Di Indonesia, satu orang meninggal dunia tiap 3 menit akibat TB (tuberkulosis). Negara kita menduduki peringkat dua kasus TB terbanyak di dunia, setelah India. Angka kematian akibat TB di Indonesia mencapai 100.000/tahun atau 273 orang/hari, dengan 1 juta kasus baru/tahun. diperkirakan, masih ada sekitar 676.000 kasus yang belum terdeteksi, atau sekitar 60% jumlah kasus.
“Bisa dikatakan dikatakan, dalam sehari kasus TB di Indonesia setara dengan penumpang yang diangkut oleh pesawat jenis A330," ujar dr. Asik Surya, MPPM, Kepala Sub Direktorat Tuberkulosis, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung – Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan RI. Ini diungkapkannya dalam diskusi Industri Mampu Berperan Signifikan Kurangi Kasus TB di Indonesia di Jakarta, Minggu (01/10/2017).
TB bukan penyakit yang bisa disepelekan. Satu orang penderita TB bisa menularkan ke 10 – 15 orang lainnya. Gawatnya lagi, sebagian besar penderita merupakan usia produktif (15 – 55 tahun). bisa dibayangkan betapa besar kerugian ekonomi yang bisa terjadi akibat berkurangnya produktivitas penderita TB.
Bukan berarti penderita TB tidak mampu bekerja atau pasti menularkan penyakit kepada koleganya. Menolak pasien TB bekerja merupakan suatu bentuk diskriminasi. “Pasien TB yang sedang menjalani pengobatan bisa bekerja seperti biasa,” ungkap dr. Erlina Burhan, M.Sc, Sp.P(K), Ketua Pokja DOTS dan TB MDR RSUP Persahabatan, Jakarta.
Pengobatan TB adalah jangka panjang (6 – 9 bulan), dengan sedikitnya 3 macam obat. Ini tidak selau mudah. Dituntut ketekunan dan kedisiplinan pasien untuk minum obat dan kontrol ke dokter, agar bisa sembuh total.”Jika pengobatan TB tidak tuntas, pasien bisa menjadi resisten terhadap kuman TB,” ujar dr. Erlina. Maksudnya, kuman tidak lagi mempan dengan pengobatan biasa, sehinga memerlukan obat yang jauh lebih kuat dan mahal. “Oleh karena itu, semua pasien TB harus ditemukan dan diobati sampai sembuh,” tegasnya.
Industri perlu terlibat dalam penanggulangan TB. Alih-alih mendiskriminasi penderita TB, industri justru wajib menerapkan kebijakan dan strategi pengendalian TB di lingkungan kerja, yang diintegrasikan dengan aturan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). “Penanggulangan TB dapat dilakukan oleh sektor industri dengan cara menemukan kasus, merawat pasien TB, hingga mengobatinya dengan tuntas,” tutur dr. Asik. Ia melanjutkan, perusahaan harus memperlakukan karyawan yang terkena TB secara manusiawi, menjaga mereka tetap produktif, serta mencegah karyawan lain tertular. “Dokter perusahaan berperan penting dalam simpul penanggulangan TB,” imbuhnya.
Tanggapan dari pihak industri diwakili oleh Damaris Triananda Purba, Head of HR PT Johnson & Johnson Indonesia. “Kami memperlakukan karyawan yang kena TB dengan hati-hati, sesuai peraturan perusahaan yang memasukkan kaidah klinis dan etika kemanusiaan yang benar,” ujarnya. Ia mengamini besarnya peran dokter perusahaan dalam mendeteksi karyawan yang kena TB di lingkungan kerja.
Penelitian Universitas Gajah Mada (Yogyakarta) menunjukkan data terkait ekonomi dan program TB. “ Berinvestasi di program pengendalian TB akan mengurangi beban ekonomi secara signifikan,” ucap Diah Ayu Puspandari, MPh, MBA, Peneliti Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KP-MAK) Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Setiap Rp 1 investasi, akan berdampak pengurangan Rp 23 terhadap beban kesehatan akibat TB. (nid)