Dari sekian banyak virus hepatitis, yang paling sering menyebabkan hepatitis kronis yakni virus hepatitis B dan C. Namun, mereka yang terinfeksi virus ini tidak serta merta akan menjadi sakit. “Hanya sekitar 30-40% yang berlanjut jadi kronis dan menimbulkan gangguan seperti sirosis,” terang Dr. dr. Rino A. Gani, Sp.PD-KGEH, Ketua Komisi Ahli Hepatitis dari Kementrian Kesehatan, dalam diskusi Hepatitis : Antara Akses Obat dan Diskriminasi Sosial yang diselenggarakan Forum Ngobras di Jakarta (29/09/2017).
Lebih lanjut ia menjelaskan, perlu waktu 20 – 30 tahun untuk jadi sirosis, di mana hati mengecil, mengeras dan fungsinya menurun, hingga akhirnya bisa timbul kanker hati. Sirosis muncul akibat peradangan yang terjadi terus menerus. “Peradangan terjadi karena tubuh tidak mampu menghilangkan infeksi secara tuntas,” terangnya.
Menariknya, tidak semua hepatitis B perlu diobati. Virus hepatitis B tidak merusak hati. Hati mulai rusak ketika sel-sel imun tubuh berusaha menyerang virus, hingga tercipta respon peradangan. Peradangan ini berlangsung pelan-pelan tapi lama (kronis); inilah yang akhirnya merusak sel-sel hati. Ditandai dengan nilai SGOT/SGPT tinggi. Selama tidak ada respon peradangan, hanya perlu monitoring secara berkala.
Untuk yang perlu diobati, memang belum ada obat yang bisa menghilangkan virus. Namun sudah ada obat yang bisa mencegah perburukan penyakit hati. Obat untuk menekan virus mungkin perlu diminum dalam jangka panjang atau bahkan seumur hidup. “Tapi bukan hanya hepatitis B yang minum obat seumur hidup. Hipertensi, diabetes atau kolesterol tinggi pun demikian,” ujar Dr. dr. Rino.
Sedangkan untuk hepatitis C, pengobatannya sudah berkembang sangat canggih. telah ditemukan obat DAA (direct-acting antiviral) generasi baru seperti sofosbuvir, yang bisa menghilangkan virus dengan angka keberhasilan hingga 98%. “Jadi, apa yang ditakutkan? Yang jadi masalah adalah bila tidak ketahuan, sehingga tidak diobati dan penyakit jadi memburuk. Tapi kalau ketahuan, bisa dikontrol dan diobati,” tegas Dr. dr. Rino.
Yang perlu diperhatikan yakni hepatitis kronis yang disertai dengan penyakit lain.misalnya gangguan ginjal. Sebagai informasi, cukup banyak pasien ginjal kronis (PGK) yang menjalani hemodialisis (cuci darah), akhirnya tertular hepatitis B atau C. Pengobatannya perlu pertimbangan lebih lanjut. Pada pasien hepatitis C dengan gangguan ginjal, sofosbuvir tidak bisa digunakan karena obat tersebut dimetabolisme di ginjal, sehingga akan memperberat kerja ginjal yang sudah rusak. Diperlukan DAA yang tidak dimetabolisme di ginja, yakni elbasvir/grazoprevir. Obat ini masih dalam proses registrasi di BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). “Seharusnya bulan Desember ini sudah ada izin edarnya,” ujar Dr. dr. Rino.
Tidak perlu panik atau ketakutan bila ada anggota keluarga yang terkena hepatitis B atau C. Seperti disampaikan oleh Marzuita dari Komunitas Peduli Hepatitis (KPH). Almarhum suami bu Ita meninggal dunia akibat sirosis, karena hepatitis C. “Ketiak tahuan mengenai penyakit ini membuat pasien telat berobat dan sekeluarga jadi panik,” ucapnya.
Langkah yang perlu dilakukan yakni melakukan skrining pada seluruh anggota keluarga. Ini membuat penyakit bisa diketahui lebih awal. “Semakin awal diketahui akan semakin mudah disembuhkan. Tidak ada yang tidak mungkin,” tandasnya. (nid)
Baca juga: Disksiminasi Pasien Hepatitis B dan C Tidak Beralasan