Lisa Lestari Pejuang Kanker Payudara
Kisah LIsa Lestasri

Lisa Lestari Pasrah dan Enjoy The Life

Dokter memperkirakan, kesempatan hidupnya tinggal 3 bulan karena kanker payudara yang dideritanya sudah bermetastase (menyebar). Namun ibu 4 anak ini, Lisa Lestari, tak hendak menyerah. Dalam acara ulang tahun Rumah Sakit Kanker Dharmais di Jakarta ke 21, November 2014 lalu, dengan bersemangat ia  berbagi pengalaman dan menasehati pasien lain agar jangan putus asa.

Bagi Lisa (52 tahun), “Menderita kanker memberi saya pelajaran penting. Saya jadi bisa memahami penderitaan orang lain.”

Sudah 4 tahun ia berjuang melawan kanker. Sampai hari ini, ia belum bisa lepas dari obat. Namun, semangatnya tak pernah surut. Bersama  Cancer Information Support Center (CISC), sebuah supporting group asal Jakarta, ia dijadwalkan melakukan perjalanan ke Jogjakarta dan Solo untuk memberi dukungan kepada penderita kanker di sana.

Baca juga: Aryanthi Baramuli Putri, Hidup Lebih Berkualitas Setelah Kena Kanker 

Menggunakan bahasa anak muda sekarang, ia memilih move on. Ia tidak mau galau berkepanjangan. Deritanya berawal dari percakapan dengan seorang teman tahun 2010. Saat itu, ia merasa payudara sebelah kanan sakit. Sang teman menyarankan untuk periksa ke dokter. 

“Ada benjolan di payudara kanan. Kemungkinan 51% kanker dan 49% tumor jinak,” kenangnya.

Hasil tes mamografi menunjukkan positif kanker dan harus dioperasi. Dokter menyatakan kankernya sudah masuk stadium 4 (akhir).

“Saya terguncang, itu jelas,” ujarnya. “Saya marah dan menyalahkan Tuhan: kenapa saya kena kanker. Apa salah saya? Apa dosa saya?” 

Jika riwayat keluarga dirunut, dari pihak ayah maupun ibu, memang ada  sejarah kanker. Tapi, “Mana pernah saya kepikiran bakal kena juga.”

Menyalahkan Allah tidak memecahkan masalah. Dengan dukungan keluarga, akhirnya ia melakukan operasi pengangkatan payudara kanan. Dokter awalnya memberi pilihan: diambil sebagian hanya pada bagian tumornya saja atau keseluruhan. Lisa memilih mengangkat seluruh payudara kanan. Maksudnya untuk memperkecil risiko penyebaran tumor ganas. Ini juga yang dilakukan artis Hollywood Angelina Jolie, beberapa tahun lalu.

Baca juga: Agnes Hemaloka, "Guru Meditasi" Titiek Puspa

Lisa menjalani kemoterapi dan radiasi, untuk memperoleh kesembuhan. Pertama kali saat akan dikemo, ia salah masuk ruangan. Lisa masuk ke bagian IGD RS Kanker Dharmais. Di sana, ia melihat pemandangan yang menakutkan, membuatnya mengurungkan diri dikemoterapi karena takut.

Pindah ke rumah sakit lain, dokter menjelaskan bahwa kemoterapi, salah satu efeknya adalah rambut rontok. Ini kian menyiutkan nyalinya.

“Saya tidak takut kemo, tapi takut gundul,” katanya. Belum sempat menjalani kemo, sekitar 3 bulan setelah vonis kanker pertama, muncul benjolan di payudara kiri. Beruntung, kali itu hanya tumor jinak. Tumor diangkat tanpa mengangkat seluruh payudara kiri.

Ternyata kanker sudah menyebar; terdapat 6 benjolan di tubuhnya. “Menyebar ke kelenjar getah bening, benjolan itu 3 aktif; 3 lainnya tidak. Nah, yang aktif sudah menyebar ke tulang,” katanya. “Hasil scan, sel kanker sudah menyebar ke lebih dari 70% bagian tulang.”

Lisa membulatkan tekad menjalani kemoterapi. Kemo pertama, ia kepayahan. Selama 9 hari ia tidak bisa bangun. Diperburuk lagi, secara tak sengaja tangannya mengalami luka bakar akibat terkena obat kemo; obat gagal dimasukkan sampai 5 kali.

