Ada banyak terapi untuk epilepsi, mulai dari diet khusus hingga penggunaan obat-obat antiepilepsi. Diet keto terbukti mengurangi frekuensi bangkitan epilepsi.
Epilepsi disebabkan oleh lonjakan aliran listrik di otak yang berakibat rusaknya sel-sel saraf otak. Otak memiliki jutaan sel saraf yang mengontrol bagaimana kita berpikir, bergerak dan merasa, dengan mengirimkan sinyal listrik satu sama lainnya. Jika sinyal ini tiba-tiba terganggu dapat menyebabkan bangkitan epilepsi.
Dr. dr. Endang Koestiowati, SpS(K), MSi. Med, dari bagian neurologi FK Universitas Diponegoro / RSUP Dr. Kariadi Semarang menjelaskan, seseorang didiagnosis epilepsi bila mengalami kejang berulang (dua kali atau lebih), dengan interval (jarak) antar kejang lebih dari 24 jam.
Data global menyatakan setidaknya ada 50 juta penderita epilepsi di seluruh dunia, dan 2,4 juta penderita baru tiap tahunnya. Terapi utama epilepsi menggunakan obat antiepilepsi. Pun begitu, diet ketogenik terbukti efektif pada penderita epilepsi.
Diet ketogenik – selanjutnya disebut diet keto – sejak awal dikembangkan untuk penderita epilepsi, walau akhirnya populer untuk menurunkan berat badan. Beberapa studi menunjukkan, episode kejang berkurang drastis pada anak-anak epilepsi yang menjalani diet keto. Beberapa anak bahkan mengalami remisi komplit.
Diet keto tergolong diet ekstrim, di mana seseorang mengonsumsi lemak tinggi (70-80%), dengan sedikit protein (20%) dan karbohidrat (5-10%). Sumber lemak misalnya dari alpukat, santan, dan minyak-minyak seperti olive oil, minyak sayur atau canola.
Walau mengonsumsi lemak tinggi, ahli gizi tetap menyarankan memilih lemak sehat (tak jenuh), dibanding lemak jenuh. Sembarangan memilih sumber lemak, menurut dr. Diana F. Suganda, M.Kes, SpGK, akan membuat profil lemak darah buruk. Berisiko menyebabkan pengerasan pembuluh darah oleh plak (aterosklerosis).
Baca juga : Salah Kaprah Diet Keto
Sumber karbohidrat seperti nasi, roti, mie, pasta dan kue-kue dihindari. Biasanya, sumber karbohidrat hanya dari sayur dan buah tertentu. Sayur yang mengandung pati seperti kentang dan jagung dihindari. Juga buah-buahan yang manis, karena dianggap tinggi karbohidrat dan gula.
Tujuan utama diet keto adalah menciptakan keadaan ketosis, di mana zat keton (berasal dari pemecahan lemak) menjadi sumber energi utama bagi otak menggantikan glukosa (gula dari karbohidrat).
Kadar keton yang tinggi menurunkan frekuensi bangkitan kejang dengan memberikan efek antikonvulsif (antikejang), hingga menurunkan eksitabilitas (kemampuan merespons stimulus) sel-sel otak.
Di beberapa penelitian kejadian bebas kejang hingga 58% partisipan, dan penurunan frekuensi bangkitan kejang melebihi 50% pada 85% partisipan setelah 3 bulan.
Anak dengan epilepsi yang melakukan diet keto perlu pengawasan ketat dari dokter. Ahli gizi memonitor nutrisi anak dan mengajarkan orangtua mengenai pola makan ini.
Diet keto yang dilakukan jangka panjang berisiko pada kekurangan nutrisi, pembentukan batu ginjal, kolesterol tinggi, sembelit hingga terlambatnya pertumbuhan.
Bila kejang membaik, penderita epilepsi disarankan menghentikan diet keto, kembali pada pola makan normal.
Jangan ganti obat antiepilepsi sendiri
Sebagaimana sudah dijelaskan, terapi utama epilepsi adalah menggunakan obat antiepilepsi. Dr. Endang dalam webinar apoteker, berjudul Finding the Right Epilepsy Medication for The Patients, Senin (29/3/2021), mengatakan sangat penting bahwa obat antiepilepsi dikonsumsi persis seperti yang dianjurkan agar efektif.
“Bahkan perubahan yang sangat kecil dalam pengobatan, dosis atau peresepan bisa berefek buruk pada pengendalian kejang pasien,” katanya.
Obat antiepilepsi ada yang generik dan obat paten (bermerek). “Pada pasien epilepsi yang menjalani diet keto sebaiknya tidak dialihkan (diganti) ke generik,” ujar dr. Endang.
Riset yang melibatkan 1085 penderita dari November 2006 – Maret 2009 menyatakan perubahan dari obat paten ke generik meningkatkan frekuensi bangkitan pada 59% pasien, dan efek samping memberat di 49% responden.
Studi tersebut juga mencatat perubahan dari obat generik ke original menyebabkan bangkitan pada 15% pasien dan efek samping yang memberat di 18% partisipan. Perubahan dosis 5-10% dapat menyebabkan outcome (hasil) klinis yang berbeda, frekuensi kejang meningkat, dr. Endang menambahkan.
Rekomendasi untuk mengganti obat diberikan terutama pada pasien yang baru terdiagnosis epilepsi, atau akan diberikan obat antiepilepsi baru. Maka obat generik lebih diutamakan karena harga lebih murah.
Perubahan obat bermerek ke generik, atau perubahan dari generik ke generik lainnya bisa dimungkinkan bila ada keterbatasan persediaan obat. Dengan konsultasi dan konseling terlebih dulu. Sebaliknya, “Hindari perubahan obat antiepilepsi pada kelompok yang berisiko tinggi,” tegas dr. Endang. (jie)