Cegah obesitas sebelum terlambat | OTC Digest

Cegah obesitas sebelum terlambat

Anak Harus Tambah Tinggi, Bukan Tambah Berat

Anak perlu asupan gizi untuk tumbuh kembangnya. Bukan berarti anak harus banyak makan. Perlu berhenti makan setelah kenyang, bukan setelah kekenyangan.

Arya Permana (10 tahun), bocah penderita obesitas asal Karawang, Jawa Barat, bukan hanya menyita perhatian di Indonesia tapi juga di dunia. Ia mendapat predikat anak umur 10 tahun terberat di dunia. Bagaimana pun, ini bukan prestasi yang membanggakan, melainkan sangat memrihatinkan.

Selain keluhan kesulitan napas, menurut sang ayah Ade Somantri, Arya relatif tidak pernah sakit. Mungkin benar, tetapi obesitas seperti yang dialami Arya sesungguhnya seperti bom waktu yang setiap saat siap meledak. Dr. Grace Judio-Kahl, MSc, pemerhati gaya hidup dan pendiri klinik penurunan berat badan lightHOUSE memaparkan, ada yang disebut fat sick disease (adiposopathy). Ini biasa dialami orang yang kelebihan berat badan dan obesitas.

Dalam kondisi normal, lemak yang berkumpul di tubuh berperan sebagai penghangat tubuh, memproduksi hormon, melindungi organ dalam dan tulang, dan lain-lain. Tapi jika timbunan lemak, terutama di perut, terkena virus atau mutasi gen akan membuat lemak menjadi ‘sakit’. Lemak jenis ini akan memroduksi banyak hormon dan protein, yang menyebabkan tekanan darah melonjak.

“Atau tiba-tiba tubuh menjadi resisten pada insulin, sehingga kadar gula darah naik. Bisa juga tiba-tiba kadar asam urat dan kolesterol naik,” papar dr. Grace.    

Dalam kondisi itu sel lemak menjadi besar dan melepaskan asam lemak bebas terlalu banyak. Pada kondisi normal, atau saat puasa, tubuh dapat memperoleh energi dari asam lemak bebas. Tapi jika produksi asam lemak bebas dari sel lemak yang sakit terlalu banyak, justru akan meracuni organ lain, seperti hati, otot dan pankreas.

“Ada lagi masalah tulang. Tulang yang menahan beban yang terlalu berat, membuat tulang kaki penderita obesitas biasanya bengkok. Kaki menjadi berbentuk guruf O. Dan bentuk tulang punggungnya, tidak seperti orang normal,” tambah dr. Grace.

Anak gemuk: kapan harus khawatir?

Satu hal yang perlu dipahami, anak masih bertumbuh. Orangtua tidak bisa menduga,  berat badan anaknya normal gemuk atau sudah berlebih. Sebagai patokan, bisa diukur dengan grafik indek massa tubuh (IMT) – persentil yang membandingkan antara usia dan IMT anak. Grafik tersebut berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. Langkah pertama adalah dengan menghitung IMT anak, yakni berat badan (dalam kilogram) dibagi tinggi badan (dalam m²).

Kedua, tarik garis horizontal, sesuai IMT anak Anda. Tarik juga garis vertikal sesuai usia anak. Perpotongan kedua garis tersebut menunjukkan, apakah anak sudah tergolong obesitas. Bila titik perpotongan jatuh pada warna merah (> garis persentil 95), anak tergolong obesitas. Warna orange (antara persentil 85-95), anak cenderung kelebihan berat badan (overweight). Warna hijau (antara persentil 5-85) termasuk kategori sehat. Warna kuning (< persentil 5), anak diangap kurang berat (underweight).

“Dokter akan melihat dengan berat seperti itu (obesitas), apakah sudah mengganggu kesehatannya. Kalau iya, berat badan harus diturunkan. Anak tidak boleh bertambah berat, tapi harus bertambah tinggi,” ujar dr. Grace.

