Usianya sudah 66 tahun, tapi Mamah Dedeh selalu kelihatan energik. Padahal sehari-hari jadwalnya padat merayap. “Jam satu taping pertama, jam tiga taping kedua. Lalu shalat subuh, dan jam enam sudah mulai siaran sampai jam delapan,” tutur Mamah Dedeh, saat dijumpai di diskusi “Puasa Nyaman Tanpa Panas Dalam” yang diselenggarakan Cap Kaki Tiga di Jakarta, Kamis (24/05/2018).
Kegiatan ustazah yang bernama lengkap Dedeh Rosidah Syarifudin ini belum selesai. Usai siaran, ia lanjut memberikan ceramah ke berbagai tempat. Tiba di rumah, jam 8 malam. Habis itu, lanjut lagi memikirkan materi untuk taping dan siaran besoknya. Wah, kapan tidurnya, Mah? “Makanya, di jok tengah mobil itu khusus buat saya, ada bantal dan guling. Tidur di perjalanan,” ujar Mamah Dedeh.
Soal makanan, Mamah cuma memantang satu: pantang mundur! “Gak pantang apa-apa, yang penting saya ikhlas. Saya yakin semua yang diciptakan Allah itu baik, asal jangan berlebihan,” tutur ustazah kocak yang ceramahnya selalu dinantikan terutama oleh kaum ibu.
Di usianya ini, Mamah tetap makan gulai otak, kikil hingga durian. Garam pun tak dipantangnya. Daging kambing tidak disentuhnya karena tidak suka. Semisal ada prasmanan, sebagian orang takut makan kangkung karena khawatir nanti lututnya sakit. “Kangkung belum dimakan, lutut sudah sakit duluan. Kalau saya, makan saja, asal jangan berlebihan. Allah ciptakan makanan untuk dinikmati,” tuturnya.
Mamah Dedeh hampir tidak suka air putih. Ia lebih memilih teh, jus buah, atau soda. Ini dipengaruhi oleh kebiasaannya saat masih kecil. Di kampungnya di Ciamis, banyak sawah, empang dan kebun. “Emak saya tiap pagi bikin teh berteko-teko untuk dibawa ke sawah, ke empang. Jadi saya sekeluarga selama hidup di rumah Emak di Ciamis hampir tidak pernah minum air putih,” ucapnya.
Urusan check up jangan ditanya; Mamah tidak pernah melakukannya. “Kenyataannya, saya tetap sehat meski tidak tidur seminggu,” ujarnya. Ya, bisa dibilang waktu tidurnya amat minim, dikarenakan kesibukannya. Kegiatannya pun tidak berkurang selama bulan Ramadhan. “Kalau sehari itu 50 jam, juga masih kurang,” ia terkekeh. (nid)