iwan gayo sembilan kali operasi tubuh kembali sehat

Sembilan kali dioperasi karena penyakit berbeda, Iwan Gayo Kembali Sehat wal afiat

Namanya  identik dengan “Buku Pintar”,  buku berisi informasi detail tentang banyak hal sehingga dijadikan referensi anak sekolah, remaja sampai orang dewasa. Terbit pertama 1982, Buku Pintar secara berkala direvisi dan kini sudah cetakan ke 47 (Buku Pintar Senior) dan ke 40 (Buku Pintar Junior). Totalitas  Iwan Gayo, penggagas dan penulis buku ini, membuat kesehatannya terganggu berkepanjangan.

Asyik bekerja sampai jauh malam, tertidur di antara tumpukan buku, koran dan majalah bekas berdebu yang dijadikan referensi, membuatnya terserang penyakit asma berat dan sakit kuning (hepatitis). Sampai tahun 2011, ayah 13 anak dan kakek 14 cucu ini sudah 9 kali dioperasi: operasi amandel, polip, sinus, ambeien, usus buntu, usus terlipat, operasi ginjal, operasi liver dan 2011 operasi katarak yang menyerang mata kanan. Praktis, hanya kedua tangan dan kakinya yang tidak ada bekas dibelek.

Dibombardir 11 penyakit -- di luar sakit ringan seperti flu, masuk angin, diare -- Iwan sempat menduga usianya tak bakal panjang. Tapi, usia – seperti kelahiran dan jodoh – adalah rahasia Sang Khaliq.  Hubungan sakit dan kematian bisa begitu dekat atau jauh.

“Saya bersyukur ke hadirat Allah SWT. Secara keseluruhan sekarang kesehatan saya terjaga. Asma sudah jarang kumat. Penyakit saya sepertinya sudah keluar semua, semoga,” ujar kelahiran Gayo, Aceh Tengah ini.

Kelainan Ginjal dan Usus Buntu

Sejak dilahirkan, Iwan sudah istimewa. Usus buntu manusia umumnya di perut kanan, agak ke bawah. Usus buntu Iwan terletak di perut sebelah kiri. Diketahui secara tak sengaja, ketika perutnya terasa sangat sakit dan dokter mendiagnosis usus buntunya meradang karena infeksi.

Asyik bekerja dibayangi stress karena dedline, ia  lupa makan minum dan kurang tidur. Berat badannya turun. Dikira masuk angin ia minum obat, tapi tak kunjung sembuh. Ia muntah-muntah dan kondisinya terus melorot. Berobat ke sana-sini, tetap tak ada perubahan, dan akhirnya ia ke Rumah Sakit Pelni.

Diagnosis dokter, usus buntunya meradang. Perut kanannya dibelek. Dokter heran karena posisi usus Iwan kebalikan dibanding manusia umumnya. Usus buntunya ada di sisi kiri. Perut sisi kanan terlanjur dibelek, ususnya diurai untuk menjangkau usus buntu yang di sisi kiri itu.

“Usus saya ditarik ulur seperti orang main layang-layang,” candanya.

Usus buntunya ternyata baik-baik saja,  namun tetap dipotong. “Kata dokter, bila perlu akan dibawa ke Australia untuk diperiksa lebih jauh. Takutnya ada kanker,” ujarnya.

Pulang ke rumah, kondisi Iwan membaik. Sekitar dua bulan kemudian, sakit di perutnya kambuh lagi sampai muntah berat. Ia dibawa ke Rumah Sakit Mitra Keluarga, lalu dirujuk ke rumah sakit yang pernah mengoperasi usus buntunya. Tapi, akhirnya ia menjalani operasi di RS Pondok Indah.

“Perut sakit sekali seperti ditarik-tarik,” katanya.”Cairan infus diberi petidine untuk mengurangi rasa sakit. Karena perut masih terasa sakit, aliran infuse saya besarkan. Suster diam saja, tidak berani melarang.”

Ia sempat diduga menderita TBC usus. Kemudian diketahui, ususnya terlipat. Dan membusuk.

“Setelah operasi usus buntu tempo hari, usus saya mungkin tidak diletakkan kembali dengan sempurna, sehingga terlipat,” katanya.

Ususnya yang membusuk, dipotong 10 Cm. Beruntung kondisinya cepat membaik. Ternyata, derita Iwan belum selesai. Perutnya masih saja sakit. Begitu sakitnya sampai kalau berjalan, tubuhnya membungkuk sampai 90 derajat. Ia terus mengedit bukunya. Karena lapar ia pesan nasi padang dan minum soft drink sampai bertahak. Tak lama, ia muntah-muntah dan kondisinya makin parah. Dari Ciputat ia minta diantar ke rumah di Bekasi. Ia ingin istirahat total. Ketika mobilnya melewati Rumah Sakit Pondok Indah, spontan ia minta singgah.

“Pak Iwan kenapa?” tanya suster yang sudah mengenalnya.

Semua heran melihat Iwan berjalan terbungkuk-bungkuk. Saat menjalani rawat inap, seorang dokter menduga Iwan mengalami masalah ginjal. Ia disuruh puasa. Saat berbuka, ia diberi minum sirop merah satu gelas besar. Dalam kondisi puasa dan setelah berbuka, ginjalnya dirontgen. Diketahui, saluran ginjal kanannya lebih panjang 2 Cm dari normal dan sekarang ginjal kanannya itu turun. Sepertinya karena kerja terlalu keras, tak kenal waktu sampai lupa makan minum dan istirahat.

