Shanti Persada, Sahabat Para Survivor | OTC Digest

Shanti Persada, Sahabat Para Survivor

Lu kan numpang di tubuh gue, jadi jangan nakal.” Ucapan itu sering dilontarkan Shanti Persada (49 tahun), salah satu pendiri Lovepink, organisasi nirlaba yang fokus pada isu seputar kanker payudara dan kampanye peduli kesehatan payudara. Shanti adalah seorang penyintas (survivor) kanker payudara. Terkena kanker payudara stadium lanjut (stadium 3b), ia tidak tenggelam dalam derita. Tegas dan senang bicara, senyum mengembang, tatapan mata tajam sekaligus hangat layaknya bos menatap koleganya.

Kabar buruk itu ia terima tahun 2010 silam. Ia ke dokter dengan kondisi payudara sakit dan bengkak. Awalnya ia menduga itu hal biasa; payudara bengkak dan sakit saat haid adalah normal. “Dokter kaget melihat kondisi payudara saya. Katanya: wah ini kanker ganas stadium 3b. Saya ikut kaget,” papar ibu satu putri ini.

Saat itu ia mengaku kurang perhatian pada diri sendiri, sibuk mengurus keluarga dan pekerjaan. Riwayat kanker dalam keluarga tidak dijadikan “lampu kuning” bahwa harus lebih menjaga kesehatan. Tidak tahu metode Periksa Payudara Sendiri (SADARI), untuk mengetahui ada tidaknya abnormalitas pada payudara.

“Itu tahun 2010. Pada Agustus 2017, saat Lovepink riset via media online, dari 1300 responden di Jakarta hanya 53% yang pernah dengar tentang SADARI. Yang melakukan SADARI hanya 2%, itu pun tidak rutin,” terang Shanti.

Kondisi payudaranya kala itu (2010), kulit sekitar puting berkerut seperti kulit jeruk dan puting tertarik ke dalam. Tanda-tanda khas kanker payudara ini bisa dideteksi dini, lewat SADARI. Ibvonis kanker stadium lanjut, tidak membuat nyali Shanti surut. Ia bertanya kepada dokter, “Apa langkah selanjutnya? Apa yang harus dilakukan?” Dokter menyarankan untuk segera melakukan biopsi (pengambilan sampel jaringan) dan patologi anatomi, untuk menentukan terapi yang harus dijalani.

“Menurut pengalaman, harus dikemo 6 – 8 kali untuk mengecilkan bengkaknya,” Shanti menirukan ucapan sang dokter.

Biopsi bisa dilakukan esok hari, sementara patologi anatomi harus menanti sampai 2 minggu. Tidak mau “digantung” lebih lama, Shanti ke dokter lain dan ingin segera melakukan patologi anatomi. Ia mencari opini kepada setidaknya 6 dokter yang berbeda. “ Mana tahu ada yang bilang: oh enggak apa-apa, ini hal biasa. Saya menipu diri sendiri. Ke 6 dokter itu mengatakan hal yang sama. Hasil mamografi, biopsi dan patalogi anatomi menyatakan, kankernya sudah stadium 3b, dan harus segera ditindaklanjuti. Ya sudah, saya jalani,” kenangnya.

Tidak pasrah, tapi iklas

Serangkaian terapi dijalani. Mulai kemo, mastektomi payudara kanan dan radiasi. Perlu waktu sekitar 1,5 tahun. Saat menjalani terapi, Shanti menemukan teman, Madelina Mutia, yang sama-sama sedang berjuang melawan kanker payudara. Mereka berbagi perasaan dan saling menyemangati. Punya teman yang bisa berbagi setiap waktu, Shanti merasa perjuangannya tidak seberat saat dipikul sendiri.

“Kalau masalah fisik kita serahkan ke dokter. Mental harus kita jaga sendiri sekuat mungkin. Sejak ketemu Mutia, pengobatanyang saya jalani terasa lebih ringan, saat menjalani kemoterapi saya lebih enjoy.”

Shanti mengajak biocara sel kanker di tubuhnya, “Kamu kan numpang di tubuh saya, jangan nakal ya. Penumpang itu nggak boleh tidak sopan. Kalau saya mati, kamu ikut mati. Mending kita hidup berdamai,” tuturnya sambil tersenyum. Baginya kanker harus dilawan, bukan dengan pasrah tetapi iklas.

Belajar dari pengalamanya, tahun 2013 Shanti bersama teman-teman membentuk komunitas Lovepink. Tujuan utamanya mengajak perempuan lain untuk lebih aware tentang deteksi dini kanker payudara. Sekaligus tempat berbagi sesama penderita, untuk saling menguatkan. Lovepink berasal dari pink ribbon (pita pink), lambang kanker payudara seluruh dunia.

“Kami dulu bekerja, seorang profesional. Kami memilih berhenti. Mengurus Lovepink adalah panggilan. Kami melakukannya dengan happy, tanpa beban.”

Keluarga malah protes kalau ia dirumah terus. “Lovepink membuat saya makin bersemangat, karena saya menebar kebaikan untuk banyak orang,” papar Shanti. Putri semata wayangnya (kini berusia 18 tahun) kerap memberikan testimoni pada keluarga pasien, tentang suka duka mendampingi ibunya di masa pengobatan.

Lovepink

Dalam 4 tahun, anggota Lovepink sudah lebih 700 orang dan punya pengurus 7 orang). Sudah “menetaskan” Lovepink baru di Jogjakarta dan Bali. Senang sekaligus sedih, karena menemukan teman-teman baru penderita kanker payudara.

“Berat membangun komunitas seperti ini. Anggotanya banyak, tapi hampir setiap minggu ada yang meninggal. Spirit kami untuk membantu jadi lebih besar. Tanpa kanker pun kita akan mati,” tukas Shanti.

Anggota dan pengurus Lovepink kerap melakukan kunjungan ke teman-teman yang sedang menjalani terapi. “Kami mengunjungi rumah sakit untuk menemani pasien. Kalau ada yang minta ditemani menjalani kemoterapi atau radiasi pertama, kami temani,” jelas Shanti.

Lovepink sudah memiliki mobil van yang berisi peralatan USG payudara. Mobil biasa digunakan untuk sosialisasi ke kampus, kantor, sekolah, rumah susun, perkumpulan arisan, gereja, ibu-ibu pengajian, dll.

“Kami jemput bola. Karena, pernah kami kasih vaucher USG dan mamografi gratis pada 100 perempuan, yang datang cuma 3. Mereka takut,” katanya.

Dibuat aplikasi Lovepink Breasties, yang bisa diunduh di Google Play dan App Strore. Aplikasi ini berisi cara-cara melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI), dan mengingatkan untuk SADARI setiap bulan.

Sudah beberapa kali Lovepink menyelenggarakan acara jalan santai dan lari bersama, bertajuk Jakarta Goes Pink. Pada 7-8 Oktober 2017, digelar acara Indonesia Goes Pink (IGP) di Bali. Ini merupakan serangkaian acara untuk para pejuang, penyintas dan keluarga penderita kanker payudara berupa talkshow, self healing, jalan santai, dan lari (5k, 10k, 21k).

Sekitar 1000 penyintas dari seluruh dunia ikut berpartisipasi. “Mereka minta izin sama dokternya untuk ikut. Kami ingin memberikan energi postif pada sesama penderita kanker,” terang Samantha Barbara, Wakil Ketua IGP yang juga pengurus Lovepink. (jie)