Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 340 juta anak usia 5-19 tahun di dunia mengalami kelebihan berat badan atau obesitas pada 2016. Pada anak usia <5 tahun, angkanya diperkirakan mencapai 39 juta pada 2019. Obesitas tak bisa diabaikan karena bisa menimbulkan berbagai penyakit. Intervensi gizi untuk mengatasi obesitas pada anak dan dewasa, mutlak dibutuhkan.
Peningkatan prevalensi obesitas pada anak juga diikuti dengan peningkatan prevalensi komorbiditas. “Misalnya peningkatan tekanan darah, aterosklerosis, hipertrofi ventrikel kiri, sumbatan jalan napas saat tidur (obstructive sleep apnea), asma, hingga sindrom metabolik,” papar Luthfianti Diana M, S.Gz, RD dari RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Pada dasarnya, obesitas terjadi karena asupan energi tidak seimbang (lebih banyak) dengan yang dikeluarkan. Makanan sehari-hari tinggi kalori dan lemak, sedangkan aktivitas fisik kurang dan metabolisme rendah. “Akibatnya, terjadi kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak,” jelas Diana, dalam webinar untuk dietisien yang diselenggarakan oleh OTC Digest dan PT Yakult Indonesia Persada, Sabtu (14/1/2023).
Intervensi Gizi untuk Mengatasi Obesitas pada Anak
Sebelum dietisien menentukan intervensi gizi untuk mengatasi obesitas pada anak, terlebih dahulu dilakukan anamnesis, untuk mengerucutkan penyebab obesitas. Dalam anamnesis, akan ditanyakan hal-hal seperti: kapan mulai terjadi obesitas, riwayat tumbuh kembang anak, riwayat pola makan dan aktivitas anak, hingga riwayat penyakit anak dan keluarga. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik, yang meliputi wajah, leher, dada, perut, genitalia, sampai tungkai.
Link Sertifikat Webinar Kesehatan tanggal 14 Januari 2023 (Mohon segera diunduh)
Penilaian antropometri anak sangat diperlukan. “Untuk anak usia 0-5 tahun digunakan Kurva Pertumbuhan dari WHO. Disebut overweight bila berat badan (BB) anak menurut usia berada pada persentil 2, dan obesitas pada persentil 3,” ujarnya. Adapun untuk anak usia 5-18 tahun menggunakan kurva antropometri dari CDC. Disebut overweight bila IMT (indeks massa tubuh) menurut usia berada di persentil 85 – 90, dan obesitas bila >P95.
Diana menegaskan, tata laksana gizi lebih dan obesitas pada anak harus disesuaikan dengan usia dan perkembangan anak. “Kebutuhan nutrisi diberikan sesuai dengan RDA atau Requirement Dietary Allowances,” ucapnya. Untuk itu diperlukan pola makan yang teratur, gizi seimbang, dan tinggi serat.
Untuk mudahnya, bisa digunakan pedoman Isi Piringku dengan bentuk T. Isi setengah piring bagian atas dengan buah dan sayur. Lalu, isi ¼ piring dengan protein (hewani dan nabati), dan ¼ piring dengan karbohidrat. “Asupan protein bisa lebih tinggi, yaitu 15 – 20% dari total kebutuhan. Untuk serat, anak usia di atas 2 tahun perlu asupan sebanyak usia anak ditambah 5 gr per hari. Jadi misalnya anak berusia 7 tahun, maka 7 ditambah 5 berarti 12 gr serat setiap hari,” tutur Diana.
Penurunan BB anak cukup sampai 20% di atas BB ideal. Perlu diperhatikan, di usia 0-3 tahun tidak perlu pengurangan kalori, “Cukup mempertahankan BB dengan mengembalikan pola makan yang benar sesuai usianya. Anak akan bertambah tinggi, jadi meski BB tidak berkurang, sebenarnya ia jadi lebih langsing,” imbuhnya.
