Saat pandemi COVID-19 ini walau dianjurkan untuk bekerja dari rumah, tetapi sebagian orang tetap harus bekerja di kator seperti biasanya. Di satu sisi banyak terjadi pemutusan hubungan kerja, ini membuat karyawan yang ‘tersisa’ harus mengerjakan tugas-tugas yang sebelumnya dikerjakan orang lain. Kerja multitasking menjadi tuntutan bagi banyak pekerja. Ternyata penelitian terbaru menyatakan bekerja multitasking bisa memicu emosi negatif.
Dari menulis laporan sambil membalas email, merupakan pekerjaan yang biasa dilakukan orang kantoran secara bersamaan. Tetapi bila pekerjaan selalu terganggu bisa memicu reaksi emosi seperti kesedihan dan ketakutan, dan akhirnya suasana kerja yang tidak nyaman. Demikian kesimpulan dari riset yang dilakukan di University of Houston, Texas, AS.
Penelitian ini bertujuan untuk memahami kondisi emosional di lingkungan kerja (kantor). Tidak hanya orang akan merasakan stres akibat multitasking (mengerjakan beberapa tugas secara bersamaan), “Wajah mereka juga mengekspresikan emosi yang tidak enak, dan bisa memberikan suasana negatif ke seluruh lingkungan kantor,” terang penulis riset Ioannis Pavlidis, direktur dari Computational Physiology Laboratory di University of Houston.
Pavladis bersama Gloria Mark (dari University of California), Irvine dan Ricardo Gutierrez-Osuna (dari Texas A&M University) menggunakan algoritma tertentu untuk menganalisa emosi yang muncul di wajah pekerja yang diminta mengerjakan tugas esai.
Kelompok pertama menjawab satu rangkaian email sebelum mereka mulai menulis, sehingga akan membatasi jumlah gangguan. Sementara kelompok kedua secara konstan terganggu untuk menjawab email yang masuk sembari mengerjakan esai.
Hasil riset ini dibuplikasikan di pertemuan CHI Conference on Human Factors in Computing System 2020.
“Individu yang melakukan tugas multitasking secara signifikan terlihat lebih sedih, dibanding mereka yang tidak mulititasking. Yang menarik adalah rasa sedih cenderung bercampur dengan sedikit rasa takut,” kata Pavlidis.
Mengerjakan beberapa tugas secara bersamaan menyebabkan beban mental yang berat dan dikaitkan dengan stres yang meningkat, yang tampaknya memicu ekspresi kesedihan. “Rasa takut yang timbul secara perlahan kemungkinan besar berhubungan dengan antisipasi bawah sadar akan gangguan berikutnya,” katanya.
Biasanya multitasking tidak hanya dilakukan oleh satu orang, sehingga suasana negatif ini bisa bertahan sepanjang hari dalam satu lingkungan kantor. Para peneliti menekankan, ini merupakan fenomena yang terjadi di mana-mana dan terus-menerus. Sehingga inilah yang menjadikan suasana kantor menjadi seperti ‘iklim yang membahayakan’.
Dalam percobaan tersebut, ekspresi wajah kelompok pertama sebagian besar tetap netral, karena tugas utama mereka tidak terganggu. Tetapi tetap ada unsur marah selama menjawab email yang terpisah, mungkin berkaitan dengan jumlah pekerjaan yang diperlukan untuk memproses semua email dalam satu sesi.
Berita baiknya adalah emosi saat menjawab serangkaian email bersifat sementara (tidak bertahan lama). Sebagai solusi, peneliti menyarankan menjawab serangkaian email bisa dikerjakan di waktu yang berbeda, saat itu menjadi satu-satunya tugas. Dan mengakui tidak akan selalu bisa mengerjakan tugas multitasking.
Emosi negatif yang tampak – terutama dalam kator / ruangan yang disusun terbuka – bisa memiliki konsekuensi signifikan pada lingkungan kerja. “Penularan emosi dapat menyebar di antara pada pekerja secara sadar atau tidak sadar melalui kondisi emosi atau respons fisik,” terang peneliti.
Jika nanti kondisi kembali normal setelah krisis COVID-19, hasil penelitian ini menyarankan agar perusahaan memperhatikan praktik multitasking untuk menciptakan lingkungan kerja yang nyaman.
“Saat ini pertanyaan yang menarik adalah apa efek emosional dari multitasking di rumah, di mana pekerja memindahkan tugas mereka selama pandemi COVID-19,” kata Pavlidis. (jie)