“Tengah malam saya dibangunkan. Besok ginjal yang turun akan dioperasi, dijahitkan ke jaringan,” katanya. “Saya nggak bisa tidur. Takut.”

Operasi ginjal terjadi tahun 1994, dan merupakan operasi ke 7. Setelah ginjal dioperasi, sakit di perut hilang dan ia bisa kembali berjalan tegak.  

“Sebelumnya, operasi ambeien meninggalkan rasa tidak nyaman sampai bertahun-tahun,” ujarnya. “Mestinya tidak perlu operasi, karena benjolan masih kecil. Pihak rumah sakit di Pulomas promosi, ada seorang gubernur baru saja operasi dan hasilnya baik. Saya tergoda. Mungkin karena waktu itu lagi banyak uang,”  guraunya diiringi senyum istri Ny. Rohani Gayo.

Salah satu bekas jahitan di perut adalah jejak operasi ke-8 (1995), operasi liver (hati). Organ tubuh terbesar itu terinfeksi, membengkak dan ada 3 “danau”.  Gejala yang dirasakan mirip yang dulu-dulu: mual, muntah, tidak nafsu makan. Kata dokter, bila sebuah “danau” disedot tapi kedua “danau” yang lain tidak kering, berarti ketiganya tidak berhubungan. Beruntung, ketika disebot menggunakan jarum suntik, ketiga “danau” di liver itu kering.

Seorang pasien berceritera bahwa sakit livernya membaik setelah mengonsumsi temulawak. Segera istrinya membeli temulawak lalu diparut dibuat minuman. “Besoknya saya langsung bisa makan nasi,” ujar Iwan.

Camping 2 bulan

Selain Buku Pintar, Iwan menulis Buku Pintar Haji dan Umroh, Buku Pintar Nusantara dan yang belum lama terbit Ensiklopedi Islam International (hard cover, 1.250 halaman). Ia ikut terkena imbas kerusuhan Mei 1998. Kantornya di Klender Plaza, Jakarta Timur, ikut dibakar massa. Semua dokumen, kliping sepanjang 15 meter hasil kerja selama puluhan tahun terbakar habis.  

Ia sempat schock tapi kemudian mengikhlaskan semuanya dan bangkit kembali. Pengalaman mengajarkan agar ia tidak hanya pandai berkeluh kesah. Tahun 1969, saat berusia belasan tahun, ia sudah mengalami hal tak mengenakkan yang berhubungan dengan kesehatannya: operasi amandel.  

“Kepala dan tangan saya diikat. Mulut diganjal lalu obat anestesi disuntikkan. Amandel dijerat lalu ditarik seperti orang menjerat ikan lele,” katanya.

Begitu kira-kira operasi amandel di zaman itu. Iwan lebih menderita karena obat bius yang disuntikkan tercecer masuk ke lambung. “Rasanya tidak karuan, mual dan ingin muntah,” katanya.

Ia juga terserang asma, menjadi pelanggan klinik asma dan bolak balik masuk rumah sakit. Ia mendapat suntikan untuk memperkuat daya tahan tubuh. Namun kondisinya tak juga membaik. Kalau sedang kumat, “Dada sesak dan sulit bernapas seperti dicekik.” Dokter menyarankan untuk menghidup udara laut dan berendam di pantai.

Ia membeli peralatan dan camping di Ancol, Jakarta Utara. Selama dua bulan, ia menjalani hidup seperti Robinson Crusoe yang terdampar sendirian di pulau tak bertuan. Seharian ia mandi, berendam, menghirup udara laut, makan, tidur-tiduran. Istrinya secara berkala datang membawa makanan dan pakaian bersih. Asmanya berangsur hilang. Apalagi karena ia sudah tidak lagi merokok.

Suatu malam di tahun 2003, ia pulang ke rumah dalam keadaan lelah. Ia menelungkup di kasur penuh tungau karena lama tidak dijemur. Asmanya  kontan kumat. Ia mencari-cari obat asma, ternyata sudah kering karena lama tak digunakan. Dalam kondisi megap-megap, ia ingat petani yang memberantas hama tikus menggunakan asap.

“Tungau penyebab asma, mungkin bisa mati kena asap,” pikirnya.

Dengan Bismillah, ia nekat mengisap rokok yang sudah belasan tahun dihindari. Ia batuk-batuk dan lender keluar semua. Aneh, “Dada saya terasa longgar.” Dan sejak itu asmanya jarang kambuh.  Ia tidak yakin asmanya sembuh karena rokok.

“Pastinya, Allah yang menyembuhkan,” katanya.

Sekarang, Iwan berusaha tidur 7 jam/hari. Masih makan tongseng dan sate kambing, menangkap gurame dari empang di belakang rumah untuk dimasak asam manis. Ia tak pernah menyesali atau menggugat, mengapa diberi cobaan penyakit bertubi-tubi. Selama belasan tahun terakhir, ia relatif tak lagi diganggu penyakit.

Atas apa yang pernah dialami, “Saya ikhlas. Sehat itu indah,” katanya.