Deddy Corbuzier Kena COVID-19, sempat Kritis akibat Badai Sitokin

Deddy Corbuzier Kena COVID-19, sempat Kritis akibat Badai Sitokin tapi Cepat Pulih

“Saya sakit. Saya kritis dalam waktu tiga hari, dan ada kemungkinan besar meninggal.” Hal ini diutarakan oleh Deddy Corbuzier dalam podcast di kanal Youtube-nya, Minggu (22/8/2021). Siapa sangka, orang sesehat dan sebugar Deddy Corbuzier kena COVID-19, bahkan kritis karena terserang badai sitokin.

Semua berawal dari ‘badai’ COVID-19 yang melanda keluarganya. “Hampir semuanya kena. Saya mengurus semua, mulai dari mencari obat, RS, dan sebagainya. Juga kontak terus dengan mereka,” ujarnya. Saat itu Deddy merasa percaya diri (PD) karena ia merasa pola hidupnya sangat sehat, dan ketat menjalankan proses.

Namun apa dikata, suatu hari tes antigen yang dilakukannya menunjukkan nilai positif, “Sepertinya viral load saya terlalu tinggi.” Deddy sama sekali tidak khawatir. Dalam pikirannya, paling cuma demam dua hari. Lagi-lagi ia merasa PD karena pola makannya sehat, rutin olahraga, dan didukung oleh suplemen vitamin.

Benar saja. Walaupun Deddy Corbuzier kena COVID-19, tiga hari kemudian hasil antigennya sudah negatif. “Saya cek dengan 3 macam antigen berbeda, semuanya negatif. Walaupun memang antigen banyak false­-nya,” ujar Deddy. Merasa sehat dan tidak ada gejala apapun, ia mulai kembali membuat podcast. Ia yakin sudah sembuh.

 

Deddy Corbuzier Kena COVID-19, Kritis akibat Badai Sitokin

Tiba-tiba di minggu kedua setelah kena dan negatif, “Malam-malam saya demam tinggi, sampai hampir 40.” Pagi harinya demam makin tinggi, meski langsung turun setelah ia minum parasetamol. Ia juga mengalami vertigo. Kepalanya pusing berputar tak tertahankan.

Deddy yakin, ada yang tidak beres. Ia segera berangkat ke RSPAD Gatot Soebroto, dan melakukan pemeriksaan CT scan toraks (rongga dada). “Ternyata ada kerusakan, kalau tidak salah 30%,” ujarnya. Dokter memintanya untuk dirawat di RS, tapi membolehkan jika Deddy ingin pulang, karena saturasi oksigennya masih 99. Deddy memilih pulang. Dokter memberinya beberapa obat, dan menegaskan bahwa Deddy tetap harus waspada hingga beberapa hari ke depan.

Dua hari kemudian, mendadak ia demam tinggi lagi, dan vertigo kembali menyerang. Ia pun segera dibawa ke RS Medistra. Menurut dr. Gunawan, Sp.PD yang saat itu merawatnya, kondisi Deddy memburuk. Pemeriksaan CT toraks menunjukkan kerusakan di paru Deddy sudah mencapai 60%, naik 2x lipat dari sebelumnya 30%. Deddy dinyatakan masuk ke momen badai sitokin. “Saya agak kaget ketika dibilang badai sitokin. Setahu saya, ini yang bikin orang meninggal,” ucapnya.

Deddy Corbuzier kena COVID-19 dan tidak diperbolehkan pulang, harus dirawat, “Dokter bilang akan bekerja agresif, masukin macam-macam obat saat itu juga.” Saat itu Deddy merasa berada antara hidup dan mati. Badannya sakit tak keruan, demam, toraksnya ‘berantakan’. Ditemani putranya Azka, Deddy sudah membicarakan kemungkinan terburuk seandainya ia 'tidak ada' nanti. Deddy juga kecewa berat. “Saya kecewa. Dengan keadaan saya yang sehat, olahraga tiap hari, vitamin D dan zinc tinggi, dan awalnya kena tanpa gejala. Lalu di minggu kedua, hancur. Kalau begitu, ngapain saya promo kesehatan?”

Mendengar pertanyaan Deddy yang bernada kecewa, dr. Gunawan yang diundang dalam podcast mengaku tidak bisa berkata apa-apa, kecuali menjelaskan bahwa respons tubuh tiap orang berbeda. “Secara teori memang orang yang sehat harusnya tidak apa-apa (kalau kena COVID-19),” ujar dr. Gunawan. Namun dalam realitasnya tidak demikian.

Sebaliknya beberapa teori lain bilang, orang sehat kadang respons imunnya berlebihan. “Ketika sel darah putih mengenali virus, dia akan memakannya. Namun karena virus itu sulit dibunuh, maka sel darah putih bunuh diri. Ketika bunuh diri, dia pecah dan mengeluarkan zat-zat peradangan. Inilah yang memicu peradangan berlebihan,” papar dr. Gunawan.

