Situasi pandemi COVID-19 di Indonesia masih belum terkontrol, puncak penularanpun belum terlihat. Bahkan selama masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat tercatat beberapa kali jumlah kasus harian pecah rekor: 29.745 (5/7/2021); 38.391 (8/7/2021); 40.427 (12/7/2021); 47.899 (13/7/2021).
Walau kasus COVID-19 belum menunjukkan gejala penurunan, sebagian besar pasien sembuh. DKI Jakarta, misalnya, data tanggal 13 Juli 2021 menyatakan dari total 689.243 kasus aktif ada 589.486 pasien sembuh. Tingkat kesembuhan 85,5%.
Mereka yang masih dirawat/isolasi sebanyak 90.216 (13,1%). Dengan total meninggal 9.541 (1,4%) di hari yang sama (data diambil dari corona.jakarta.go.id).
Apt. I Made Abdi Gunawan, S.Farm, M.Kes, selaku Pengurus Daerah Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Bali, menjelaskan risiko kematian tertinggi ada pada kelompok usia >80 tahun (14,8%), disusul usia 60-79 tahun (3,6 – 8,0%). Atau mereka dengan komorbid, seperti penyakit kardiovaskular (10,5%), diabetes (7,3%), gangguan pernapasan kronis (6,3%), hipertensi dan kanker (masing-masing 6% dan 5,6%).
“Masing-masing orang memiliki respons yang berbeda terhadap COVID-19. Sebagian besar orang yang terpapar virus ini akan mengalami gejala ringan hingga sedang, dan akan pulih walau tidak dirawat di rumah sakit,” terangnya dalam Seminar Kefarmasian, Rabu (14/7/2021) yang berlangsung secara virtual.
Di antara beberapa gejala, seperti demam, batuk, anosmia atau kelelahan, nyeri juga kerap dikeluhkan pasien. Nyeri tenggorokan atau kepala adalah salah satu penanda gejala ringan-sedang, dan nyeri dada / rasa tertekan di dada pada mereka yang bergejala berat.
Nyeri merupakan sensasi subyektif rasa tidak nyaman yang biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial.
Saat terjadi cedera jaringan, terang Made Abdi, tubuh akan melepaskan zat-zat kimiawi (serotonin, prostaglandin, histamin dan plasmakinin) yang menimbulkan rasa nyeri. Kemudian terjadi peradangan.
Obat antiradang atau antinyeri menjadi salah satu obat yang diberikan dalam terapi COVID-19, untuk mengurangi peradangan atau nyeri (akibat radang).
Jenis obat antiradang non steroid (NSAID) yang umum diberikan antara lain golongan asam salisilat (aspirin), asam propionat (ibuprofen dan naproksen), penghambat COX-2 selektif (etoricoxib, celecoxib, valdecoxib), dan golongan lainnya (diklofenak, indometasin atau fenilbutazon).
“NSAID merupakan salah satu obat pilihan terapi nyeri pada pasien COVID-19, selain parasetamol. Walau ada laporan awal yang menyatakan terjadi perburukan kasus akibat ibuprofen, tetapi hal ini tidak didukung bukti ilmiah yang cukup,” terang Made Abdi.
“Pemberian NSAID, termasuk ibuprofen, tetap dapat diberikan selama pasien masih membutuhkan analgesik anti-inflamasi (antinyeri dan antiradang).”
Namun pemberian antinyeri perlu memperhatikan besarnya simulasi nyeri, intensitas nyeri, jenis nyeri yang dirasakan pasien dan kondisi pasien dengan adanya perubahan sistem tubuh akibat infeksi COVID-19.
Mekanisme kerja antinyeri
James Pangaribuan, selaku Product Manager Menarini Indonesia, dalam kesempatan yang sama menjelaskan mekanisme kerja obat antinyeri adalah dengan menghambat sintesis prostaglandin pada jalur COX (cyclooxygenase); COX 1 terlibat dalam perlindungan lambung, COX 2 berperan dalam peradangan dan nyeri.
Prostaglandin merupakan zat yang menyerupai hormon. Ia adalah mediator nyeri yang berperan penting dalam proses penyembuhan luka serta sistem reproduksi.
Tubuh akan memproduksi prostaglandin secara alami saat mengalami cedera. Saat adanya jaringan tubuh yang rusak atau terinfeksi, prostaglandin bersama dengan berbagai zat lain akan memulai proses penyembuhan yang ditandai dengan rasa sakit, demam dan bengkak.
“NSAID tradisional akan menghambat jalur COX 1 dan jalur COX 2, sedangkan obat penghambat COX (COX-inhibitor; misalnya celecoxib dan etoricoxib) secara selektif hanya menghambat jalur COX2,” terang Jansen.
Pada antinyeri tradisional terhambatnya produksi prostaglandin menyebabkan berkurangnya peradangan, nyeri dan demam, tetapi di satu sisi fungsi perlindungan prostaglandin juga hilang. Mukosa lambung tidak terlindungi, sehingga berisiko menyebabkan luka (tukak) lambung dan fungsi pembekuan darah terganggu. Bisa menyebabkan perdarahan.
Sementara untuk obat penghambat COX, tetap menghambat produksi prostaglandin tanpa menghilangkan fungsi perlindungan prostaglandin. “Sehingga efek samping seperti dalam pemberian NSAID tradisional tidak terjadi,” imbuh Jansen.
Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Arthritis Research & Therapy 2013 menyatakan antinyeri COX-inhibitor menurunkan risiko pembentukan tukak dan komplikasi tukak lambung, dibandingkan NSAID.
Keuntungan lain antinyeri penghambat COX adalah memiliki waktu penanganan nyeri yang lebih panjang, dibanding NSAID tradisional. Ini berarti waktu yang dibutuhkan untuk minum obat berikutnya lebih lama.
Misalnya pada etoricoxib dalam waktu 24 menit segera meredakan nyeri, bekerja selama 24 jam (dosis sekali sehari), sehingga lebih nyaman bagi pasien.
Penghambat COX ini efektif dipakai dalam pengobatan nyeri kronis, radang sendi, penyakit autoimun rheumatoid arthritis, radang karena asam urat, nyeri otot kronis dan nyeri yang berhubungan dengan bedah mulut dan gigi. (jie)
_________________________________________
Ilustrasi: Gundula Vogel from Pixabay