Pada usia 4 – 6 tahun, asupan nutrisi diberikan sesuai kebutuhan. “Dalam keadaan terpaksa misalnya ada gangguan pernapasan atau anak susah bergerak, bisa dilakukan pengurangan 200 – 300 kkal dari asupan sehari-hari,” terang Diana. Adapun usia 7 – 18 tahun, dilakukan pengurangan 300 – 500 kkal dari asupan harian, dengan target penurunan BB 1 – 2 kg/bulan.
Selain perbaikan pola makan, juga diperlukan aktivitas fisik yang sehat dan diterapkan jangka panjang untuk mempertahankan berat badan tetapi tidak menghambat pertumbuhan dan perkembangan. Juga modifikasi perilaku, dan tak kalah penting yaitu lingkungan yang mendukung. “Keluarga juga perlu makan sehat dan berolahraga bersama anak. Jangan makan junk food, dan lain-lain di depan anak yang sedang diet,” tandas Diana.
Tatalaksana Obesitas pada Dewasa
Tatalaksana gizi untuk obesitas pada dewasa meliputi ADIME. Yaitu asesmen, diagnosis, intervensi, serta monitoring dan evaluasi. “Pada dewasa, obesitas dinilai berdasarkan IMT dan lingkar pinggang. Pada perempuan Asia yaitu >80 cm, dan pada laki-laki >90 cm,” ungkap Maria Dora Tri Yogyantini, S.Gz.,RD dari RS Panti Rapih, Yogkayarta.
Pemeriksaan biokimia juga diperlukan. Antara lain meliputi gula darah, profil lipid, fungsi liver, endokrin, serta penilaian kardiovaskular.
Intervensi gizi dilakukan dengan diet rendah energi dan gizi seimbang. Tujuannya yaitu mencapai dan mempertahankan status gizi sesuai umur dan kebutuhan fisik, serta memperbaiki komorbid seperti diabetes mellitus tipe 2, dan penyakit kardiovaskular.
Asupan energi dikurangi agar tercapai penurunan BB ½ - 1 kg/bulan pada mereka dengan IMT 27 – 35. Pada IMT >35, targetnya yaitu penurunan BB 2 – 4 kg/bulan. Secara umum, bisa ditargetkan penurunan 10% dari BB aktual. “Penurunan BB 5–15% selama 6 bulan adalah realistis dan terbukti bermanfaat bagi kesehatan,” ujar Dora. Pada IMT >35, bisa dipertimbangkan penurunan 20% atau lebih.
Ia menegaskan, pengurangan kalori dilakukan secara bertahap. “Untuk menurunkan ½ - 1 kg BB/minggu, asupan energi dikurangi sebanyak 500 – 1000 kkal/hari. Isi Piringku juga disarankan berbentuk T, seperti tatalaksana intervensi gizi untuk mengatasi obesitas pada anak. Asupan serat dianjurkan 20-35 g/hari. Bisa berasal dari sayur, buah, kacang-kacangan, biji-bijian, dan lain-lain.
Karbohidrat cukup 50-55% dari asupan energi total. Namun tidak boleh <100 g/hari untuk mencegah ketosis “Disarankan lebih banyak karbohidrat kompleks untuk memberi rasa kenyang, menghambat pengosongan lambung dan mencegah konstipasi,” ucap Dora.
Protein bisa diperbanyak, yaitu 1 – 1,5 g/kg BB setiap hari, atau 15-20% dari energi total. Protein sebaiknya dikombinasi antara nabati dan hewani, tapi hindari protein hewani yang mengandung lemak jenuh tinggi. Adapun lemak meliputi 20-25% dari asupan energi total. “Utamakan sumber lemak tidak jenuh (tunggal dan ganda). Lemak jenuh tidak disarankan,” tandas Dora.
Baik pada anak dan dewasa, disarankan makan teratur, dengan makan utama 3x, dan snack 2x. “Makanlah dengan piring kecil untuk mengontrol porsi. Kunyah makanan lebih lama, dan hindari menonton TV atau memegang HP saat makan,” tambahnya.
