Obesitas anak jika tidak ditangani sejak dini berpotensi menimbulkan penyakit kronis saat ia dewasa. Pola makan pada anak obesitas berbeda dengan orang dewasa. Diet untuk anak obesitas seyogyanya dikonsultasikan dengan ahli gizi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan tingginya kejadian obesitas anak. Data tahun 2016 mencatat lebih dari 340 juta anak (5-19 tahun) di seluruh dunia kelebihan berat badan.
Tahun 2019, hanya pada kelompok umur kurang dari 5 tahun (balita), obesitas dialami oleh 39 juta anak. Hampir setengah dari jumlah tersebut adalah balita di Asia.
Selain tanda-tanda kasat mata, seperti pipi tembam dan dagu rangkap, leher pendek, payudara membesar, perut buncit, dll, ada penanda yang kerap disalahartikan orangtua berupa area kehitaman di lipatan kulit.
Itu disebut akantosis nigrikans. Area kehitaman yang muncul di lipatan kulit leher, ketiak dan punggung tangan. Akantosis nigrikan juga menunjukkan telah terjadi gejala intoleransi glukosa.
Riset Sinha dkk, tahun 2002 menyatakan 25% anak obesitas menunjukkan gejala intoleransi glukosa, berupa akantosis nigrikans.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menyatakan peningkatan prevalensi obesitas anak juga diikuti dnegan peningkatan prevalensi penyakit darah tinggi, aterosklerosis, hipertrofi ventrikel kiri, sumbatan jalan napas saat tidur (obstructive sleep apnea), asma dan sindrom metabolik.
Lantas bagaimana terapi untuk anak obesitas? Dari sisi nutrisi, intinya adalah menjaga asupan kalori tidak belebih.
Luthfianti Diana Mauludiah, SGz, RD, staf Dietisien Rawat Jalan Anak RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta mengatakan, “Penurunan berat badan cukup mencapai 20% di atas berat badan ideal.”
Pengaturan pola makan dan aktivitas fisik diterapkan jangka panjang untuk mempertahankan berat badan tetapi tidak menghambat pertumbuhan dan perkembangan.
Diet anak obesitas menurut usia
Lebih jauh Diana menjelaskan, tujuan terapi gizi pada obesitas anak harus disesuaikan dengan usia dan perkembangan anak.
Terbagi menjadi tiga kategori:
- Usia 0 – 3 tahun tidak perlu dilakukan pengurangan kalori, cukup mempertahankan berat badan dengan mengembalikan pola makan yang benar sesuai usianya.
- Usia 4 – 6 tahun diberikan sesuai dengan kebutuhan, dalam keadaan terpaksa misal ada gangguan pernapasan, susah bergerak dapat dilakukan pengurangan kalori 200 – 300 kkal dari asupan sehari-hari.
- Usia 7 – 18 tahun dilakukan pengurangan kalori sebanyak 300 – 500 kkal dari asupan sehari-hari dengan target penurunan berat badan sebesar 1 – 2 kg/bulan.
Yang tidak kalah penting, lanjut Diana, protein hanya memenuhi 15-20%, lemak 25-30% dan karbohidrat 50-60% dari total kebutuhan.
Vitamin, mineral, dan cairan sesuai angka kebutuhan gizi (AKG). Serat untuk usia di atas 2 tahun diberikan sebesar usia ditambah (+) 5 gr/hari. Susu tetap diberikan dengan susu rendah lemak.
“Batasi gula, garam dan lemak yang berlebihan,” ujar Diana dalam webinar Nutrisi Untuk Obesitas Pada Anak dan Dewasa, 14 Januari lalu.
Makanan seimbang dan beragam
Selain membatasi asupan kalori, pemberian pola makan juga harus beragam dan seimbang.
Mengacu rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) lewat Panduan Piring Makan: ½ piring makan terisi sayur dan buah, ¼ piring diisi protein dan ¼ sisanya adalah karbohidrat dari biji-bijian utuh (beras / gandum) atau pasta.
Diana mencontohkan menu diet rendah kalori (1300 kkal): nasi 250 gr (2 gelas), daging tanpa lemak 150 gr (3 potong sedang), tempe 50 gr (2 potong sedang), sayuran 250 gr (2,5 gelas), buah 400 gr (4 potong sedang), minyak tak jenuh 5 gr (1 sdm), susu skim 20 gr (2 sdm).
Perlu diingat, diet untu anak obesitas membutuhkan peran aktif orangtua/keluarga. Ciptakan suasana nyaman dan orangtua juga perlu menjaga pola makan. Jangan biarkan anak-anak diet sendirian. (jie)
Baca juga: Cara Sederhana Cegah Obesitas Anak