Awak media adalah garda terdepan dalam menyampaikan informasi. Tak jarang mereka bekerja di bawah tekanan tinggi, lingkungan ekstrem, dan situasi yang tidak menentu. Namun sayangnya, isu kesehatan fisik dan mental mereka seringkali terabaikan, baik oleh individu itu sendiri maupun oleh ekosistem kerja.
Menyadari urgensi ini, Asia OneHealthcare berinisiatif menyelenggarakan media luncheon bertajuk "One Wave - Media Sharing: Special for Press Workers", Rabu (21/5/2025). Acara ini menjadi wadah diskusi terbuka yang mempertemukan jurnalis dengan tenaga medis dari jaringan rumah sakit Asia OneHealthcare, termasuk RS Columbia Asia dan RS Premier. Fokus diskusinya jelas: meningkatkan kesadaran akan risiko kesehatan yang selama ini luput dari perhatian para pewarta.
Diskusi Media bersama Asia OneHealthCare / Foto: Nitch Social Communication Agency
Ancaman Tersembunyi: Kesehatan Mental Pekerja Media
Awak media tak anya bergelut dengan deadline dan investigasi lapangan; disadari atau tidak, ada pula tekanan mental. "Profesi jurnalis sangat rawan terhadap kelelahan mental yang tidak terlihat. Banyak dari mereka mengalami gejala burnout, gangguan tidur, atau kecemasan berlebihan, tetapi merasa tidak punya waktu atau ruang untuk memprosesnya," ungkap Feka Angge Pramita, M.Psi, Psikolog dari RSKB Columbia Asia Pulomas.
Kondisi kerja yang serba cepat, tuntutan deadline, paparan terhadap berita-berita traumatis, dan minimnya waktu istirahat yang berkualitas, semuanya berkontribusi pada risiko kesehatan mental yang signifikan. “Pekerja media sering merasa dituntut untuk selalu kuat dan objektif, sehingga enggan atau merasa malu untuk mencari bantuan psikologis,” uajr Feka.
Ia melanjutkan, hal tersebut menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan ekosistem pendukung yang memungkinkan jurnalis mendapat akses psikologis tanpa stigma. “Dukungan ini bisa berupa konseling, program manajemen stres, atau sekadar ruang aman untuk berbagi tanpa penghakiman,” imbuh Feka.
Pentingnya Deteksi Dini untuk Menilai Kondisi Fisik
Dr. dr. Yanto Sandy Tjang, Sp.BTKV, MPH, M.Sc, D.Sc, Ph.D, FICS, Dokter Spesialis Bedah Toraks dan Kardiovaskuler dari RS Premier Jatinegara, menjelaskan bahwa banyak jurnalis menghadapi kondisi kronis seperti hipertensi, gangguan pencernaan, dan risiko penyakit jantung. "Pola makan tidak teratur, tingkat stres tinggi, dan kurang istirahat adalah kombinasi mematikan," tegasnya.
Jadwal kerja yang tidak menentu seringkali memaksa mereka mengonsumsi makanan cepat saji, melewatkan jam makan, dan kurang tidur. Ditambah lagi dengan tingkat stres pekerjaan yang tinggi, ini menjadi “resep sempurna” untuk berbagai masalah kesehatan serius di kemudian hari.
Kondisi-kondisi di atas, ditambah kebiasaan merokok, jadi faktor risiko munculnya penyakit jantung coroner (PJK). “Dari sekian banyak faktor risiko, ada tiga yang paling penting, yaitu: merokok, kolesterol tinggi, dan hipertensi. Kalau punya tiga ini, risiko penyakit jantung naik hingga 16 kali lipat,” papar Dr. dr. Yanto.
Gawatnya lagi, gejala penyakit jantung kadang terabaikan. Gejala-gejala seperti nyeri dada, dada terasa seperti tertekan, atau nyeri ulu hati, kerap dianggap sebagai keluhan biasa karena kecapekan atau masalah lambung. “Harus benar-benar dicek kondisi jantungnya bagaimana. Deteksi dini melalui medical check-up dan pemantauan kesehatan berkala bisa mencegah terjadinya komplikasi serius," imbuh Dr. dr. Yanto.
Ia menegaskan, “Jangan tunggu sampai sakit baru berobat!” Menurutnya, paradigma yang telah berkembang di masyarakat ini adalah tantangan besar yang harus diluruskan.
Inisiatif Asia OneHealthcare tidak berhenti pada diskusi. Sebagai langkah nyata, mereka menyelenggarakan medical check-up gratis bagi seluruh awak media yang hadir dalam acara tersebut. Ini adalah upaya konkret agar para jurnalis dapat segera mengenali kondisi kesehatan masing-masing, mendeteksi gejala awal penyakit, dan mengambil tindakan preventif sebelum kondisi berkembang menjadi lebih serius.
Asia OneHealthcare juga menegaskan komitmennya sebagai mitra media dalam penyediaan informasi medis yang kredibel dan akurat. "Kami ingin menjadi jembatan antara dunia medis dan dunia jurnalistik," tegas dr. Yustinus Henry Yogatama, MM, CEO RS Premier Jatinegara.
Ia menekankan bahwa rumah sakit harus responsif, terbuka, dan mampu menyampaikan informasi yang bisa dipahami publik tanpa kehilangan akurasi. “Kami berharap para pekerja media tidak hanya menjadi penyampai berita kesehatan, tetapi juga menjadi contoh dalam memprioritaskan kesehatan diri sendiri, demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang lebih sehat dan sadar akan pentingnya pencegahan dengan melakukan deteksi dini penyakit,” pungkas dr. Yustinus. (nid)
_____________________________________________________
Ilustrasi: Image by freepik