Data WHO tahun 2010 menyebutkan, 1 dari 10 bayi lahir preterm atau sebelum waktunya. Bayi yang lahir preterm (<37 minggu) sering kali organ-organnya belum cukup matur; inilah yang disebut prematur. Angka kematian bayi akibat kelahiran preterm cukup besar, dan ini berkaitan erat dengan prematuritas organ-organnya. Untuk itu, merawat bayi prematur membutuhkan penanganan khusus.
Memang, tidak semua bayi yang lahir preterm akan mengalami komplikasi akibat prematuritas, tapi sangat berisiko. “Terutama yang lahir sangat preterm, atau kurang dari 32 minggu. Semakin muda usia kehamilan, semakin berisiko,” ujar Dr. dr. Putri Maharani TM, Sp.A(K), dalam diskusi daring Bicara Gizi bertajuk “Tantangan dan Penanganan Kesehatan bagi Ibu dan Anak Kelahiran Prematur” yang diselenggarakan Danone Specialized Nutrition Indonesia dalam rangka memperingati Hari Prematuritas Sedunia, Rabu (17/11/2021).
Sebagai informasi, kelahiran preterm dibagi menjadi 4. Yaitu late preterm (34-36 minggu); moderately preterm (32-34 minggu); very preterm (<32 minggu); dan extremely preterm (<25 minggu).
Masalah pernapasan adalah salah satu risiko utama yang dihadapi oleh bayi prematur. Risiko lain misalnya necrotizing enterocolitis (NEC) akibat belum matangnya saluran cerna bayi, infeksi, gangguan pada mata seperti retinopathy of prematurity (ROP) yang bisa menyebabkan kebutaan, gangguan pendengaran, hingga perdarahan pada pembuluh darah otak. Semua kondisi ini membuat bayi yang lahir preterm perlu dirawat di NICU.
Masalahnya tidak selesai setelah bayi keluar dari NICU. “Meskipun bayi survive dan bisa pulang, bukan berarti dia bebas dari komplikasi akibat prematuritas,” ujar Dr. dr. Rima Irwinda, Sp.OG(K), dalam kesempatan yang sama. Bayi masih berisiko menghadapi masalah pernapasan. Dalam jangka panjang, mereka memiliki risiko lebih besar terhadap cerebral palsy, dan keterlambatan perkembangan. Selain itu, anak/remaja yang lahir di usia kehamilan <32 minggu jauh lebih berisiko mengalami gagal jantung dibandingkan anak yang lahir cukup bulan.
Faktor Risiko Kelahiran Preterm
Ada berbagai teori mengenai faktor yang bisa meningkatkan risiko terjadinya kelahiran preterm, salah satunya infeksi. “Faktor risiko lain mislanya perdarahan akibat plasenta previa, stres fisik maupun psikis pada ibu atau janin, hingga pembesaran yang berlebihan pada rahim,” ujar Dr. dr. Rima. Kondisi terakhir ini bisa terjadi pada kehamilan kembar; bisa pula karena cairan ketuban yang terlampau banyak pada ibu dengan diabetes, “Atau kasus kelainan janin di mana janin tidak bisa menelan cairan ketuban.”
Teori lain yaitu penurunan aksi progesteron, serviks (leher rahim) yang cenderung pendek, dan toleransi maternal dengan janin yang kurang baik. “Dari semua itu, hasil akhirnya adalah peningkatan inflamasi. Inflamasi menyebabkan aktivasi hormon-hormon persalinan yaitu oksitosin dan prostaglandin, yang menimbulkan kontraksi. Ketuban pun pecah, dan bayi lahir sebelum waktunya,” tutur Dr. dr. Rima.
Inilah pentingnya pemeriksaan selama hamil. Berbagai kondisi yang dialami ibu dan bisa meningkatkan risiko terjadinya kehamilan preterm bisa segera dideteksi, dan dilakukan intervensi pada ibu. Diharapkan bisa meminimalkan segara faktor risiko, dan kelahiran preterm bisa dicegah. Seandainya pun tidak bisa dicegah, setidaknya ibu dan dokter kandungan bisa melakukan persiapan.
Tips Merawat Bayi Prematur untuk Orangtua
Berikut ini beberapa hal yang bisa dilakukan orangtua ketika merawat bayi prematur.
1. Pilih RS bersalin dengan fasilitas NICU
Ini upaya yang bisa dilakukan bahkan sebelum si Kecil lahir. Sebisa mungkin, carilah RS bersalin dengan fasilitas NICU, terutama bila Ibu memiliki faktor risiko melahirkan preterm. “Penanganan di awal ini sangat menentukan masa depan bayi,” tegas Dr. dr. Putri.