Ia menegaskan, waspadai demam yang muncul pada minggu kedua setelah positif COVID-19. “Kemungkinan ada peradangan yang lebih luas dari yang pertama, dan ada kemungkinan badai sitokin,” tegasnya. Seperti yang dialami Deddy Corbuzier kena COVID-19 dan kritis dua minggu kemudian.

dr. Gunawan, Sp.PD yang merawat Deddy Corbuzier

Cepat Pulih karena Hidup Sehat

Menurut dr. Gunawan, kondisi tubuh Deddy yang sehat dan bugar membantunya melewati masa kritis. “Dan ketika saya mulai treatment, respons (tubuh) cepat. Dalam waktu 24 jam demam langsung turun, tanda peradangan turun, dan masa pemulihan lebih cepat dibandingkan orang yang memang sudah ada komorbid atau usia tua,” jelasnya.

Yang mencengangkan, saturasi oksigen Deddy tidak pernah drop, sekalipun toraks dan tubuhnya drop. Saturasi terendah Deddy yaitu 97. Untuk orang dengan kondisi kritis akibat badai sitokin COVID-19, hal ini hampir sulit dipercaya.

Menurut dr. Gunawan, hal ini berkaitan erat dengan pola hidup Deddy yang rutin berolahraga. “Permukaan paru pasti lebih luas, dan kapasitas paru lebih bagus ketimbang orang yang tidak pernah olahraga. Kedua, jantung pasti sehat sekali. Inilah alasan kenapa saturasi masih cukup baik walaupun demam dan ada peradangan di paru,” tuturnya.

Ia melanjutkan, bila pengobatan terlambat, peradangan di paru akan terus berjalan. Makin banyak bagian paru yang rusak, dan akan memengaruhi kapasitas oksigen. Peradangan yang meluas juga akan meninggalkan bekas di paru, sehingga paru tidak bisa mengembang dengan baik.

Itu sebabnya, dr. Gunawan bertindak agresif ketika merawat pasien COVID-19. Vitamin D dosis tinggi, zinc pun tak luput diberikannya, “Pemberian vitamin D dan zinc saat badai sitokin, dipercaya membantu menurunkan peradangan.”

Tak hanya vitamin D dan Zinc, dr. Gunawan juga memberi macam-macam obat pada Deddy. Termasuk di antaranya steroid. Ketika Deddy datang, awalnya ia diberi penurun demam parasetamol melalui infus. Namun malamnya, Deddy demam lagi. “Saat itulah saya memberikan steroid karena berdasarkan pemeriksaan lab (CRP), peradangannya meningkat terus,” terang dr. Gunawan.

Nilai CRP yang makin meningkat menunjukkan bahwa tubuh Deddy tidak mampu mengatasi peradangannya sendiri. “Mau tak mau harus kita turunkan peradangannya, dengan steroid,” imbuh dr. Gunawan. Terapi ini berhasil. Setelah diberi steroid, nilai CRP Deddy turun secara signifikan, “Artinya steroid berhasil menekan peradangan yang terjadi.”

Dalam pedoman berdasarkan penelitian skala besar, steroid baru diberikan pada pasien COVID-19 bila saturasi oksigen mulai turun. Namun pengobatan di lapangan harus melihat kasus per kasus. “Bila menunggu saturasi oksigen turun, fase pemulihan akan lebih lama. Jadi langsung saya berikan, sebelum terjadi kerusakan yang lebih berat di paru. jadi kita stop dulu peradangannya,” papar dr. Gunawan. Itu sebabnya, kerusakan pada paru Deddy tidak berlanjut parah, dan saturasi oksigennya yang sempat 97, langsung naik lagi ke angka 99-100.

 

Belajar Banyak

Deddy Corbuzier kena COVID-19, ia mengaku belajar banyak dari pengalaman tersebut. “Mungkin saya terlalu sombong dengan kondisi badan dan kesehatan saya. Makanya saya kecewa. Namun saya belajar bahwa ternyata kesehatan sayalah yang membantu saya sembuh,” tutur Deddy.  Ia juga belajar lebih menghargai hidup, karena pernah mengalami momen antara hidup dan mati.

“Yang ketiga, saya belajar bahwa orang-orang yang tidak percaya dengan dokter dan RS itu mengerikan. Mereka tidak pernah mengalami rasanya di UGD, melihat orang teriak-teriak, atau melihat kondisi toraks yang hancur,” lanjutnya. Ia pun makin menghargai dokter dan para petugas medis yang setiap hari merawat pasien COVID-19. “Mereka bukan hanya berjuang, tapi harus merelakan banyak hal buat pasien,” imbuhnya.

Deddy juga mengkritisi soal pendapat dr. Lois yang mengatakan bahwa pasien COVID-19 meninggal karena keracunan obat. “Saya jadi kesal sekarang. Kalau saat itu saya tidak ditolong dokter dengan obat yang banyak itu, saya sudah meninggal,” tandasnya. (nid)