Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bila pandemi ini tidak akan hilang dalam waktu dekat, itu sebabnya setiap orang perlu beradapatasi dengan kondisi ini. Alih-alih menampik, tetapi membuatnya menjadi bagian dari kehidupan normal sehari-hari.
Beberapa hari lalu Presiden Joko Widodo mengatakan masyarakat harus bisa berkompromi, hidup berdampingan, dan berdamai dengan COVID-19 agar tetap produktif. Alasannya, meski WHO menyatakan meski kurva kasus positif COVID-19 menurun, virus corona tidak akan hilang.
Dalam video resmi yang diunggah akun YouTube Sekretariat Presiden, Jokowi menjelaskan hidup berdampingan dengan corona bukan berarti menyerah. “Tapi menyesuaikan diri. Kita lawan keberadaan virus corona tersebut dengan mengedepankan dan mewajibkan protokol kesehatan yang ketat, yang harus kita laksanakan,” imbuhnya.
Sebagaimana diketahui upaya pemerintah menghambat transmisi virus corona adalah dengan menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Dari sisi psikologis, PSBB berdampak pada kesehatan mental seseorang.
Setiap orang akan berada dalam tahap mental yang berbeda-beda, bergantung pada ketahanannya terhadap stres, latar belakang kesehatan mental, dampak disrupsi pandemi COVID-19 terhadap sosial ekonomi dan sistem penunjang yang tersedia.
Menurut dr. Leonardi Goenawan, SpKJ, dari RS Pondok Indah – Puri Indah, Jakarta, umumnya seseorang mengalami tiga tahap/strata kondisi perilaku, yaitu tahap disrupsi, tahap kebingungan dan ketidakpastian, yang berujung pada tahap penerimaan.
Tahap disrupsi
Seseorang akan mengalami perubahan pola hidup, perubahan rutinitas sehari-hari, hilangnya kebebasan karena harus hidup dalam karantina atau di rumah saja dan tidak bepergian.
“Berbagai informasi yang beredar membuat hidup semakin mencekam. Tidak sedikit yang mengalami kecemasan tinggi karena khawatir tertular, sulit konsentrasi, yang kemudian diikuti oleh perubahan pola makan dan pola tidur,” kata dr. Leo.
Penyakit kronis yang sudah lama dialami mulai kembali tidak stabil, termasuk gangguan-gangguan psikis yang sebelumnya pernah dialami.
Tahap kebingungan dan ketidakpastian
Pada tahap ini seseorang akan merasa kelelahan secara mental karena merasa tidak adanya kepastian, kehilangan kendali, dan terhentinya sumber penghasilan.
Kualitas hidup dengan sendirinya menurun, berbagai hal yang biasa dengan mudah terpenuhi, saat ini menjadi mustahil. Semua rencana yang sebelumnya terasa sangat mudah dan bisa digapai dalam waktu yang terukur, kini hanya menjadi angan-angan belaka.
Kehidupan berjalan lambat, penuh kejenuhan dan kekhawatiran. “Situasi kecemasan ini dapat meningkatkan konsumsi rokok, alkohol, dan penyalahgunaan obat yang mungkin pada awalnya dimaksudkan untuk meringankan beban pikiran,” ujar dr. Leo.
Tahap penerimaan (dengan standar normal yang baru)
Pada saat seseorang telah berhasil melampaui tahap sebelumnya, maka akhirnya timbul sikap penerimaan tanpa syarat terhadap kondisi yang ada, dengan diikuti oleh berbagai perubahan dalam pola hidup dan kebiasaan.
Kemampuan adaptasi seseorang membuatnya mampu untuk mengembangkan kebiasaan-kebiasaan baru dan memandang kehidupan dengan cara yang lebih realistis terhadap situasi yang sebelumnya dianggap sebagai disrupsi pada semua aspek kehidupannya.
Keadaan normal baru (the new normal)
Setelah melewati tahap penerimaan dalam menghadapi pandemi, maka Anda mulai terbiasa dengan kondisi ‘the new normal’. “Pada tahap ini diharapkan seseorang tidak lagi merasa terganggu, bahkan sudah mulai nyaman dengan semua perubahan yang berhubungan dengan adanya pandemi,” ujar dr. Leo.
Berikut ini beberapa hal utama agar Anda dapat tenang menerima keadaan sebagai the new normal:
- Menjaga kesehatan fisik dan mental seoptimal mungkin.
- Sikap menerima tanpa syarat dan realistis.
- Memelihara optimisme dan menyadari sepenuhnya bahwa hidup itu dinamis.
- Jangan pernah berhenti untuk belajar sesuatu yang baru.
- Melihat ke belakang hanya sebagai referensi dan belajar dari kesalahan di masa lalu.
- Fokus pada progres bukan pada kesempurnaan.
- Langkah kecil selalu lebih baik dari tidak melangkah.
Kesehatan jiwa di masa pandemi COVID-19 perlu perhatikan. Apabila tidak, dapat berdampak pada memburuknya relasi dengan sesama dan kesehatan fisik Anda. Apabila Anda memerlukan pertolongan dari tenaga profesional untuk menjalani masa pandemi ini, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis kedokteran jiwa atau psikolog. (jie)