Anak Anda sering bengong, tidak merespon saat disentuh atau kepala terkulai tanpa sebab, terjadi berkali-kali dalam sehari? Bisa jadi, si kecil terserang epilepsi.
Epilepsi disebabkan lonjakan aliran listrik dalam otak, terjadi tiba-tiba dan berulang. Bisa terjadi pada sebagian atau seluruh bagian otak, menyebabkan kejang sampai berkelojotan atau hanya pada bagian tubuh tertentu.
Kondisi ini bisa terjadi bila ibu saat hamil mengalami infeksi, demam tinggi atau malnutrisi. Proses persalinan yang sulit, bayi kurang atau telat bulan, juga dapat menyebabkan otak janin kekurangan zat asam.
Dr. Lyna Soertidewi, SpS (K), M.Epid, dari Departemen Ilmu Penyakit Saraf Universitas Indonesia menyatakan, “Gangguan otak janin seperti infeksi atau radang selaput otak, cedera akibat benturan fisik dan tumor, kelainan pembuluh darah pada otak, menyebabkan janin berpotensi mengidap epilepsi.” Tapi, 60% kejadian epilepsi pada bayi / anak belum diketahui sebabnya.
Baca juga : Kenali Gejala Epilepsi pada Anak-Anak
Epilepsi tidak selalu ditunjukkan dengan gejala kejang bekelojotan dan mulut berbusa. Menurut spesialis anak dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dr. Hardiono, D. Pusponegoro, kejadian epilepsi baik kejang atau bengong lebih sering terjadi pada anak dibanding orang dewasa, karena otak anak, terutama bayi, belum berkembang sempurna.
Bedanya dengan melamun, jika saat bengong kemudian digoyang tetap tidak sadar, berarti epilepsi. Gampang dicetuskan, gampang pula diobati. Pada anak yang lebih dewasa, dengan menarik napas dalam dan mengeluarkannya sebanyak 30x, bengong akan muncul. “Tidak merusak otak, jadi tidak perlu kawatir,” tegas dr. Hardiono.
Tanda lahir merah
Epilepsi bisa menyerang bayi dengan tanda lahir merah di sebagian wajah. Warna kemerahan ini karena pelebaran pembuluh darah pada bagian tertentu di otak. Terapinya adalah dengan kateterisasi pembuluh darah otak.
Gejala lain ditunjukkan dengan bayi kejang seperti terkejut tanpa sebab. “Kagetnya bisa puluhan kali sehari. Terjadi pada bayi usia 3-12 bulan yang, misalnya, terkena toksoplasma atau hidrosefalus; disebut sindrom west,” kata dr. Hardiono. Sindrom ini lebih sering terjadi pada laki-laki dengan rasio 56:44 dibanding perempuan.
Bagaimana mengobatinya? Makin sedikit obat anti epilepsi (OAE), makin bagus hasilnya. Umumnya, 70% serangan dapat teratasi dengan 1 jenis OAE, sisanya (30%) perlu terapi kombinasi.
Obat antara lain divalproex sodium, fenobarbital, gabapentin atau okskabasepin. Pengobatan harus dilakukan secara teratur. Penghentian obat secara mendadak dapat menyebabkan serangan baru yang berdampak lebih serius, seperti serangan epilepsi beruntun dan tidak terkontrol.
Ketika terjadi serangan, misalnya kejang, jangan panik. Epilepsi dapat disembuhkan, tidak menular dan bukan penyakit turunan. Tak perlu memasukkan benda apa pun ke dalam mulut. Cukup, jauhkan benda-benda keras yang bisa membuatnya terbentur. Jika kejang dirasa berbahaya, segera bawa ke dokter. (jie)