Seminggu terakhir ini, ramai pemberitaan soal kegemparan di Filipina soal vaksin dengue, menyusul diterbitkannya pembaruan informasi oleh Sanofi selaku produsen vaksin tersebut. Sanofi menyatakan, ada kekhawatiran terjadi dengue berat (derajat 1 dan 2) pada mereka yang belum pernah terinfeksi virus dengue. Pemerintah Filipina segera menghentikan distribusi, penjualan dan promosi vaksin dengue. Bahkan berencana meminta pengembalian uang untuk pembelian vaksin tersebut dari Sanofi, sebesar 3,5 miliar Peso (Rp >900 miliar).
Kepanikan yang terjadi di Fipilina cukup beralasan. Vaksin dengue telah masuk program vaksinasi nasional di negara tersebut, dengan >730.000 anak sekolah telah diimunisasi. Namun sebelum kita ikut panik dan berpikir buruk tentang vaksin secara umum, ada baiknya kita menelaah lebih jauh. Kondisi di Indonesia pun jauh berbeda. Di sini, vakin dengue belum masuk program. Kita harus membeli sendiri untuk vaksin tersebut, sehingga cakupan vaksin sangat jauh lebih sedikit dibandingkan di Filipina.
Bisa dibilang, kepanikan di Filipina semata karena pernyataan yang dikeluarkan oleh Sanofi. Secara data, tidak ada kematian akibat dengue pada anak yang menerima vaksin. Memang setidaknya ada satu anak berusia 12 tahun yang divaksin kemudian terkena dengue, dan kemudian sembuh. Namun tidak disebutkan apakah dengue disebabkan oleh vaksin, dan seberapa berat dengue yang dialaminya. “Lembaga Swadaya Masyarakat lokal mengungkapkan terjadi tiga kematian, tapi setelah diteliti, tidak berhubungan dengan vaksin,” ungkap Prof. Dr. dr. Sri Rezeki Hadinegoro, Sp.A(K), Guru Besar Universitas Indonesia, yang mengepalai penelitian tentang vaksin dengue di Indonesia.
Sanofi meminta kepada badan yang berwenang dalam peredaran obat dan makanan di negara yang mengimpor vaksin dengue, untuk memperbarui label vaksin. Berdasarkan analisis baru, vaksin tidak direkomendasikan untuk mereka yang belum pernah terkena dengue, karena dikhawatirkan terjadi dengue berat (derajat 1 dan 2). “Penyebutan dengue berat ini yang bikin panik. Padahal dalam kurung disebut derajat satu dan dua; ini tidak berat. Yang berat itu derajat tiga dan empat, yang bisa sampai menimbulkan perdarahan dan syok,” papar Prof. Sri.
Ia menjelaskan tentang penelitiannya. Penelitian tersebut dilakukan di lima negara Asia dan lima negara Amerika Latin (Baca juga: Vaksin, “Senjata” Baru Melawan DDB). Di Indonesia, penelitian melibatkan >1.800 anak usia 2-14 tahun di Jakarta, Bandung dan Denpasar. Penelitian dimulai sejak Juni 2011, dan terus dipantau. “Berarti sudah enam tahun, dan akan kita lihat hingga empat tahun kemudian. Selama ini tidak ada masalah. Secara statistik, ditemukan lima perawatan per 1.000 kasus,” ungkapnya. Anak yang ikut penelitian dipantau melalui telepon setiap minggu. Bila anak sakit apapun, akan dicatat. Sejauh ini, tidak ada kejadian dengue berat yang dilaporkan. Demikian pula di Fillipina. “Saat penelitian tidak ada masalah. Kalau ditemukan masalah, tentu vaksin tidak akan kita pakai,” tegasnya.
Vaksin dengue direkomendasikan untuk anak usia 9-18 tahun. Berdasarkan ketentuan dari SAGE (Strategic Advisory Group of Expert), Badan WHO untuk vaksin dan imunisasi, vaksin dengue boleh dipakai di negara dengan seroprevalensi >70%. Bagaimana seroprevalensi di Indonesia? Prof. Sri memaparkan penelitian di Indonesia. Data memperlihatkan, angkanya begitu tinggi, “Yang positif usia 1 tahun saja sudah 26%. Makin tua makin tinggi.” Di usia 5 tahun angkanya 50%, 9 tahun 81%, dan di usia 18 tahun mencapai 95%. Artinya, seroprevalensi dengue di Indonesia pada usia 9 tahun sudah >70%, sesuai dengan ketentuan WHO. “Itu indikasi pertama. Memang cocok dengan Indonesia, sebagai negara endemis dengue,” imbuhnya.
Menanggapi pernyataan Sanofi dan kepanikan di Filipina, Prof. Sri dan kolega membuat kesimpulan mengenai vaksin dengue di Indonesia. “Pada anak yang sudah ketahuan pernah terkena dengue, vaksin bisa langsung diberikan,” ujarnya. Namun, dengue tidak selau bergejala. Pada dengue ringan, gejala mungkin hanya seperti flu dan/atau pegal. Bila tidak tahu apakah sudah pernah kena dengue sebelumnya, maka dianjutkan mlakukan pemeriksaan IgG anti dengue, “Kalau positif bisa divaksin. Kalau negatif jangan.”
Untuk anak yang sudah telanjur divaksin, Prof. Sri meminta orangtua untuk terus memantau. “Kalau anak sampai demam, harus dipastikan itu dengue atau bukan,” tegasnya. Bila anak demam, sebaiknya berobat ke dokter yang memberikan vaksin, meski vaksinasinya sudah lama, katakanlah 1-2 tahun lalu. Tetap harus diperiksa melalui pemeriksaan lab, apakah demam yang dialami anak disebabkan oleh dengue. Bila dengue, maka harus terus diobservasi. Untuk menghindari kemungkinan terjadi dengue berat. (nid)