Peranan Probiotik
Tubuh kita dihuni oleh triliunan mikroorganisme. “Ada yang bersifat baik, dan bersimbiosis dengan tubuh kita. Namun ada juga yang bersifat kurang baik bila jumlahnya berlebihan,” ujar Ni Putu Desy Aryantini, S.KM., M.AFH., Ph.D dari PR Science PT Yakult Indonesia Persada. Bila terjadi disbiosis atau ketidakseimbangan mikrobiota usus, bisa muncul berbagai gangguan kesehatan, termasuk obesitas.
Penelitian oleh Vanesa K. Ridaura,dkk (2014) melakukan percobaan pada sejumlah tikus, dengan mentransplantasikan mikroba dari anak kembar yang berperawakan gemuk dan langsing. Sebagian tikus mendapat mikroba dari anak kembar gemuk, dan sebagian lainnya dari kembarannya yang langsing. Selama penelitian, semua tikus mendapat diet yang sama berupa pakan tinggi serat dan rendah lemak. “Hasilnya, ditemukan bahwa tikus yang mendapat transplantasi mikroba usus dari kembaran yang gemuk, cenderung menjadi gemuk dan sebaliknya,” ucap Desy.
Manfaat probiotik dalam obesitas juga telah dibuktikan dalam penelitian. Misalnya studi oleh Nagata S, dkk (2017). Sebanyak 12 anak obes diprogram untuk menjalani terapi diet dan latihan selama 6 bulan, lalu diberikan minuman susu fermentasi yang mengandung L. casei Shirota strain selama 6 bulan berikutnya.
Hasilnya, terjadi penurunan BB dan peningkatan kadar kolesterol ‘baik’ HDL yang signifikan, pada 6 bulan setelah konsumsi probiotik. “Juga terjadi peningkatan konsentrasi bakteri baik Bifidobacterium dan asam asetat pada feses setelah konsumsi probiotik, dibandingkan saat mula (baseline),” ujar Desy.
Sementara itu, studi pada subjek dewasa dilakukan oleh Naito E, dkk (2018), terhadap 100 orang obes dengan gejala pra diabetes. Mereka dibagi menjadi dua kelompok secara acak. Selama 8 minggu, satu kelompok mendapat susu fermentasi dengan L. casei Shirota strain, dan kelompok lainnya mendapat plasebo berupa susu tanpa kandungan probiotik. “Hasilnya, pada kelompok probiotik terjadi penurunan glukosa 1 jam post load, glikoalbumin, dan HbA1c dibandingkan saat mula,” terang Desy. Penurunan ini hanya terjadi pada kelompok probiotik, dan tidak tampak pada kelompok plasebo.
Probiotik bekerja dalam beberapa mekanisme, terkait tatalaksana obesitas. “Pertama, probiotik menjaga atau mengembalikan keseimbangan mikrobiota usus, sehingga jumlah mikroorganisme merugikan bisa ditekan,” papar Desy. Probiotik juga meningkatkan produksi asam lemak rantai pendek (SCFA) dan menurunkan pH usus.
SCFA berperan besar. Dia merupakan sumber energi bagi sel epitel usus, meregulasi fungsi kerja hormone yang berpengaruh terhadap rasa lapar dan kenyang, menjaga keragaman flora usus, serta memelihara struktur dan integritas sel epitel usus. “Disbiosis membuat sel-sel epitel usus merenggang sehingga racun dari usus bisa menyeberang ke pembuluh darah. Hal ini bisa menimbulkan inflamasi, yang turut berkontribusi terhadap munculnya obesitas dan penyakit kronis seperti diabetes,” pungkas Desy. (nid)
_____________________________________________
Ilustrasi: <a href="https://www.freepik.com/free-photo/overweight-squeeze-belly-fat-with-mea...">Image by jcomp</a> on Freepik