Beberapa waktu lalu, penyanyi asal Canada, Justin Bieber, melalui akun Istagramnya mengungkapkan bila ia menderita penyakit Lyme. Penelitian menyatakan penderita penyakit Lyme cenderung mengalami depresi, kenapa?
Justin Bieber (25 tahun) mengatakan -dalam komentar di akun Instagramnya- bila akibat penyakit Lyme ini, ia mengalami infeksi mononucleosis yang serius, di mana mempengaruhi fungsi otak, energi dan kesehatannya secara keseluruhan.
Dilaporkan bila kondisi Bieber ini juga membuatnya depresi serta gejala lainnya, di mana penyakit itu tidak terdiagnosis pada tahun-tahun lalu.
Baca : Mengenal Penyakit Lyme Yang Menjangkiti Justin Bieber
Tanpa pengobatan yang benar, bakteri penyebab penyakit Lyme bisa bermigrasi dari area tempatnya menggigit ke tempat lain, khususnya di sistem saraf, jantung dan sendi.
Sebuah penelitian menyatakan penderita penyakit Lyme yang sudah melakukan pengobatan standar (menggunakan antibiotik), sekitar 10-20%-nya masih mengalami gejala sisa; disebut post-treatment Lyme disease syndrome (PTLDS).
Keluhan-keluhan seperti kelelahan, depresi, kegelisahan dan otak seperti ‘berkabut’ tidak asing bagi penderita Lyme. Tetapi sebuah studi menyatakan 8-45% penderita PTLDS mengalami depresi.
Depresi pada penderita Lyme
Menurut Dr John Aucott, Direktur the Johns Hopkins Lyme Disease Research Center, AS, depresi pada penderita Lyme biasanya bersifat ringan sampai sedang. Depresi berat jarang terjadi.
Riset Dr Aucott dan timnya tahun 2017 menemukan penderita PTLDS memiliki kadar depresi (termasuk kelelahan, nyeri dan kualitas tidur buruk) yang lebih tinggi dibanding orang normal.
Walau depresi berat jarang terjadi pada penderita PTLDS, mereka dengan depresi ringan dan sedang juga tetap bisa memiliki pikiran untuk bunuh diri.
Diakui oleh peneliti sulit untuk membedakan depresi yang disebabkan oleh penyakit Lyme atau depresi pada umumnya. Namun, satu penelitian menemukan penderita penyakit Lyme lebih sulit untuk mengerjakan tugas yang berhubungan dengan memori.
Dan masalah memori tersebut dapat terjadi bersamaan dengan kesulitan bahasa dan pemusatan perhatian.
Hubungan antara inflamasi dan depresi
Diketahui infeksi bakteri B.burgdorferi (penyebab penyakit Lyme) menyebabkan reaksi inflamasi (peradangan). Peneliti mencari hubungan bagaimana inflamasi tersebut bisa menyebabkan kelelahan dan otak yang ‘berkabut’.
Dr Aucott dan timnya men-scan otak 12 penderita PTLDS. Mereka menemukan kadar protein - disebut translocator protein (TSPO) - yang tinggi di 8 lokasi otak penderita PTLDS, dibanding orang normal. Protein tersebut menandakan adanya inflamasi di otak.
Walau masih diperlukan studi skala besar, hasil riset ini melengkapi riset lain tentang hubungan antara inflamasi kronis dengan depresi.
Butuh waktu lama untuk terdiagnosis
Kerap kali seseorang tidak sadar bila tergigit kutu pembawa bakteri B.burgdorferi, terutama bila tidak muncul gejala khas penyakit Lyme. Ini yang membuat dibutuhkan waktu lama sampai akhirnya diagonosis Lyme bisa ditegakkan.
Atau membutuhkan waktu beberapa tahun antara gigitan kutu dan munculnya gejala kelelahan atau ‘kabut’ otak. Dan bila kondisi itu muncul, dokter sangat mungkin mengira kondisi lain, seperti depresi atau kecemasan biasa.
Hingga saat ini belum ada tes spesifik yang bisa mendeteksi keberadaan B.burgdorferi di darah. Sebagai gantinya, dokter akan menggunakan tes antibodi yang mengukur respons sistem imun terhadap bakteri ini.
Jadi penderita penyakit Lyme bisa memiliki hasil tes yang negatif selama satu bulan pertama setelah infeksi, sebelum sistem imun mengembangkan antibodi yang terdeteksi. (jie)