Pendekatan Radikal Kedokteran Gunakan Aliran Listrik sebagai Obat | OTC Digest
pengobatan_dengan_listrik

Pendekatan Radikal Kedokteran Gunakan Aliran Listrik sebagai Obat

Benjamin W Metcalfe, University of Bath

Ketika satu-satunya alat Anda adalah palu, setiap masalah tampak seperti paku. Pepatah ini sangat tepat dalam dunia kedokteran di mana dokter mengobati hampir semua penyakit, mulai dari depresi hingga penyakit darah tinggi dengan pil. Jika dokter Anda memberi resep obat selain pil (dengan asumsi bahwa Anda tidak perlu operasi), Anda mungkin berpikir mereka adalah dukun. Namun, cara pandang seperti ini akan berubah. Dunia pengobatan semakin radikal, dan salah satu pendekatan baru yang radikal untuk mengobati penyakit adalah dengan menggunakan aliran listrik.

Mengapa listrik? Nah, semua yang kita lakukan, mulai dari berjalan hingga bermimpi, dikendalikan atau diatur oleh sinyal-sinyal listrik. Sinyal-sinyal ini berjalan melalui sistem saraf dan mereka menyampaikan informasi dan membantu kita membuat keputusan yang rumit. Pusat aktivitas listrik ada di otak, dan dari sana saraf bercabang ke seluruh bagian tubuh.

Sinyal-sinyal listrik begitu penting. Cedera pada satu bagian sistem saraf mana pun bisa menyebabkan kelumpuhan permanen. Kecelakaan yang umum terjadi pada sistem saraf melibatkan cedera pada sumsum tulang belakang. Di seluruh dunia, cedera tulang belakang dialami sekitar 2,5 juta orang dengan sekitar 130.000 kasus baru setiap tahun.

Jika kita dapat menemukan suatu cara untuk membaca dan menulis sinyal listrik, atau dengan kata lain memahami bahasa sistem saraf, kita akan dapat membuat penghubung digital dengan tubuh. Sebuah alat yang ditanam akan dapat menjembatani celah yang diakibatkan oleh cedera tulang belakang.

Bukan hanya orang dengan cedera tulang belakang yang akan mendapat manfaat dari teknologi semacam ini. Kita bisa memberi instruksi pada pankreas untuk memproduksi lebih banyak insulin, atau kita dapat meningkatkan atau menurunkan denyut jantung tanpa perlu menggunakan pil. Intinya, kita bisa mengendalikan tubuh.

Katak-katak yang menari

Luigi Galvani adalah salah satu ilmuwan pertama yang menyadari bahwa listrik memiliki peran dalam aktivitas kita sehari-hari. Ia menemukan pada 1791 ketika ia melakukan eksperimen pada katak, dia membuat kaki mereka berkedut karena aliran listrik. Satu abad kemudian, ide alat pacu jantung buatan mulai diperdebatkan.

Galvani membuat kaki katak bergerak dengan aliran listrik. Luigi Galvani/Wikimedia Commons

Saat ini bioelectronic adalah bidang penelitian yang sangat aktif, namun dua abad sejak Galvani membuat katak menari pertama kali, hanya ada beberapa perangkat yang diciptakan untuk sistem saraf dan tersedia secara komersial. Yang paling umum adalah alat pacu jantung. Perangkat ini pertama kali ditanamkan pada 1958. Pasien yang memasang alat pacu jantung tersebut hidup lebih lama dari ahli bedah dan insinyur yang menciptakannya.

Target selanjutnya untuk perangkat yang baru adalah saraf vagus. Saraf ini, yang mengalir di kedua sisi leher Anda, terhubung ke banyak organ, dan perangkat yang merangsangnya mungkin dapat mengobati penyakit mulai dari radang sendi sampai kecanduan alkohol.


Baca juga: Di balik gagalnya target cakupan imunisasi MR di Indonesia


Salah satu contoh kisah sukses datang dari alat yang digunakan untuk mengobati epilepsi yang resistan terhadap obat. Perangkat yang dibuat oleh LivaNova ini telah digunakan oleh lebih dari 100.000 orang. Alat ini membantu mencegah aktivitas listrik abnormal yang menyebabkan kejang di otak dengan memberikan aliran listrik dalam ukuran kecil secara berkala 24 jam sehari, setiap hari. Aliran listrik ini menjalar ke saraf vagus dan masuk ke otak.

Lebih dari 40% pasien yang menggunakan perangkat ini berkurang jumlah kejangnya hingga setengahnya. Namun, aliran listrik yang konstan tersebut dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan seperti rasa sakit, sakit kepala, dan sesak napas.

Penemuan-penemuan baru terus dilakukan

Meski merangsang saraf vagus dengan listrik jelas menguntungkan, namun pendekatan tersebut masih kasar. Merangsang saraf dengan cara seperti itu ibarat meneriakkan instruksi daripada mencoba berdialog. Sebenarnya pendekatan ini akan jauh lebih kuat jika kita bisa merekam pesan-pesan yang dikirim melalui saraf. Pesan-pesan ini dapat memperingatkan kita akan adanya serangan kejang epilepsi, misalnya, dan dapat menyalakan stimulasi yang diperlukan saat itu juga.

Namun, merekam sinyal pada saraf tidaklah mudah. Saraf vagus mengandung puluhan ribu neuron dan setiap sinyal listrik sangat lemah dan sulit dideteksi. Ditambah dengan kenyataan bahwa gangguan sinyal dari otot seringkali 100 kali lebih kuat daripada sinyal di dalam saraf.

Untuk mendeteksi kejang yang akan terjadi, misalnya, perangkat yang ditanamkan harus dapat merekam dan mengidentifikasi satu sinyal kecil dari sinyal kecil lainnya pada saat yang bersamaan. Ini seperti berada di konser musik rock, dan mencoba mendengarkan percakapan di sisi lain stadion.

Terlepas dari tantangan-tantangan ini, kerja yang berkelanjutan dari para ilmuwan, dokter, dan insinyur mulai mewujudkan mimpi tentang obat bioelectronic menjadi kenyataan. Kemajuan teknologi elektroda, sinyal, dan desain implan telah memainkan peran kunci. Rekaman-rekaman baru dari saraf vagus telah memberikan informasi tentang pernafasan yang mungkin penting untuk mendesain perangkat untuk mengobati gangguan pernapasan .

Lebih dari dua abad setelah Luigi Galvani membuat katak menari, kemungkinan akan adanya teknologi antarmuka dalam sistem saraf mendekati kenyataan. Dan saraf vagus bukan satu-satunya target. Penelitian di Inggris berusaha mengembalikan fungsi kendali kandung kemih kepada pasien yang mengalami cedera sumsum tulang belakang dengan merekam sinyal dari saraf sakral, dan di seluruh dunia ada upaya untuk menciptakan kaki palsu yang dikendalikan langsung oleh pikiran pasien.

Listrik mungkin tidak menggantikan obat-obatan konvensional, tetapi dalam waktu dekat, listrik pasti akan melengkapi pengobatan konvensional.


Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh Gracesillya Febriyani

The Conversation

Benjamin W Metcalfe, Assistant Professor of Engineering, University of Bath

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

_________________________________

Ilustrasi: Designed by Javi_indy