Banyak RS kini menerapkan NICU gentle care, agar bayi merasa senyaman mungkin. “Misalnya dengan membungkus tempat tidur bayi, untuk menciptakan lingkungan yang gelap sehingga bayi bisa mendapai tidur dalam,” terangnya. Tidur dalam akan merangsang keluarnya hormon pertumbuhan, sehingga pertumbuhan bayi bisa lebih pesat. Tempat tidur bayi pun dibuat seperti sarang burung. Ini membuat bayi merasa seperti dipeluk, atau berada dalam kandungan.
Semua itu adalah upaya developmental care, penting untuk perkembangan saraf bayi kala merawat bayi prematur. “Jadi bukan hanya untuk jangka pendek, tapi jangka panjang karena kita tidak hanya mengharapkan bayi tetap hidup, tapi juga meningkatkan perkembangan sarafnya. Risiko jangka panjang akibat prematuritas akan turun bila kita berawal bayi dengan baik dan lembut,” tutur Dr. dr. Putri.
2. Memberi ASI
Selama bayi berada di NICU, Ibu tetap perlu berupaya untuk memberikan ASI, dengan memompa ASI. “ASI adalah yang terbaik karena mengandung semua nutrisi penting, serta prebiotik dan probiotik yang akan merangsang kekebalan tubuh bayi,” tegas Dr. dr. Putri.
3. Melakukan perawatan metode kanguru
Ibu bisa mulai melakukan perawatan metode kanguru (PMK) sesegera mungkin, bahkan sejak bayi dirawat di NICU. Tentunya, ini bisa dilakukan setelah kondisi bayi stabil. PMK atau skin-to-skin contact sangat penting saat merawat bayi prematur. “Dengan metode ini, bayi mendengar denyut jantung Ibu, sehingga denyut jantung dan napasnya menjadi lebih stabil, dan ia merasa lebih nyaman. Ini akan menghemat energinya, sehingga nutrisi yang masuk bisa dipakai untuk tumbuh,” papar Dr. dr. Putri.
4. Skrining
Skrining pendengaran adalah wajib. Skrining yang diperlukan akan makin detil pada bayi dengan usia kelahiran yang lebih muda. Misalnya skrining tulang untuk melihat apakah ada osteopenia of prematurity, skrining darah untuk melihat adanya anemia of prematurity, USG kepala, skrining mata untuk menilai apakah terjadi retinopathy of prematurity, hingga skrining untuk tekanan darah khususnya pada bayi yang lahir dengan berat sangat rendah karena berisiko mengalami hipertensi. “Skrining dilakukan sesuai indikasi. Orangtua yang memiliki anak prematur bisa menanyakan kepada dokter anak, apakah skrining si Kecil sudah lengkap,” ujar Dr. dr. Putri.
5. Pemantauan tumbuh kembang
“Lakukan kontrol rutin untuk pemantauan tumbuh kembang,” tegas Dr. dr. Putri. Dengan pemantauan, seandainya ada gangguan tumbuh kembang maka bisa dideteksi secara dini. “Dengan deteksi dini, kita bisa lakukan intervensi lebih awal, dan ini akan lebih bagus untuk si Kecil,” imbuhnya. Yang perlu dipantau yaitu panjang badan, berat badan, dan lingkar kepala. Angka-angka ini kemudian diplot ke dalam kurva, sehingga pertumbuhan si Kecil bisa dimonitor apakah sesuai dengan kurva.
Si Kecil tetap perlu dipantau hingga usia sekolah, untuk menilai perkembangannya, apakah sudah sesuai dengan usianya. “Gangguan perkembangan mungkin tidak terlihat di awal. Begitu mendekati usia sekolah, baru kelihatan ada gangguan belajar. Atau ada gangguan konsentrasi, gangguan tingkah laku, dan gangguan makan,” jelas Dr. dr. Putri.
6. Stimulasi dan nutrisi tepat
Tentu saja, tak kalah penting adalah stimulasi dan nutrisi tepat. Perhatian dan sitmulasi adalah salah satu kunci untuk mendukung perkembangan jangka panjang. Di awal kehidupan bayi, stimulasi bisa dilakukan dengan bonding time. Misalnya dengan mendekap si Kecil, memberikan ASI secara langsung dari payudara, membelainya dengan lembut, hingga membacakan buku atau dongeng.
Nutrisi tepat yang disarankan tentu saja ASI eksklusif. Ibu tak perlu khawatir bila dokter anak memutuskan untuk memberikan fortifikasi. “Pada kondisi tertentu, bayi yang sangat prematur perlu dibantu dengan fortifikasi. Misalnya zat besi dan vitamin tertentu,” ucap Dr. dr. Putri.
Merawat bayi prematur memang penuh tantangan. Intervensi yang tepat dan segera pada bayi maupun ibu, akan mendukung tumbuh kembang si Kecil agar optimal. (nid)
____________________________________________