Kertas bertuliskan “Terjual” dilekatkan pada lukisan berjudul Burung Kuning. Tak jauh dari sana, terpampang lukisan lain dengan goresan yang mirip, Burung Hitam. Keduanya bukan lukisan biasa. Lukisan itu hasil karya seorang anak yang istimewa, Muhammad Alif Maulana (14 tahun).
Alif, begitu ia dipanggil, sedang disuapi makan oleh ibunya ketika dijumpai di Rumah Sakit Cipto Mangkunkusumo (RSCM), Jakarta, beberapa waktu lalu. Sang ibu, Meyke Meirawati (48 tahun), berusaha membujuk Alif agar mau makan lagi. Sementara Alif terus saja menghindar dan mulai asik dengan gawainya.
“Alif kena penyakit langka MPS tipe II,” ujar Meyke. Penyakit ini membuat sendi-sendi Alif kaku. Jadi jangan heran bila ia disuapi, padahal sudah besar. Untuk memegang alat yang kecil seperti sendok dan melakukan gerakan menyuap, Alif merasa kesulitan. Ya, karena tangan dan jari-jarinya kaku. Ini khas pada MPS tipe II atau disebut juga Sindrom Hunter.
MPS (mukopolisakaridosis) adalah kelainan genetik, di mana tubuh penderita tidak bisa memproduksi enzim-enzim yang diperlukan untuk memecah molekul glikosaminoglikan (GAG). Akibatnya, GAC tidak bisa dicerna dan menumpuk di dalam sel. Makin lama sel makin membesar karena tumpukan GAC makin banyak; mulailah muncul gejala.
Alif lahir dengan proses persalinan normal, 5 Mei 2003. Waktu lahir, kondisinya seperti anak pada umumnya, dengan berat 3,3 kg dan panjang tubuh 47 cm. Tumbuh kembangnya pun normal, tidak ada yang terlihat aneh. Ia bicara dan berjalan sesuai perkembangan usianya. Meyke berpikir, kondisi Alif tidak berbeda dengan kedua abangnya.
Usia 9 bulan, Alif mengalami hernia dan pusarnya agak keluar. Siapa sangka, menurut literatur, ternyata ini merupakan salah satu gejala awal Sindrom Hunter. Namun saat itu keluarga tidak curiga apa-apa. Toh, hernia termasuk umum dialami bayi, dan lagi tidak ada riwayat penyakit langka di lingkungan keluarga.
Pada usia 5 tahun, gejala MPS mulai muncul pada diri Alif. “Awalnya, sendinya kaku. Tangannya kaku, susah digerakkan,” kenang Meyke. Alif dibawa ke RSCM, lalu diperiksa oleh Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, Sp.A(K), yang memang spesialis menangani penyakit langka. “Pemeriksaannya belum ada di Indonesia, jadi contoh darah Alif dikirim ke Taiwan,” lanjut Meyke.
Hasil pemeriksaan menyatakan bahwa Alif menderita MPS tipe II. Mendengar kabar ini, Meyke bingung, “Itu penyakit apa? Apa dampaknya buat Alif?” Selama beberapa saat, belum ada perubahan berarti pada Alif. Keluarga pun masih santai menanggapinya.
Operasi kepala
Usia 8 tahun, Alif tiba-tiba muntah di mobil saat dalam perjalanan menuju sekolah. Sejak itu, ia tidur terus. Hanya bangun sebentar, disuapi makan, tidur lagi. “Saya pikir masuk angin, biasa kan anak-anak,” ucap Meyke. Tidak kunjung sembuh, akhirnya Alif dibawa ke dokter. Hingga 2 minggu dirawat, tidak juga diketahui apa yang terjadi pada Alif. Ia tetap tidur terus. Tidak mau makan dan minum sehingga nutrisi dan cairan diberikan lewat infus.
“Setelah di-MRI, baru ketahuan ada cairan di kepalanya, sebelah kanan. Harus segera dioperasi,” tutur Meyke. Operasi langsung dilakukan untuk mengambil cairan tersebut. Tidak diketahui, mengapa cairan bisa muncul di kepala Alif. Bisa jadi hal itu berhubungan dengan MPS.
Muncul masalah setelah operasi. “Alif yang tadinya pintar, sudah bisa membaca dan menulis, mulai blank,” jelas Mekye. Perubahannya begitu drastis. Mekye pelan-pelan mengajari Alif lagi, mulai dari nol. Beruntung, Alif bisa mengikuti dan perlahan kemampuan akademisnya kembali. Alif melanjutkan sekolah di SD yang sama, tapi didampingi shadow teacher (guru pendamping). Tangan kanannya kaku dan sakit, tidak bisa memegang bulpen, “Belajarnya secara verbal, tanya – jawab.”
Meyke bersyukur karena teman-teman Alif bisa menerima dan memahami kondisinya. Bahkan, mereka cenderung mengalah. Selama kelas 5 -6 SD adalah masa yang berat bagi Alif. Mungkin karena pelajaran makin sulit, dan ia mulai beranjak puber, sehingga mood dan emosinya mulai naik turun. Lulus SD, Alif pindah ke sekolah untuk anak berkebutuhan khusus. Ia tidak lagi didampingi shadow.
