklukkan alam’. Aku sadar dan kemudian minta maaf, Ya, harusnya aku berkata: mari kita bersahabat dengan alam.
“Di Gunung Klabat itu aku dilihatin rumah-rumah putih. Awalnya aku diam saja, setelah ada yang bilang dulunya memang di situ ada rumah-rumah tapi habis terbakar, aku ketakutan.
“Waktu di Gunung Agung, Bali, kami jalan dan di sebelah kanan jurang. Anehnya, aku melihat ada pendaki laki-laki di kanan ku. Aku jalan saja terus, jadi malah ngerasa ditemenin, ha ha ha. Dan Gunung Slamet, yang katanya super angker, aku malah nggak lihat apa-apa.
Setelah berhasil mendaki ke 11 gunung, Tiara mendapat tawaran dari stasiun TV BBC Inggris untuk menjajal Himalaya. Ia mendaki bersama dua odapus lain; satu mengalami gagal jantung dan lainnya organ limpa sudah diangkat.
“Alhamdulillah kami bertiga berhasil mencapai puncak,” terangnya. Tiara ingin membuktikan pada odapus lain, bahwa walau memiliki lupus tetap bisa melakukan kegiatan ekstrim, sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak beraktivitas di luar rumah. (jie)