Dasar dari semua diet sehat adalah konsumsi sayur dan buah yang berwarna-warni. Pewarna alami tanaman (fitokimia; termasuk golongan flavonoid) diketahui bersifat antioksidan yang bermanfaat untuk menghambat penurunan daya ingat. Konsumsi sayur dan buah bermanfaat untuk Anda yang gampang lupa.
Studi skala besar oleh peneliti dari Harvard menegaskan bila sayur dan buah dengan flavonoid tertentu berperan penting menghambat penurunan daya ingat, bahkan mencegahnya.
Flavonoid dalam sayur dan buah adalah antioksidan kuat, yang akan memerangi peradangan dan akumulasi plak amiloid di otak (penderita Alzheimer memiliki plak amiloid yang banyak di otak).
Antioksidan ini juga berperan untuk meningkatkan produksi bahan-bahan kimia yang memperbaiki sel-sel otak, memperkuat koneksi mereka, mendorong pertumbuhan sel otak baru dan memperbesar ukuran hippocampus (bagian otak yang terlibat dalam penyimpanan memori).
Peneliti mengevaluasi data kesehatan dan diet pada lebih dari 77.000 orang paruh baya, yang dikumpulkan selama 20 tahun. Informasi tersebut termasuk seberapa sering mereka mengonsumsi buah dan sayur dan apakah mereka merasakan perubahan daya ingat di usia 70 tahunan.
Tim kemudian menghitung asupan enam kelas flavonoid, seperti flavonol (misalnya dalam bawang dan kangkung), flavon (dalam cabai hijau dan seledri), flavanone (di jeruk) dan antosianin (dalam blackberry dan kubis merah).
Apa yang riset temukan?
Setelah menghitung faktor-faktor yang mempengaruhi daya ingat (usia, berat badan, aktivitas fisik, depresi, dll), peneliti menemukan partisipan dengan asupan flavonoid harian terbanyak 19% lebih kecil kemungkinannya untuk menjadi gampang lupa.
“Hasil yang kami peroleh sangat menggembirakan karena menunjukkan bahwa konsumsi flavonoid di sayur dan buah bisa menghambat penurunan daya ingat, bahkan mencegahnya, dan masalah kognisi lain di usia lanjut,” kata Dr. Walter Willet, salah satu peneliti sekaligus profesor epidemiologi dan nutrisi di Harvard T.H. Chan School of Public Health, AS.
“Kami mengetahui bila semakin dini asupan flavonoid di sayur dan buah tampaknya meningkatkan efek perlindungan otak. Bahkan peserta yang mulai makan lebih banyak sayur dan buah di kemudian hari tetap mendapatkan manfaatnya,” terang Dr. Tian-Shin Yeh, penuli utama riset tersebut, melansir Health Harvard.
Flavonoid dan buah/sayur yang mana?
Beberapa flavonoid tertentu tampak memiliki efek perlindungan untuk otak dan daya ingat:
- Flavones dihubungkan dengan penurunan risiko gangguan daya ingat hingga 38%
- Flavanones punya risiko 36% lebih rendah untuk penurunan kognitif yang dilaporkan sendiri
- Antosianin berisiko mengurangi gangguan daya ingat hingga 24%
Dalam riset tersebut sayur dan buah yang berhubungan dengan penghambat penurunan daya ingat antara lain (diurutkan dari yang terkuat ke terlemah):
- Kubis Brussel
- Stroberi
- Kembang kol
- Bayam mentah
- Ubi jalar
- Blueberry
- Labu kuning/oranye
- Bayam yang dimasak
- Wortel yang dimasak
- Brokoli
- Kubis
- Saos tomat
- Lettuce
- Tomat
- Grapefruit (jeruk bali merah)
- Pisang
- Jeruk
- Bawang bombai
- Teh
- Anggur putih (minuman)
- Anggur
- Anggur merah (minuman)
Memenuhi kebutuhan flavonoid Anda
Dalam penelitian tersebut, rentang asupan flavonoid dalam sayur dan buah adalah antara 150 mg/hari hingga 620 mg/hari.
Tetapi untuk mengetahui berapa banyak flavonoid yang Anda konsumsi sangat sulit, misalnya setengah cangkir blueberry mengandung sekitar 165 mg antosianin, setengah cangkir lada memiliki sekitar 5 mg flavones. Dan banyak sayur dan buah mengandung beberapa flavonoid dan fitokimia lain.
Anda tidak perlu memusingkan hal tersebut. “Cukup konsumsi aneka sayur dan buah yang beraneka warna. Cobalah untuk mencapai konsumsi lima macam buah dan sayur sehari. Bukti terbaru menunjukkan kombinasi paling efektif adalah dua porsi buah ditambah tiga porsi sayur per hari,” tulis peneliti.
“Ini disebut ‘makanan pelangi’ dan dapat mengarah pada diet yang lebih sehat dan lezat. Dan itu adalah alasan lain mengapa kita harus memastikan bahwa setiap orang memiliki akses untuk mengonsumsi buah dan sayuran segar,” kata Dr. Deborah Blacker, salah satu peneliti sekaligus profesor dan wakil ketua epidemiologi di Harvard T.H. Chan School of Public Health. (jie)