Kehebohan soal vaksin dengue masih berlanjut. Sanofi produsen vaksin tersebut, menyatakan bahwa dikhawatirkan vaksin bisa menyebabkan dengue berat (derajat 1 dan 2) pada mereka yang seronegatif alias belum pernah terinfeksi dengue. “Pada mereka yang belum pernah terinfeksi, vaksin dengue seolah-olah seperti infeksi primer. Begitu terkena infeksi berikutnya dari serotipe lain, jadi berat. Konsepnya seperti itu, namanya teori ADE (antibody-dependent enhancement),” terang Prof. Dr. dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K), Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Universitas Indonesia.
Teori ADE pertama kali dikemukakan pada 1977 oleh peneliti dengue Scott Halstead. Sebagai informasi, ada 4 serotipe virus dengue. Terinfeksi oleh salah satu serotipe tidak memberikan perlindungan silang terhadap ketiga serotipe yang lain. Justru sebaliknya, “Infeksi kedua dengan serotipe berbeda biasanya lebih berat.” Karenanya, ADE disebut juga secondary heterologous infection.
Belum jelas mengapa infeksi kedua menjadi lebih berat. Diduga, antibodi yang terbentuk akibat infeksi pertama bisa berikatan dengan virus saat terjadi infeksi kedua. Namun sayangnya, antibodi tidak cukup kuat untuk menetralisir virus. Malah yang terjadi, virus yang sudah berikatan dengan antibodi jadi lebih mudah masuk ke sel, membuatnya bereplikasi jauh lebih cepat. Maka, sistem imun pun bereaksi, dengan menciptakan “badai” sitokin untuk melawan infeksi. Inilah yang meningkatkan kemungkinan terjadinya kebocoran pembuluh darah, yang bisa berujung pada perdarahan dan syok.
Ditengarai, antibodi bukan satu-satunya yang bisa menyebabkan ADE. Sel T, imunitas bawaan (innate immunity) dan genetik juga berperan penting. Bukan berarti ADE selalu terjadi pada infeksi kedua. Mekanisme reaksi ini begitu kompleks; untuk terjadinya ADE, diperlukan kombinasi yang “pas” antara antibodi pengikat dan antibodi penetralisir. Ada pendapat yang menyatakan bila antibodi sebelumnya rendah, maka tidak cukup banyak antibodi yang akan berikatan dengan virus dan membantunya masuk ke sel. Sebaliknya bila kadar antibodi yang tercipta dari infeksi primer tinggi, maka akan tersedia antibodi penetral yang cukup untuk mengatasi infeksi virus dengue kedua. Ini pula yang diduga terjadi pada infeksi ketiga dan keempat; biasanya reaksi infeksi jauh lebih ringan. Yang dianggap bisa memicu ADE yakni kadar antibodi sedang.
(Baca juga: Beda Demam Dengue dan DBD)
Prof. Sri menegaskan, teori ADE tidak selalu terjadi “Ada juga yang kena dengue primer reaksinya berat, kalau kena serotipe yang ganas. Yakni serotipe 2 dan 3.” Di Indonesia, keempat serotipe ini ada, tapi dominasinya berbeda di tiap daerah. Ada pula daerah yang hanya memiliki satu atau dua serotipe. Dengue ringan hanya menimbulkan reaksi seperti flu atau pegal-pegal; mungkin ktia tidak sadar bahwa itu disebabkan infeksi dengue. Dengue sedang (derajat 1-2) mungkin perlu dirawat, tapi akan membaik dalam 1-2 hari. Disebut demam berdarah dengue bila masuk derajat 3-4.
Terkait vaksin dengue, kekhawatiran bahwa vaksin bisa menimbulkan dengue berat pada anak dengan seronegatif dengue, telah dikemukakan oleh Halstead dan Phillip Russel awal tahun lalu. Halstead yang merupakan pernah menjabat sebagai penasihat senior di Dengue Vaccine Innisiative, melihat ada masalah pada data yang diungkapkan dalam 3 tahun hasil penelitian vaksin dengue. Ia melihat bahwa penerima vaksin yang berusia <5 tahun dan seronegatif, jumlahnya 5x lebih banyak yang dirawat di RS akibat dengue dibandingkan kelompok kontrol yang tidak divaksin.
(Baca juga: Betulkah Vaksin Dengue Berbahaya? Yuk Simak Penjelasannya)
Tidak dijelaskan, seberat apa dengue yang diderita anak-anak yang dirawat di RS. Menurut Prof. Sri yang melakukan penelitian vaksin dengue di Indonesia, tidak ditemukan kejadian dengue berat pada anak-anak yang divaksin. Ia melanjutkan, keamanan vaksin termasuk kaitannya dengan kecurigaan ADE telah dibuktikan pada penelitian fase I dan II. Penelitian yang dilakukan di Indonesia dan 9 negara lain adalah fase III, untuk menilai efikasi vaksin. “Pada anak yang seropositif, perlindungan yang diberikan vaksin bagus sekali. Pada yang seronegatif juga terbentuk proteksi, tapi lebih rendah,” ujarnya.
Halstead dan Russel dalam pernyataannya dulu mendesak Sanofi agar memantau ADE pada studi fase IV. Fase IV merupakan penelitian tahap akhir, setelah vaksin dilisensi dan digunakan; disbeut juga post marketing surveillance. Tujuannya, mendeteksi efek simpang atau KIPI (Kejadian Ikutan Paska Imunisasi) yang jarang, serta memantau keamanan vaksin dalam jangka panjang.
(Baca juga: Wolbachia, Upaya Memberantas DBD dengan Memelihara Nyamuk)
Indonesia merupakan negara endemis dengue nomor dua setelah Brazil. Angka kejadian dengue terus naik dari tahun ke tahun, meski angka kematiannya sudah sangat rendah, <1%. Dengan berbagai upaya seperti 3M dan lain-lain, infeksi dengue masih saja tinggi. Padahal, WHO membuat target mengurangi angka kematian dengue 50% pada 2020 dan mengurangi morbiditasnya hingga 25%. “Kita berpikir, apa lagi yang bisa dilakukan untuk menekan dengue. Harapannya, vaksin,” pungkas Prof. Sri. (nid)