Stunting masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di Indonesia, dan dapat berdampak serius terhadap pertumbuhan badan dan perkembang otak anak. Susu telah terbukti dalam penelitian bisa membantu mencegah stunting.
Stunting bukan hanya sebatas anak tidak mencapai tinggi maksimal sesuai umur. Stunting mengurangi kecerdasan anak dan memunculkan risiko obesitas serta penyakit kronis lainnya, misal diabetes.
Bila stunting ditemukan di awal, masih bisa diupayakan tindakan penyelamatan. Meminimalkan kerusakan otak dan fisik tidak bertambah parah. Tapi kerusakan yang sudah terjadi tidak bisa dikembalikan.
Di sinilah pentinya pencegahan stunting, yakni dengan menjaga kuantitas dan kualitas gizi yang dikonsumsi ibu dan anak, salah satunya susu yang mengandung berbagai protein, vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh.
Riset Headey et al, tahun 2018 menunjukkan adanya hubungan antara stunting dengan konsumsi pangan hewani. Konsumsi pangan hewani yang beragam, termasuk daging, susu dan telur, berdampak pada penurunan prevalensi stunting.
Baca: Pentingnya Protein Hewani dalam MPASI untuk Mencegah “Stunting”
Penelitian menegaskan tingkat konsumsi susu berbanding terbalik dengan angka stunting. Di ASEAN misalnya, Singapura dengan konsumsi susu tertinggi, angka stuntingnya paling rendah. Pemerintah India bahkan telah menggalakkan “revolusi putih”, yakni anjuran minum susu untuk mencegah stunting.
Ir. Fini Murfiani, MSi, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan Kementerian Pertanian Republik Indonesia menyatakan selama pandemi COVID-19 konsumsi susu di Indonesia mengalami kenaikan 0,25% menjadi 16,27 kg/kapita/tahun.
“Tetapi jumlah ini masih dibawan negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia (36,2/kg/kapita/tahun), Myanmar (26,7kg/kapita/tahun) dan Thailand (22,2kg/kapita/tahun),” katanya dalam seminar virtual yang diadakan Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan (PERGIZI PANGAN) dan Danone Indonesia, Rabu (9/6/2021).
Data Studi Status Gizi Balita di Indonesia (SSGBI) tahun 2019 menyatakan jumlah balita yang mengalami stunting sebesar 27,70% dari total anak. Ini jumlah yang tinggi. Pemerintah mentargetkan penurunan stunting hingga 14% (tertuang dalam Lampiran Perpres, No 18 Tahun 2020 tentang RPJMN Tahun 2020-2024).
Anak yang mengalami stunting sebelum usia 24 bulan diprediksi akan mengalami perkembangan kognitif (fungsi otak) yang terlambat. Pada jangka panjang memiliki konsekuensi terhadap perekonomian, baik individu, rumah tangga dan komunitas.
Prof. dr. Mohammad Juffrie, SpA(K), PhD, dari FKGM Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menyatakan bahwa, “Susu merupakan salah satu sumber gizi unik karena mudah untuk dikonsumsi semua kalangan masyarakat, mulai dari ibu hamil hingga anak-anak.”
Data survei demografi dan kesehatan antara tahun 1990 – 2017 tentang konsumsi susu di semua negara berpenghasilan rendah dan menengah menunjukkan konsumsi susu dikaitkan dengan penurunan risiko anak mengalami berat badan rendah sebesar 1,4 poin dan stunting 1,9 poin.
Susu mengandung protein, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak, agar terhindar dari kekurangan gizi mikro, seperti anemia defisiensi besi, hingga kekurangan gizi makro seperti gizi buruk yang berujung stunting.
“Minum susu disertai prinsip gizi seimbang bagi ibu hamil turut mencegah bayi lahir pendek atau stunting. Susu perlu disertai dengan konsumsi gizi seimbang lainnya,” papar Prof. Juffrie.
Fini Murfiani menambahkan, “Indonesia masih memiliki banyak potensi untuk meningkatkan produksi maupun konsumsi susu nasional. Selain berdampak positif pada peternak maupun industri susu, peningkatan dalam dua hal tersebut dapat mendukung ekonomi dan kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia.”
Selain susu segar, susu berkualitas yang mudah ditemui di masyarakat adalah susu terfortifikasi yang telah dilengkapi dengan gizi penting seperti protein, zat besi, vitamin dan mineral lainnya. (jie)