Mencegah dan Mengatasi Defisiensi Zat Besi pada Anak

5 Cara Mencegah dan Mengatasi Defisiensi Zat Besi pada Anak

Sebanyak 47% anak di dunia mengalami anemia, dan 50-60% di antaranya disebabkan oleh defisiensi atau kekurangan zat besi. Anemia defisiensi besi (ADB) pada anak tidak bisa dianggap sepele. Dalam jangka pendek ADB bisa menurunkan kecerdasan, otak (atensi, pendengaran, visual), dan fungsi motorik. Jangka panjang, ADB bisa menurunkan kemampuan berhitung, membaca, menulis, dan bahasa anak. Anak juga mengalami perubahan atensi dan sosial karena dianggap kurang tanggap dengan lingkungan sekitar, hingga perubahan perilaku. Untuk itu, penting mengatasi defisiensi zat besi sejak dini.

Usia 6 bulan hingga 3 tahun adalah masa kritis terjadinya anemia. “Pada masa ini, anak mengalami masa pertumbuhan yang cepat. Kebutuhan zat besi dan zat gizi lainnya pun meningkat,” terang Ketua Departemen Ilmu Gizi Klinik FKUI dr. Nurul Ratna Mutu Manikam, M.Gizi, Sp.GK. Sayangnya di sisi lain, pemenuhan zat besi mungkin kurang karena anak kurang menyukai makanan hewani.

Terlambat memperkenalkan MPASI, kurangnya makanan dan formula pertumbuhan yang difortifikasi zat besi, tidak patuh minum suplemen besi, hingga tidak optimalnya penyerapan zat besi adalah beberapa faktor lain yang kerap menyebabkan ADB pada anak. Tampak sepele dan sering terabaikan, padahal besar pengaruhnya.

Tanda-tanda anemia pada anak bisa dikenali secara fisik. Anak kerap mengeluh cepat lelaj, pusing, pucat. Dan jangan abaikan bila anak memiliki kebiasaan mengunyah atau es batu, tisu, bahkan kertas. Ini adalah pika, kelainan makan yang melibatkan makan/mengunyah sesuatu yang umumnya bukan makanan.

Secara lab, defisiensi zat besi bisa diketahui dengan pemeriksaan ferritin dan Hb. Ferritin adalah cadangan zat besi; disebut kurang bila kadarnya <15 µg/L. “Kadar Hb mungkin masih normal, padahal cadangan besi sudah turun. Saat ferritin turun, saturasi zat besi pun turun, meski Hb masih normal,” papar dr. Nurul. Saat Hb sudah turun hingga <12,5 g/dL (anak usia 2-6 tahun), bisa dipastikan kedar ferritin dan saturasi zat besi pun sudah sangat menurun. Inilah anemia. “Bila dilihat di bawah mikroskop, ukuran sel-sel darah pun lebih kecil,” imbuhnya.

Mencegah dan mengatasi defisiensi zat besi

Anemia akibat defisiensi zat besi bisa menghambat lima potensi prestasi anak, seperti dikupas dalam artikel ini. Berikut ini 5 hal yang bisa dilakukan untuk mencegah dan mengatasi defisiensi zat besi pada anak.

1. Sediakan makanan sumber zat besi setiap hari

Umumnya, makanan sumber zat besi adalah sumber protein juga. Secara umum dibagi menjadi dua: heme (hewani) dan non heme (nabati). “Utamakan dari sumber hewani dulu, baru nabati,” ujar dr. Nurul. Sumber hewani diutamakan karena kandungan zat besinya lebih banyak, dan lebih mudah diserap tubuh.

Sumber hewani misalnya hati (ayam maupun sapi), daging merah, unggas, ikan, dan seafood. “Kalau anak malas makan daging karena seratnya kasar, daging bisa digiling lalu direbus, sehingga seratnya jadi halus dan mudah dikunyah anak,” imbuhnya. Adapun sumber nabati misalnya kacang-kacangan, sayuran hjau, dan biji-bijian.

2. Beri anak makanan/minuman berfortifikasi zat besi

“Jangan takut dengan makanan fortifikasi. Kalau mengandalkan zat besi dari makanan sehari-hari mungkin tidak cukup, karena anak makannya sedikit,” terang dr. Nurul. Fortifikasi zat besi pada makanan atau minuman bisa membantu asupan zat besi anak sehari-hari.

Apa sih bedanya fortifikasi dengan suplemen? Kandungan zat besi pada suplemen lebih tinggi. Sebelum pemberian suplemen, sebaiknya kadar zat besi/cadangan zat besi memang diperiksa dulu, sehingga sesuai kebutuhan, dan tidak berlebihan. “Belum lagi, suplemen zat besi kadang menyebabkan mual, dan BAB menjadi lebih gelap sehingga orang tua takut, dan menghentikan suplementasi,” ujar dr. Nurul. Untuk fortifikasi, fungsinya lebih sebagai pelengkap dari asupan sehari-hari.

3. Cukupi kebutuhan vitamin C

Agar bisa diserap tubuh, zat besi haruslah dalam bentuk Fe 2+. Namun, zat besi dalam makanan khususnya yang sumber nabati, berbentuk Fe 3+. “Elektron vitamin C bisa mengubah Fe 3+ menjadi Fe 2+ sehinga siap diserap ke dalam usus,” jelas dr. Nurul. Untuk itu, sertakan buah yang kaya vitamin C seperti jeruk atau guava, sehabis makan. Ini akan membantu penyerapan zat besi yang berasal dari sayuran hijau gelap.

4. Lengkapi kebutuhan akan nutrisi pendukung

Lengkapi juga kebutuhan nutrisi pendukung lain. Misalnya protein yang penting untuk transportasi zat besi di dalam tubuh, dan kuprum yang akan mengubah Fe 3+ menjadi Fe 2+. Ini perlunya menyediakan makanan dengan gizi seimbang dan beragam. Dengan pola makan seperti ini, anak bisa mendapat semua nutrisi yang dibutuhkan tubuh, dan menjadi salah satu upaya penting mengatasi defisiensi zat besi.

5. Jangan beri anak teh setelah makan

Beri anak air putih saja di waktu makan maupun setelah makan. “Jangan dikasih teh karena teh mengandung tannin, yang akan menghambat penyerapan zat besi,” ucap dr. Nurul. Bila the sudah jadi bagian dalam keluarga, beri jeda minimal 1 jam sebelum maupun sesudah makan, agar tidak menghambat penyerapan zat besi. (nid)

____________________________________________

Ilustrasi: Food photo created by timolina - www.freepik.com