manfaat jamu untuk kesehatan saluran nafas dan imunitas

Manfaat Jamu untuk Kesehatan Saluran Napas dan Imunitas di Saat Pandemi

Pandemi COVID-19 sudah berjalan lebih dari satu tahun, tetapi penularan masih tinggi. Mutasi virus coronapun terus bermunculan. Walau sudah ada vaksin, tetapi efektivitasnya masih dipertanyakan terhadap berbagai varian baru tersebut.

Di satu sisi selain corona, masih ada ancaman infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang kerap menyerang anak-anak. Data menyebutkan pemberian obat batuk dan pilek yang dijual bebas, atau resep, pada anak < 2 tahun berkaitan dengan kejadian overdosis fatal.

FDA di tahun 2008 telah merekomendasikan obat batuk pilek yang dijual bebas tidak boleh digunakan untuk anak <2 tahun.

Batuk dan pilek atau dikenal dengan selesma (common cold) merupakan salah satu jenis ISPA ringan; lainnya berupa asma, pneumonia hingga emboli paru yang bisa sangat mengancam.

Berdasarkan fakta di atas, artinya kita harus kembali ke basic, yakni meningkatkan imunitas agar tidak tertular virus corona atau mengalami ISPA.

Prof. apt. Agung Endro Nugroho, MSi, PhD, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menjelaskan sistem imun merupakan mekanisme pertahanan yang terdiri dari banyak proses dan sistem biologis dalam suatu organisme, untuk melindungi terhadap penyakit.

Manusia memiliki dua sistem kekebalan: bawaan (innate) dan kekebalan adaptif (didapatkan lewat vaksinasi/imunisasi). Kedua sistem imun ini saling berhubungan. Kalau ada benda asing gagal ditangkal oleh kekebalan bawaan, dia akan berhadapan dengan kekebalan adaptif. Bila tetap kalah, kita akan sakit.

“Sistem kekebalan mempunyai sistem deteksi terhadap agen patogen, ini adalah virus, antigen, bakteri atau parasit,” Prof. Agung menerangkan dalam seminar virtual kefarmasian, Kamis (27/5/2021).

Dalam kesempatan yang sama dr. Dimas Dwi Saputro, SpA, dari Divisi Respirologi Anak RSAB Harapan Kita Jakarta, menjelaskan ada beberapa virus biang kerok ISPA, termasuk rhinovirus, virus corona (keluarga besar SARS-CoV-2 penyebab pandemi COVID-19), influenza dan adenovirus.

ISPA bisa menimbulkan gejala yang mirip, mulai dari hidung tersumbat, nyeri atau gatal tenggorokan. Lendir awalnya berwarna jelas, tetapi dapat menjadi berwarna saat penyakit berlanjut, dan penderita mengalami batuk atau bersin.

Nyeri tenggorokan bisa berlangsung hingga 8 hari, sakit kepala antara 9-10 hari, hidung tersumbat/pilek dan batuk mungkin berlangsung >14 hari.

Lantas apa yang perlu dilakukan? “Perhatikan gejalanya, apakah COVID-19 atau tidak, pasien ISPA tidak boleh diberikan antibiotik, dan jangan berikan obat yang berlebihan,” terang dr. Dimas. “Kecurigaan tentang COVID-19 harus didasarkan ada tidaknya kontak erat dengan pasien COVID-19.” 

Sementara itu tentang pemberian antibiotik, riset Galziou P. Del Mar, dkk., tidak mempercepat penyembuhan infeksi virus (pada kasus ISPA anak) atau mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi bakteri sekunder.

Antibiotik hanya diberikan pada kasus ISPA dengan infeksi bakteri sekunder, seperti sinusitis dan otitis media. Pemberian antibiotik tanpa ada infeksi bakteri sekunder berkontribusi meningkatkan resistensi bakteri.

“Obat pereda nyeri yang boleh diberikan untuk anak <6 tahun hanya golongan asetaminofen. Pada anak 6 tahun atau lebih boleh diberi asetaminofen atau ibuprofen. Jangan pernah memberikan aspirin pada anak-anak karena bisa menyebabkan sindrom Reye,” terang dr. Dimas.

“Untuk batuk dan pilek pada anak < 4 tahun jangan berikan obat apapun, kecuali dokter yang meresepkan. Tetap diskusikan dengan dokter untuk pemberian obat yang dijual bebas pada anak >4 tahun.” 

Bahan alam untuk imunitas

Daya tahan tubuh adalah kunci supaya kita tidak sakit. Meningkatkan imunitas bisa dilakukan dengan mengonsumsi obat dari bahan alam.

Badan POM mengelompokkan obat bahan alam menjadi tiga: jamu, Obat Herbal Tersandar (OHT) dan fitofarmaka.

Jamu merupakan ramuan tanaman yang secara turun-temurun terbukti memiliki manfaat kesehatan, tetapi kandungan kimiawinya belum distandarisasi. OHT khasiatnya didasarkan uji farmakologi dan toksikologi pada hewan. Sedangkan fitofarmaka manfaatnya sudah berdasarkan uji klinis pada manusia.

Prof. Agung menjelaskan beberapa bahan jamu yang sudah dikenal luas dan terbukti secara ilmiah bisa dipakai sebagai imunomodulator. Beberapa diantaranya adalah Echinacea purpurea, jahe, kunyit, temulawak, propolis, ginseng dan madu.

“Selain itu ada lidah buaya, bawang putih, keladi tikus, cabe jawa, dan sambiloto,” katanya. “Demikian pula vitamin C, D, E dan zinc.”

Imunomodulator merupakan zat yang dapat memodulasi (mengubah) sistem imun menjadi normal. Produk imunomodulator ada yang bersifat imunostimulan (menguatkan imun) atau menekan reaksi sistem imun yang berlebihan (imunosupresan).

Dalam riset yang dipublikasikan di jurnal Pharmacognosy Reviews (2015) disebutkan echinacea memiliki sifat anti peradangan dan imunostimulan yang bermanfaat untuk meredakan gejala ISPA.

Pemberian echinacea mampu menghambat replikasi beberapa jenis virus, melalui mekanisme interaksi langsung dengan partikel virus serta protein pembungkus virus. Termasuk di antaranya virus influenza A dan B, virus para influenza, dan respiratory syncytial virus (RSV).

Dalam penanganan COVID-19, echinacea tampaknya memiliki manfaat. Hasil diskusi PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia) maupun Peralmuni (Perhimpunan Alergi Imunologi Indonesia) menyatakan, suplemen herbal dengan kandungan E. purpurea dapat digunakan sebagai salah satu terapi COVID-19. Baik sebagai terapi pencegahan pada orang sehat, maupun terapi tambahan pada kasus KTG (konfirmasi tanpa gejala) dan pasien dengan gejala ringan.

Kapan harus minum jamu?

Pada dasarnya jamu boleh diminum kapan saja, bahkan untuk jamu gendong bisa diminum setiap hari. Beberapa orangtua memberikan jamu kepada anaknya ketika demam atau untuk meningkatkan nafsu makan.

Tetapi Prof. Agung mengingatkan, konsumsi jamu sangat tergantung pada jenis jamu / tanaman obatnya. “Jika belum tahu sifat / karakteristik jamu tersebut, konsultasikan pada ahlinya. Konsumsi jamu secara tidak tepat, baik dosis, waktu atau komposisinya berpotensi membahayakan kesehatan,” pungkasnya. (jie)