Atasi Gangguan Kecemasan Tidak Cukup Dengan Liburan, Butuh Terapi Psikologis dan Antidepresan | OTC Digest

Atasi Gangguan Kecemasan Tidak Cukup Dengan Liburan, Butuh Terapi Psikologis dan Antidepresan

Merasa cemas biasa dan kerap kita alami, terutama bila menghadapi hal-hal yang penting, seperti saat hendak wawancara pekerjaan, persiapan ujian atau menjelang pernikahan. Tetapi cemas yang berlebihan bisa menyebabkan seseorang harus dirawat ke UGD dengan gejala jantung berdebar sangat kencang, migrain dan gejala maag.

Masalah psikis memang diketahui bisa menyebabkan gangguan fisik. Gangguan kecemasan (anxiety disorder) bisa disebabkan karena ketakutan melakukan kesalahan- yang sebenarnya adalah sesuatu yang wajar- atau akibat tekanan normatif dalam keluarga.

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan sekitar 16 juta orang atau 6% penduduk Indonesia mengalami gangguan mental emosional seperti cemas, depresi dan psikosomatik. Gangguan kecemasan didefinisikan sebagai sekelompok penyakit mental yang membuat orang menderita perasaan gugup dan khawatir yang berlebihan.

Ini bahkan sampai mengganggu kemampuan seseorang untuk menjalani hidup normal. Seseorang yang mengalami gangguan kecemasan membutuhkan tidak hanya sesi konseling dengan ahli, tetapi juga kadang disertai pemberian obat antidepresan.

Gangguan kecemasan memiliki spektrum yang luas, mulai dari panik, obsesif kompulsif (memiliki ketakutan terus-menerus yang menyebabkan mereka melakukan ritual atau rutinitas tertentu. Misalnya takut terhadap kuman sehingga seseorang terus-menerus mencuci tangannya), stres pascatrauma, gangguan kecemasan sosial (rasa khawatir/takut dinilai oleh orang lain), hingga fobia spesifik.  

Dr. Danardi Sosrosumihardjo, SpKJ(K), dari Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), menjelaskan kecemasan merupakan masalah yang berkaitan dengan timbulnya gejala-gejala sistem saraf otonom di dalam tubuh, baik fisik maupun psikologis.

Gejala fisik seperti jantung berdebar, diare, pusing, sakit kepala, keringat dingin, sesak napas atau mual. Sementara gejala psikologis ditunjukkan dengan perasaan khawatir, was-was, gugup atau ketakutan, mondar-mandir, gelisah dan bicara berulang.

“Sebenarnya, tiap manusia mempunyai karakter dan berbagai mekanisme pertahanan untuk menghadapi kecemasan yang dialami. Jika karakter yang dimiliki positif dan mekanisme pertahanan yang digunakan tepat, maka individu tersebut bisa mengendalikan gangguan dengan baik. Namun, bila terjadi kebalikannya, maka bisa menimbulkan kecemasan atau ketegangan yang terus-menerus,” tambah dr. Danardi.

Pada sebagian orang dengan menulis, berlibur ke gunung/pantai, atau hanya duduk ngopi di café adalah upaya meredakan kecemasan. Namun pada sebagian orang cara-cara tersebut tidak mempan sehingga membutuhkan bantuan.  Yakni menggunakan terapi  farmakologi (obat-obatan) dan psikoterapi.

Obat yang diberikan adalah golongan antidepresan yang harus melalui peresepan. Psikoterapi berupa konseling untuk memberi arah dan dukungan. CBT (cognitive behaviour theraphy) di mana penderita belajar untuk mengenali dan mengubah pola pikir yang menimbulkan rasa cemas. Masih ada hipnoterapi dan terapi relaksasi.

“Gangguan jiwa dari ringan sampai berat dapat disembuhkan. Tidak cukup hanya dengan terapi farmakologi saja, tapi juga psikoterapi,” tutup dr. Danardi. (jie)