Kejang demam (febrile seizure) merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada bayi usia > 6 bulan hingga balita, yakni bila ia mengalami panas tinggi di atas 38℃. Kondisi kejang – disebut juga step – biasanya berlangsung selama beberapa menit dan akan berhenti sendiri.
Panas tinggi dan kejang ini dapat terlihat serius, akan tetapi kebanyakan berhenti sendiri tanpa pengobatan dan tidak menyebabkan masalah kesehatan lainnya. Namun pada beberapa kasus membutuhkan terapi obat untuk mencegah kejang demam berulang.
Apt. Budi Raharjo, SpFRS, staf instalasi farmasi RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto, menjelaskan kejang demam ini disebabkan oleh kenaikan suhu, bukan akibat gangguan elektrolit atau metabolik lainnya.
“Bayi usia 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang sekali. Bila terjadi kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi saraf pusat – misalnya ensafalitis, meningitis atau meningoensafalitis – apalagi ada tanda-tada rangsangan meningeal (kaku kuduk),” ujar pria yang juga dosen tidak tetap di Prodi S2/Magister Farmasi Klinik di UGM.
Ia menegaskan, disebut kejang bila terjadi secara mendadak, gerakan kaki/tangan sinkron kanan dan kiri, terdapat gangguan kesadaran, bisa disertai dengan sianosis (kebiruan pada jari tangan, kuku, bibir karena kurang oksigen), dan terdapat gerakan mata abnormal.
Walau kelihatannya menakutkan, tetapi sebagian besar kasus kejang demam tidak berbahaya. “Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan,” Budi menjelaskan dalam Seminar Kefarmasian Tatalaksana Pengobatan Kejang Demam & Konstipasi, Selasa (26/10/2021).
Tetapi kelainan neurologis (berhubungan dengan saraf) dapat terjadi pada kasus kejang lama atau berulang. Studi melaporkan terdapat gangguan recognition memory (memori pengenalan) pada anak yang mengalami kejang lama.
“Ini menegaskan pentingnya menghilangkan kondisi kejang demam sesegera mungkin yang berpotensi menjadi kejang lama,” tukas Budi.
Pengobatan
Umumnya kejang berlangsung singkat, biasanya 4 menit, sehingga ketika pasien datang ke rumah sakit, kondisi kejang sudah berhenti.
“Bila pasien datang ke IGD dalam kondisi kejang, obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah antikonvulsan (anti kejang/epilepsi seperti Diazepam atau Midazolam),” terang Budi, seraya menambahkan bila obat tidak mungkin diberikan secara oral (ditelan) maka akan diberikan secara rektal (melalui dubur).
Selain pemberian antikejang, dokter juga bisa memberikan antipiretik (antidemam sekaligus antinyeri). Parasetamol diberikan tiap 4-6 jam, atau ibuprofen 3-4 kali sehari.
Obat antikejang untuk pencegahan diberikan pada anak dengan beberapa faktor risiko seperti, memiliki kelainan neurologis berat (misal cerebral palsy), kejang demam berulang > 4 kali dalam setahun, usia <6 bulan, atau bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39℃.
Riset Knudsen F U tahun 1979 menunjukkan, pada terapi pencegahan, pemberian diazepam rektal sedini mungkin memiliki efektivitas 96% dan keterlambatan terapi hanya memberikan efektivitas 57%.
Apa yang hrs dilakukan bila terjadi kejang demam
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menerbitkan panduan bagi orangtua saat anak mengalami kejang demam:
- Tetap tenang/jangan panik
- Kendorkan pakaian yang ketat, terutama di sekitar leher
- Bila tidak sadar, posisikan anak miring
- Jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut
- Ukur suhu, observasi dan catat bentuk dan lama kejang
- Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang
- Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit
- Bawa ke rumah sakit bila suhu >40℃, kejang tidak berhenti dengan diazepam rektal
Risiko berkembang menjadi epilepsi?
Untuk beberapa kasus, kejang demam berpotensi menjadi epilepsi. Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah :
- Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang tidak jelas sebelum kejang demam pertama.
- Kejang demam kompleks ( berlangsung >15 menit, berulang/ lebih dari 1 kali dalam 24 jam).
- Memiliki riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
- Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam 1 tahun.
“Masing-masing faktor risiko ini meningkatkan kemungkinan epilepsi 4-6%, tetapi kombinasi dari faktor risiko membuat kemungkinan naik menjadi 10-49%,” pungkas Budi. (jie)
____________________________________________________
Ilustrasi: Artist and zabiyaka from Pixabay