Obat Rp 3 miliar
Seiring berjalan waktu, MPS mulai menampakkan wujudnya. Kondisi fisik Alif mulai berubah, khas penderita MPS. Pada anak-anak dengan Sindrom Hunter, pipinya lebar dan bulat, hidung besar, bibir menebal dan lidah besar, kepalanya besar, tubuhnya pendek.
“Kata dr. Damayanti, sudah ada penebalan di lambung, limpa dan hati,” ujar Meyke. Karena tubuhnya pendek, rongga perut Alif ikut pendek, sehingga daya tampung lambung menerima makanan tidak bisa banyak. Persendiannya makin kaku. Sempat tangannya benar-benar kaku, sampai sulit digerakkan. Kakinya jugan makin kaku, sehingga cepat capek saat berjalan. Sekarang, Alif memakai kursi roda kalau harus berjalan jauh.
Saat Alif didiagnosis tahun 2008, obat untuk MPS masih sangat sulit didapat. Pengobatan yang dijalannya hanya untuk perawatan sehari-hari. Misalnya untuk batuk pilek, yang sering dialami. Kadang kalau pilek, hidung Alif mampet dan akhirnya infeksi ‘lari’ ke telinga. Masalah THT (telinga, hidung, tenggorokan) memang jamak menjangkiti penderita MPS, karena saluran nafas mereka menyempit dan tenggorokannya bengkak. “Jadi, saya intensif membawa Alif ke dokter THT setiap bulan,” imbuh Meyke.
Sempat Alif menjalani terapi untuk melatih motorik halus. Terapi dilakukan seminggu sekali, tapi berhenti setelah Alif menjalani operasi kepala.
Untuk MPS-nya sendiri belum diobati. MPS hanya bisa diatasi dengan terapi sulih enzim (TSE), untuk menghilangkan tumpukan GAC. Untuk MPS tipe II, obatnya baru disetujui izin edarnya oleh FDA (Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat) pada 2006. Pengadaan obat penyakit langka di Indonesia kini mulai lebih mudah, dengan bantuan Yayasan MPS & Penyakit Langka Indonesia. “Tapi, harga obatnya mahal sekali, Rp.3 miliar untuk 6 bulan. Itu problemnya,” ujar Meyke.
Melukis
Usia 9 tahun, Alif mulai belajar melukis, “Awalnya karena dia senang mewarnai, lalu saya kasih les. Ternyata dia senang, jadi kami lanjutkan.” Ternyata, menurut Dr. dr. Damayanti, melukis bisa membantu membantu melemaskan tangan Alif yang kaku.
Cara Alif memegang menggerakkan kuas agak berbeda dengan orang biasa, karena jemarinya kaku. Goresan kuasnya pendek-pendek, tidak bisa panjang. Saat melukis, Alif duduk di bawah. “Tapi kan kanvas besar, sementara dia sulit mengangkat tangan tinggi-tinggi. Jadi, untuk melukis bagian atas, kanvasnya diputar,” ujar Meyke. Sayang, kegemarannya melukis berhenti pada 2014, lantaran tangan Alif makin kaku. Makin sulit baginya memegang kuas.
Usia bertambah, Alif mulai menyadari bahwa dia berbeda dengan anak lain. Dulu, ia aktif dan tidak malu ikut menari bersama teman-temannya di pentas sekolah. Satu dua tahun terakhir, ia mulai merasa tidak nyaman bila berada di keramaian. Ia mulai moody, “Apalagi kalau jalanan macet.”
Sebagai ibu, tentu Meyke sedih dan kecewa melihat anak yang tadinya sehat, perlahan mengalami kemunduran. “Kadang saya bertanya-tanya, apa yang salah dengan saya? Tapi di sisi lain saya berpikir, Allah memberi saya anak yang istimewa sehingga saya selalu ingat pada-Nya. Saya terima saja. Semoga ini bisa menjadi berkah bagi keluarga kami,” tutur Meyke.
Jarak usia antara Alif dan kedua abangnya terpaut jauh. Abangnya yang nomor satu sudah bekerja, yang nomor dua sudah kuliah. Keduanya sangat sayang kepada Alif. Mereka tahu, bagaimana Alif berjuang selama ini dengan kondisinya. Meyke bersyukur, Alif masih sehat sampai sekarang.
Rasa cinta yang ditunjukkan keluarga, membuat Alif bisa lebih cuek. “Kami sering membawa Alif jalan-jalan ke mall. Dia senang bermain di Timezone,” ucap Meyke. Mereka santai dan tidak malu dengan kondisi Alif. Tak bisa dipungkiri, penampilan fisik Alif berbeda dengan anak lain, sehingga ada saja yang ngeliatin.
Meyke mengajari Alif untuk cuek saja bermain, meski ada yang memperhatikan. “Tidak usah minder kalau punya anak yang istimewa. Biasa-biasa saja, jangan disembunyikan,” tegas Meyke. (nid)