Caranya dengan mempertahankan jumlah makanan yang dikonsumsi, hingga berat badan tidak berubah sampai si kecil remaja dan bertambah tinggi.


Boks: grafik IMT-persentil anak

Tanda-tanda Lapar & Kenyang

Kegemukan atau obesitas terjadi karena asupan energi (makanan) lebih b anyak dan tidak sebanding dengan energi yang digunakan. Cara mencegah berlebihannya asupan makanan yakni dengan latihan mengenali ‘bahasa’ tubuh, tentang lapar dan kenyang.  

Lapar ditandai dengan perut berbunyi, kepala pusing, badan terasa lemas dan keluar keringat dingin. Kenyang ditunjukkan dengan perut yang terisi dan menghilangnya tanda-tanda lapar. Disebut  kekenyangan apabila perut sampai terasa sesak, bersendawa, buang angin dan mengantuk. Kita sebaiknya berhenti makan saat kenyang, bukan setelah kekenyangan.

Para ahli gizi menyarankan, makan sebaiknya dilakukan hanya di waktu makan di meja makan. Tidak sambil bermain, atau nonton televisi. Jika makan dilakukan sambil melakukan hal lain, si kecil menjadi tidak terbiasa merasakan sensasi kenyang.

Pavlov – yang dikenal dengan teori klasik tentang perilaku- membuat eksperimen. Seekor anjing dimasukkan dalam ruangan kecil berjendela, dilengkapi bel kecil. Tiap kali bel dibunyikan, Pavlov memberi makan anjing tersebut. Hal ini dilakukan berkali-kali. Akhirnya, setiap kali bel berbunyi, anjing itu akan mendekati jendela dan mengeluarkan air liur meski tidak ada makanan. Suara bel diidentikkan dengan makanan.

Hal yang sama terjadi pada manusia. Jika setiap kali nonton televisi si kecil mendapat makanan, atau sebaliknya, makan sambil nonton TV, lambat laun nyala TV dihubungkan dengan saatnya mencari makanan. Hal ini bisa memicu kelebihan berat badan.

Selama makan, biasakan anak mengambil makanan secukupnya. Cicipi dulu makanan yang diinginkan, baru ambil nasi dan lauknya. Takaran yang dianjurkan adalah segenggam tangan anak untuk nasi atau sumber karbohidrat lain, dan setelapak tangan anak (minus bagian jari-jemari) untuk ukuran lauk.

Bila sudah kenyang, biasakan anak untuk berhenti makan. Ingat-ingat, seberapa besar porsi makan yang membuatnya kenyang. Bila anak tidak menghabiskan makannya, tanyakan alasannya. Jangan memaksa anak untuk menghabiskan makanan, karena ia mungkin sudah merasa kenyang. Memaksa anak menghabiskan makanan, bisa membuat makan anak tidak terkontrol dan ada kemungkinan anak makan lebih banyak.

Kenali keluhan anak

Menurut dr. Grace, “Orangtua harus belajar mendengarkan keluhan anak, membantu mengenali perasaan dan memberikan solusi. Ini bermanfaat untuk menghindarkan makan sebagai pelampiasan stres atau rasa bosan.”

Rasa bosan bisa disalahartikan menjadi rasa ingin makan, kemudian diterjemahkan menjadi lapar. Demikian juga dengan rasa tegang, kecewa atau marah. “Bantu anak mengidentifikasi perasaannya. Khawatir, kesepian, kecewa, malu, putus asa, adalah kosakata yang perlu diperkenalkan. Istilah atau kata ‘stres’ saja kurang mewakili perasaan tersebut,” tambah dr. Grace.

Makanan bukan cara untuk meredakan emosi anak. Masalah dapat dibantu diselesaikan dengan cara dibicarakan bersam-sama. Adapun rasa bosan, dapat diusir dengan bermain atau membaca. Bukan dengan makan.  (jie)