Hanya 8,4% guru yang mengetahui soal pilar pedoman gizi seimbang (PGS). Setidaknya, inilah yang tampak dalam survei sebelum pelatihan (pra tes) pada TOT (training of trainers) untuk guru yang diselenggarakan oleh Frisian Flag Indonesia (FFI) bersama Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Universitas Indonesia dalam Gerakan Nusantara 2017. “Yang masih muncul adalah 4 sehat 5 sempurna. Gizi seimbang ternyata belum tersosialisasi dengan baik," ujar Ahmad Syafiq, Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan FKM UI dalam konferensi pers hasil survei Gerakan Nusantara di Jakarta, Kamis (01/02/2018).
Program Gerakan Nusantara sudah dilaksanakan sejak 2013. Awalnya hanya menyasar siswa SD. Pada 2017, program ini diperluas untuk menjangkau para guru. “Keterlibatan guru dalam edukasi gizi kepada anak-anak memberikan hasil positif,” tegas Ahmad. Guru yang dilatih tidak hanya mengedukasi anak-anak, tapi juga akan melatih rekan sesama guru. Juga dilakukan seminar gizi untuk orangtua. “Keterlibatan guru-orang tua-siswa dan menciptakan sebuah ekosistem belajar yang lebih kondusif dan berkelanjutan,” imbuhnya.
Program Gerakan Nusantara 2017 dilangsungkan di 24 kota dan delapan provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Riau, Sumatera Barat dan Jambi). Sebanyak 520 siswa SD dan 2.134 guru berhasil dijangkau. Para guru berasal dari 740 SD di delapan provinsi. “Tiap SD yang diundang diwakili oleh tiga orang guru, yang seorang di antaranya adalah kepala sekolah,” terang Sandra Fikawati, Wakil Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan FKM UI.
Edukasi pada guru antara lain juga mencakup kebutuhan air dalam sehari; anjuran asupan buah, sayur, lauk dan makanan pokok; fungsi masing-masing zat gizi; anjuran aktivitas fisik dan minum susu; hingga menghitung IMT (indeks massa tubuh) anak lelaki maupun perempuan.
Sebelum pelatihan TOT, dilakukan pra tes untuk menilai pengetahuan guru soal gizi dan kesehatan. Selanjutnya setelah pelatihan, dilakukan pasca tes. “Setelah edukasi gizi, terjadi peningkatan pengetahuan gizi yang signifikan di semua wilayah. Rerata peningkatannya 23,3 poin,” ujar Fika. Pada pra tes, rerata pengetahuan guru 67,4, dan naik jadi 90,7 pada pasca tes. Secara spesifik mengenai pilar PGS, angkanya naik drastis, menjadi 74,9%.
Adapun pengetahuan soal kebutuhan air dalam sehari, naik dari 26,5% jadi 89,9%. Kenaikan yang cukup tinggi juga terlihat pada pengetahuan soal fungsi lemak: dari 75,5% jadi 93,1%. Dan, kita boleh berbangga kepada para guru karena pengetahuan mereka untuk menghitung IMT anak naik drastis (36,8% menjadi 91,3% untuk IMT anak perempuan, dan 40,4% menjadi 88,7%). Tentunya ini memberi harapan bagi kita bahwa para guru pun bisa ikut memantau tumbuh kembang anak di sekolah.
Fika menyayangkan, di Indonesia memang tidak ada kurikulum gizi untuk SD. “Kemungkinan, inilah yang menyebabkan pengetahuan soal gizi pada guru dan siswa masih rendah,” ungkapnya. Antusiasme guru saat menjalani pelatihan dan meningkatnya pengetahuan mereka setelah pelatihan, menunjukkan bahwa guru menginginkan informasi yang tepat mengenai gizi, tapi sayangnya selama ini belum tersedia.
Pada murid, juga dilakukan tes sebelum dan setelah edukasi. Pengetahuan murid soal isi pesan PGS+ meningkat dari 39,3% menjadi 77,6%. Secara umum, skor untuk pengetahuan, sikap, dan perilaku anak mengenai gizi pun masing-masing naik secara signifikan.
Anak usia sekolah dasar tengah dalam fase perkembangan kecerdasan, motorik, dan psikososial, sangat mudah untuk menerima, menyerap, dan mengaplikasikan materi pendidikan. “Pendidikan gizi kepada anak merupakan langkah pelaksanaan pendidikan gizi yang efektif tidak hanya untuk anak namun juga untuk orangtua atau keluarga di rumah,” tutur Ahmad.
Namun, pengetahuan saja tidaklah cukup. Perilaku pola hidup sehat perlu diperkuat oleh sarana dan lingkungan, termasuk pengaturan pedagang jajanan di sekitar sekolah dan ketersediaan sarana olahraga di lingkungan sekolah. Peran orangtua pun sangat penting untuk memfasilitasi anak agar bisa menerapkan perilaku gizi yang baik. “Ini perlu diintegrasikan dalam program edukasi gizi anak sekolah. Dengan demikian, ekosistem gizi bagi anak sekolah dapat ditingkatkan kualitasnya,” tandas Ahmad. (nid)