Ini membuatnya harus menjalani operasi perbaikan 4 kali, terakhir dengan menutupnya menggunakan kulit di bagian paha. Jadi, “Sambil menjalani protokol kemo, saya harus operasi tangan. Sebanyak  103 kali saya bolak-balik ke rumah sakit untuk urusan ini. Saya harus kuat, karena saya punya anak.” 

Protokol kemoterapi dilewati, masuk pengobatan radiasi. Penyinaran dilakukan di 3 titik bagian punggung dan tulang belakang. Untuk setiap titik membutuhkan 20 kali sinar. Ini proses yang melelahkan. Sakit? Sudah pasti.

Kemo ulang

Semangat untuk sembuh tinggi, membuat Lisa membabi buta. Selain pengobatan medis ke dokter, ia ke pengobatan alternatif.

“Semua saya jalanin. Ke beberapa dokter, obat herbal, alternatif, saya datangi. Ada yang sekali infus Rp 1,5 juta. Sepuluh kali infuse nggak juga membaik. Kayak orang bego, nggak tahu obat apa yang dimasukin ke badan saya lewat pengobatan alternatif itu,” katanya.“Uang saya sampai habis.”

Sekitar tahun 2012, terjadi lagi keaktifan (tumor) di tulang belakang. Ini membuat Lisa harus menjalani kemoterapi dan radiasi ulang, di 6 titik. Kata dokter, perkiraan keberhasilan hanya 5%. Lisa menangis.

“Saya sudah tidak punya uang. Dengan biaya sekitar Rp. 200 juta, kemungkinan hidup saya cuma 5%. Artinya, 5 dari 100 hidup, 95 lainnya meninggal. Kata dokter: saya mau kamu masuk yang 5 orang itu,” kenangnya.

Di tengah kebingungan, seorang teman menyarankan untuk mengurus KJS (Kartu Jakarta Sehat) dan sekarang diteruskan dengan BPJS. Dengan fasilitas itu, di RS Dharmais Lisa mendapat penanganan bersama 5-7 pasien lain. Banyak yang kondisinya lebih parah.

Baca juga: Skrining Kanker di Puskesmas

“Di sini saya belajar arti kehidupan. Bisa merasakan penderitaan orang lain. Tahu rasanya dirawat di kelas 3. Dulu saya sombong, tidak mau tahu penderitaan orang lain. Berobat pakai kelas VIP atau kelas I. Allah memberi pelajaran berharga pada saya,” paparnya.

Di kelas 3, Lisa biasa menjadi ‘suruhan’ sesama penderita kanker. Ia diminta mengambil ini-itu, termasuk mengantar ke toilet. Ya, karena kondisinya relatif lebih baik dibanding lainnya. Lebih dari itu, ia menolak untuk terlihat sakit.

“Dokter meminta saya pakai kursi roda, saya tidak mau. Pakai tongkat berkaki 3, saya juga menolak. Saya ingin berdiri dengan kaki saya sendiri,” ujarnya semangat.

Dalam kondisinya sekarang ini, Lisa membuka diri untuk orang lain. Bersama-sama anggota CISC lainnya, ia membesuk dan memberi semangat kepada sesama penderita yang ia tidak kenal sebelumnya.

Baca juga: Linda Gumelar Mematahkan Vonis Dokter

“Target saya, tahun depan tulang-tulang saya bersih dari kanker. Dengan radiasi, kemajuannya sangat lumayan, sudah lebih bersih,” papar Lisa.  Ia berprinsip enjoy the life (nikmati hidup) dan pasrah kepada Yang Maha Kuasa.

“Jangan mikir nggak boleh makan ini- itu. Makan saja. Jalani hidup seperti tidak punya kanker. Kalau ingin pergi ya pergi. Tetap aktif, jangan mengurung diri di rumah. Kalau capek istirahat.”

Kalau benar kesempatan hidupnya tinggal 5%, “Saya memohon, ya Allah saya tidak pernah siap, tapi saya tidak takut. Kematian akan saya hadapi dengan senyuman, karena saya ingin bertemu dengan Pencipta saya.” (jie)