Prof. Manuel Navarro dari the San Thome Medical College of the University of Manila, menggunakan singkong yang panjangnya 4 inci (10 cm), diameter 2-3 inci (5= 7,5 cm). Dibersihkan, potong-potong kecil kemudian diblender, ditambah 2 cangkir air campuran air dan singkong jadi semacam susu. Tuangkan di gelas, simpan di lemari es selama 2 jam. Endapannya yang berisi karbohidrat dibuang. Yang dimanfaatkan endapan cairan bagian atas. Minum setengahnya di pagi, setengahnya lagi sore hari. Di Indonesia, pemanfaatan singkong untuk terapi kanker dilakukan dr. Gunawan di RS Cisarua, Bogor, sekitar tahun 1970-an.
Vitamin B17 disebut juga amygdaline, terdapat pada biji buah apricot, plum, apel atau almond. Juga pada singkong. Jika “dipecah”, amygdaline terdiri dari glukosa, benzaldehida dan asam hidrosianik (hidrogen sianida). Zat terakhir ini menjadi sangat aktif saat bersinggungan dengan sel kanker.
Ketika vitamin B17 digabung dengan enzim sel normal, akan terurai menjadi 3 jenis gula. Tapi ketika gabung dengan enzim sel kanker, B17 terurai menjadi 1 gula, 1 benzaldehida dan 1 asam hidrosianik.
Prof. Monica Hughes dari Newcastle University yang meneliti hubungan ketela pohon dengan kanker selama 7 tahun, meng-clone gen ketela yang bertanggungjawab pada produksi asam hidrosianik. Tujuannya untuk mengurangi efek dari sianida, sehingga tidak meracuni manusia.
Ia bersama tim peneliti dari Madrid memodifikasi gen tersebut, dan membuatnya ke dalam bentuk retrovirus. Virus diinjeksikan selama satu minggu pada tikus percobaan yang dibuat menderita tumor otak. Didapati, tumor otak pada tikus percobaan ‘terhapus’ total.
Pada uji laboratorium, vitamin B17 bekerja berkesinambungan dengan vitamin A, C, E, dan B15, enzim pankreas dan enzim-enzim lain mengurai sel-sel kanker pada tubuh. (jie)