Wabah COVID-19 menyebar ke lebih dari 150 negara, memaksa WHO untuk menetapkannya sebagai pandemik global. Di ranah media sosial terdapat perdebatan bila virus baru ini adalah rekayasa genetik yang sengaja diciptakan. Well, penelitian terbaru membuktikan bila COVID-19 bukan dibuat di lab.
Analisa data sekuens genom dari virus SARS-CoV-2 (COVID-19) tidak menemukan bukti bila virus ini dibuat di laboratorium atau proses hasil rekayasa. Demikian kesimpulan dari riset yang diterbitkan di jurnal Nature Medicine, 17 Maret 2020 lalu.
“Dengan membandingkan data urutan genom yang tersedia untuk strain virus corona yang diketahui, kami yakin bila SARS-CoV-2 berasal dari proses alami,” papar salah satu peneliti Kristian Andersen, PhD, profesor imunologi dan mikrobiologi di Scripps Research, dilansir dari sciencedaily.
Virus corona merupakan keluarga besar virus yang bisa menyebabkan infeksi saluran napas ringan sampai berat. Penyakit berat yang pertama diketahui terjadi pada tahun 2003 di China, dikenal sebagai SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome). Wabah kedua terjadi di Arab Saudi tahun 2012 dengan MERS (Middle East Respiratory Syndrome).
Pada 31 Desember 2019, pemerintah Tiongkok memberitahu WHO tentang adanya virus corona jenis baru yang bisa menimbulkan infeksi saluran napas parah. Dalam perkembangannya, virus baru ini diberi nama SARS-CoV-2, dikenal juga sebagai COVID-19.
Tak lama setelah epidemi di Wuhan terjadi, ilmuwan China mem-publish urutan genom COVID-19 agar bisa dipakai oleh ilmuwan lain di seluruh dunia. Data sekuens genomik tersebut menunjukkan virus ini bisa menular antarmanusia dengan cepat.
Prof. Andersen dan tim – di beberapa lembaga penelitian – menggunakan data sekuensing tersebut untuk mengetahui asal-usul dan mutasi SARS-CoV-2. Mereka fokus pada beberapa fitur khas virus tersebut.
Peneliti menganalisa template genetik protein virus yang berbentuk seperti paku, organ di bagian luar virus yang digunakan untuk menggait dan menembus dinding sel manusia / hewan.
Lebih khusus mereka fokus pada dua fitur penting dari protein paku tersebut, yakni receptor-binding domain (RBD), sejenis pengait yang menggenggam sel host, dan molekul pembuka yang memungkinkan virus untuk memecah dan menembus dinding sel.
Bukti dari proses mutasi alamiah
Ilmuwan menemukan bahwa bagian RBD dari protein paku SARS-CoV-2 telah berevolusi sehingga bisa menarget bagian molekuler sel manusia yang disebut ACE2 (Angiotensin-converting enzyme 2), sebuah reseptor yang terlibat dalam pengaturan tekanan darah.
Protein COVID-19 sangat efektif mengikat sel-sel manusia, sehingga para ilmuwan menyimpulkan itu adalah hasil seleksi alam, bukan produk rekayasa genetika.
Bukti evolusi alami ini didukung oleh data tentang struktur molekul kesuruhan yang menjadi ‘tulang punggung’ SARS-CoV-2. Jika seseorang berusaha merekayasa virus corona sebagai patogen, mereka akan membuatnya dari molekul-molekul tersebut yang diketahui bisa menyebabkan penyakit.
Tetapi para ilmuwan menemukan bahwa molekul tulang punggung SARS-CoV-2 berbeda secara substansial dengan yang ada pada virus corona lain yang sudah dikenal, dan kebanyakan menyerupai virus corona yang ditemukan pada kelelawar dan trenggiling.
“Dua fitur virus ini, mutasi RBD pada protein paku dan tulang punggung virus yang berbeda, menegasikan manipulasi laboratorium sebagai asal SARS-CoV-2,” kata Andersen.
Kemungkinan asal virus
Berdasarkan analisa sekuensing genom, Prof. Andersen dan tim menyimpulkan ada dua skenario kemungkinan paling besar asal COVID-19.
Skenario pertama, virus bermutasi menjadi patogen yang berbahaya melalui seleksi alamiah di inang (host) non-manusia, dan kemudian berpindah ke manusia. Ini menjelaskan bagaimana wabah virus corona ini dulu muncul (tahun 2003 dan 2012), dengan manusia tertular virus setelah paparan langsung dari musang (SARS) atau unta (MERS).
Peneliti mencurigai kelelawar sebagai pembawa yang paling potensial untuk SARS-CoV-2, karena sangat mirip dengan virus corona kelelawar (salah satu jenis virus corona). Namun, tidak ada kasus penularan langsung dari kelelawar ke manusia yang terdokumentasi. Walau begitu, ini menunjukkan kemungkinan adanya keterlibatan inang perantara antara kelelawar dan manusia.
Skenario lainnya, virus yang masin non-patogenik berpindah dari hewan ke manusia kemudian bermutasi menjadi virus patogen (menyebabkan penyakit) dalam populasi manusia. Misalnya, beberapa virus corona dari tenggiling memiliki struktur RBD yang mirip dengan COVID-19. Virus tersebut bisa menular ke manusia, baik secara langsung atau melalui inang perantara, seperti musang.
Selanjutnya protein paku lain dari COVID-19 bisa berevolusi dalam inang manusia, mungkin melalui penularan terbatas yang tidak terdeteksi sebelum awal epidemi dalam populasi manusia.
Para peneliti menemukan bila situs pembelahan SARS-Cov-2, tampak mirip dengan situs pembelahan strain virus flu burung yang telah terbukti menular antarmanusia dengan mudah. COVID-19 dapat mengembangkan situs pembelahan yang ganas dalam sel manusia dan segera memulai penularan antarmanusia.
Salah satu penulis penelitian, Andrew Rambaut mengatakan bahwa sulit, bahkan mustahil, untuk mengetahui mana skenario yang paling mungkin. Jika COVID-19 masuk ke manusia dalam bentuk virus yang sudah patogen (dari hewan), itu berarti ada terjadinya wabah lain di masa depan, karena virus ini masih beredar di populasi hewan. (jie)