Kandungan BPA pada Galon Tidak Membahayakan, Rencana Pelabelan BPA perlu Dikaji LAgi
kandungan_BPA_pada_galon

Kandungan BPA pada Galon Tidak Membahayakan, Rencana Pelabelan BPA perlu Dikaji Lagi

Laporan UNICEF mengungkapkan, hampir 70% dari 20.000 sumber air minum rumah tangga yang diuji di Indonesia tercemar limbah feses, dan menyebabkan penyebaran penyakit diare yang merupakan penyebab utama kematian balita. Ini sejalan dengan temuan Kementerian Kesehatan Indonesia melalui Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) 2020 yang menyatakan bahwa 7 dari 10 rumah tangga Indonesia mengonsumsi air yang terkontaminasi bakteri E. coli.

Tak ayal, air minum isi ulang pun menjadi pilihan bagi sebagian masyarakat untuk mendapatkan air minum yang higienis. Namun belakangan, muncul polemik terkait kandungan BPA pada galon guna ulang. Rencana pelabelan BPA pada galon guna ulang, membuat masyarakat makin khawatir mengenai keamanan galon guna ulang.

Betulkah kandungan BPA pada galon guna ulang sedemikian berbahaya hingga harus dihindari, dan galon guna ulang diberi label “mengandung BPA”? “Regulasi harus berdasarkan fakta-fakta ilmiah. Kita juga harus menyampaikan informasi secara ilmiah, agar masyarakat tidak bingung dan gelisah,” ujar Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D, dosen sekaligus pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Ngobras, Kamis (17/11/2022) di Jakarta.

Hal ini diamini oleh Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, dosen sekaligus Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (IPB). Menurutnya, harus diteliti dulu apakah kandungan BPA pada galon guna ulang sudah dalam level berbahaya, melalui penelitian yang metode dan hasilnya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. “Rasanya masih terlalu dini untuk memberlakukan pelabelan BPA. Belum ada data untuk mendukung hal tersebut,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Fakta Kandungan BPA pada Galon

Galon guna ulang terbuat dari polimer plastik jenis polikarbonat. Nah, BPA (bisphenol-A) adalah monomer yang merupakan bahan baku polikarbonat. BPA juga terkandung dalam resin epoksi. “Jadi BPA itu bahan baku tersisa yang belum bereaksi,” terang Zainal. Namun tak perlu langsung panik, karena jumlahnya sangat kecil.

“Pada plastik yang food grade, biasanya ada perlakuan sebelum digunakan. Yaitu dibilas dengan steam sehingga monomer yang tersisa akan keluar dan menguap, atau larut dalam steam tadi. Jadi sedari awal sudah dikurangi kandungan BPA-nya,” jelas Ir. Zainal.

Diskusi BPA / Foto: dok. Forum Ngobras

Bisa dibilang, konsentrasi BPA pada galon guna ulang sangatlah kecil. Di Indonesia, kandungan BPA yang beredar hanyalah 1/00 dari yang dibatasi BPOM dengan aturan lama. Di samping itu, “BPA akan dikeluarkan dari tubuh melalui feses dan lain-lain sehingga tidak terakumulasi dalam tubuh.”

Hal lain yang perlu diperhatikan, BPA pada galon tidak mudah larut/bermigrasi ke air. “Pada galon, BPA terperangkap dalam plastik. Untuk larut ke air air, harus menempuh perjalanan, dan ini butuh waktu,” papar Zainal. Memang, migrasi BPa ke air bisa lebih cepat bila galon terpapar suhu tinggi (panas). “Tapi secepat-cepatnya, masih perlu waktu. Dan pada temperatur tertinggi pun masih aman. Apalagi galon kan cepat habis, jadi paparan galon ke air singkat,” imbuhnya.

Pelabelan BPA bisa Timbulkan Persepsi Keliru

Pelabelan BPA pada galon guna ulang bisa menimbulkan mispersepsi di masyarakat. Bisa timbul anggapan bahwa galon guna ulang kurang baik karena mengandung BPA. Padahal seperti telah dijelaskan, faktanya tidak demikian. BPA hanyalah bahan baku tersisa yang belum bereaksi, dan jumlahnya sangat kecil pada galon. Apalagi BPA tidak terakumulasi dalam tubuh, dan paparan antara galon dengan air sangat singkat karena air begitu cepat habis. Alhasil, kemungkinan BPA pada galon yang bermigrasi ke air amat minim.

Sebaliknya, memberi label “BPA-free” pada kemasan air PET juga bisa menimbulkan mispersepsi bahwa kemasan tersebut tidak mengandung BPA sehingga lebih aman. “Ini keliru, karena memang bahan bakunya bukan BPA. Jadi yang ditulis harusnya etilen glikol, karena bahan baku PET itu etilen glikol,” terang Zainal.

Prof. Sulaeman menyampaikan hal senada. “Ini sama seperti klaim minyak goreng non kolesterol. Nonsense karena memang minyak goreng pasti tidak mengandung kolesterol. PET pasti tidak mengandung BPA karena bahan bakunya berbeda,” ucapnya.

Rencana pelabelan BPA pada galon guna ulang seakan mendorong penggunaan galon sekali pakai. Dari sudut pandang lingkungan, hal ini juga tidak rasional. Terlebih, regulasi pemerintah gencar melarang/mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.

BPA Tak Hanya di Galon

BPA tidak hanya terdapat pada galon guna ulang, melainkan semua barang yang terbuat dari polikarbonat dan epoksi. Ini termasuk juga plastik pada kemasan frozen food, maupun bagian dalam makanan kaleng yang dilapisi epoksi untuk mencegah terbentuknya karat pada kaleng.

Menurut berbagai penelitian, justru kandungan BPA lebih banyak ditemukan pada makanan kaleng. “Hanya sedikit dari kemasan air minum. Jadi kalau mau ada pelabelan BPA, harusnya diterapkan pada kemasan makanan dulu,” sambung Prof. Sulaeman.

Mengenai penelitian soal kandungan BPA pada galon, Zainal mengemukakan pendapat yang senada. Ia menyebut bahwa berdasarkan hasil penelitian, kandungan BPA pada kemasan kaleng jauh lebih besar daripada yang ditemukan di galon. “Waktu kontak antara BPA dengan makanan kaleng cukup lama hingga akhirnya makanan dikonsumsi oleh konsumen. Menurut saya kalau kita concern soal BPA, harusnya pelabelan dilakukan pada makanan kaleng dulu karena waktu kontaknya lebih lama, dan telah didukung oleh penelitian ilmiah,” pungkasnya. (nid)