Cukup Gizi Mikro Cegah Stunting | OTC Digest

Cukup Gizi Mikro Cegah Stunting

Kekurangan gizi mikro (mikronutrien) disebut juga dengan istilahnya hidden hunger (kelaparan tersembunyi). Ya, meski banyak makan, anak bisa kekurangan mikronutrien, yaitu zat gizi yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah kecil seperti zat besi, vitamin A, B, zink dan asam folat.

Gizi mikro sangat dibutuhkan oleh tubuh. Bila tidak terpenuhi, kesehatan dan pertumbuhan anak bisa terganggu. “Kalau kelaparan, tubuh anak kurus. Kalau akibat kekrungan mikronutrien, tidak langsung kelihatan,” papar Direktur Micronutrient Initiative Indonesia dr. Elvina Karyadi, MSc, PhD, SpGK.

Menurut data Riskesdas 2010, prevalensi gizi kurang pada balita di Indonesia 17,9%. Khusus prevalensi anak pendek (stunting) 35,6%, atau 3 dari 10 anak Indonesia bertubuh pendek. Nah, stunting erat kaitannya dengan risiko kesehatan.

Ciri fisik bayi stunting saat lahir, tubuh lebih pendek dari bayi normal. Beratnya <2.500 gram dan panjangnya <48 cm. Stunting mengindikasikan bahwa bayi mengalami masalah sejak dalam kandungan. Misal saat hamil, ibu mengalami anemia, kekurangan energi kronik, tak memenuhi gizi seimbang, atau sakit-sakitan sehingga janin kurang zat gizi mikro.

Anak stunting berisiko perkembangan organ-organ vitalnya, misal pembuluh darah, tidak maksimal. Ditambah dengan pola makan tinggi lemak, akan mempercepat penimbunan lemak di pembuluh darah membuat anak berisiko hipertensi, obesitas atau diabetes melitus tipe 2.

Beberapa penelitian menunjukkan, kurang gizi mikro juga berdampak pada kecerdasan. Anak yang tinggi lebih pintar daripada yang stunting. Menurut penelitian tahun 1991, anak normal rata-rata skor kecerdasan sekitar 105, sementara anak stunting sekitar 90. Anak menjadi apatis dan kurang stimulasi.

Berita bagusnya, dari penelitian anak kurang gizi dengan IQ 92, bila mendapat makanan tambahan yang baik, IQ-nya bisa naik menjadi 100. Dan bila ditambah stimulasi, bisa 104.

Anak pendek, menurut penelitian  tahun 2002 – 2007, terjadi karena ibu kurang memberikan ASI ekslusif. Dan 93,6% anak Indonesia usia >10 tahun kurang makan sayur dan/buah (Riskesdas 2007). Rekomendasi WHO, anak perlu makan sayur dan/atau buah 5 porsi sehari.

Menurut dr. Elvina, kecukupan gizi sebaiknya dimulai dari 1000 hari kehidupan. Yakni, setahun sebelum ibu hamil, dan 2 tahun pertama setelah anak lahir. “Lewat 2 tahun, agak susah  mengejar ketertinggalan,” ucapnya.

Agar anak mau makan sayur, ibu perlu kreativitas untuk memasukkan sayuran pada  makanan yang disenangi anak. Dan, “Jadikan makan sebagai momen yang menyenangkan. Kalau dipaksa makan sayur, anak malah trauma dan menolak.” (jie)