Hoax Produk Kesehatan | OTC Digest

Hoax Produk Kesehatan

Bebas gula, pangan organik, program diet ini-itu. Banyak produk yang menampilkan klaim kesehatan atau program penurunan berat badan (BB) dengan cepat dan mudah. Tidak jarang, klaim itu hanya hoax, bohong. “Ada kesadaran masyarakat untuk hidup sehat. Trennya meningkat, tapi sering salah informasi,” ungkap Jansen Ongko, M.Sc, R.D, ahli gizi yang aktif di APKI (Asosiasi Pelatih Kebugaran Indonesia) saat bincang-bincang di Forum Ngobras di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menurut penulis buku elektronik Kontroversi Kalori dan We Are What We Eat ini, manusia cenderung mencari hal yang mudah dan instan, karena lebih menggiurkan ketimbang memperbaiki gaya hidup. Bila akan menghadiri acara spesial, seseorang terutama perempuan merasa harus langsing. Kalau bisa dalam waktu sesingkat-singkatnya. Intinya, “Ingin sehat dan langsing, tapi tidak mau menjaga pola makan dan rutin berlatih fisik.”

Situasi ini membuat kebutuhan akan produk “sehat” meningkat. Dalam dunia ekonomi, permintaan akan diikuti suplai. Jangan heran bila bermunculan produk “sehat” dan program diet instan. Bisnis ini mendatangkan pendapatan besar. “Khasiatnya belakangan,” tegas Jansen.

 

Produk hoax = bombastis

Tidak sulit, sebenarnya, mengenali produk hoax. Ciri utamanya, klaim berlebihan (overclaim), instan dan “eksklusif”. Bahwa hanya produk tersebut yang berkhasiat, atau cukup pakai produk itu saja tidak perlu memakai produk lain. Sedangkan, tidak ada satu pun makanan yang bisa mewakili semua kebutuhan gizi. “Tidak ada makanan tertentu yang bisa membuat kita sehat wal afiat. Tidak ada yang langsung membuat kita sakit, kecuali makanan itu beracun atau terkontaminasi,” papar Jansen.

Agar kebutuhan nutrisi terpenuhi, kita perlu mengonsumsi jenis makanan dari berbagai sumber pangan, dan berwarna-warni; minimal tiga warna /hari. “Nggak susah. Misalnya kita makan nasi putih, sayur hijau, jeruk kuning. Itu sudah tiga warna,” ucap ahli diet dan nutrisi Leona Victoria Djajadi. Sepiring capcay atau seporsi rujak, juga mencakup tiga warna.

Masih banyak yang beranggapan, diet terbaik adalah yang paling cepat menurunkan BB. Justru, perlu hati-hati dengan program diet seperti ini. “Makin cepat, makin berbahaya,” tegas Jansen. Bila mengalami perubahan drastic, tubuh akan mencoba membalikkan keadaan. Terjadi rebound effect; turun 10 kg, naik 15 kg. ini juga berhubungan dengan ketidakseimbangan hormone, yang muncul akibat BB turun drastis.

“Paling bagus adalah yang stabil dan bertahap, lalu dijadikan gaya hidup,” imbuh Jansen. Idealnya, turun 3-5% dari BB sebulan. Perbaiki pola makan, aktivitas fisik dan pola tidur. Selama kebiasaan tidak diubah, penurunan BB tidak akan berhasil. “Jangan hanya mencari solusi, tapi cari akar penyebab kegemukan. Cabur akarnya,” tegasnya. Lanjutkan kebiasaan yang baik bila sudah langsing. Cara ini lebih fair dan sehat.

Menjadi sehat dan menjadi kurus adalah dua hal berbeda; kurus belum tentu sehat. Tubuh bisa  kurus tapi lemak tubuh dan kolesterol tinggi. Jangan terbuai bujuk rayu program diet yang menawarkan cepat kurus. Pelajari, bagaimana system penurunan BB-nya, apakah sesuai kaidah kesehatan.

Tidak jarang produk hoax mahal, membuat kita yakin bahwa produk itu bagus dan berkhasiat. Sebaiknya mencari referensi ilmiah, sebelum memutuskan. Jangan mudah percaya dengan marketing bonus atau embel-embel “bebas alergi”, “rendah lemak”, “organik” dan sebagainya. “Ini halo effect; membuat makanan yang sebenarnya biasa-biasa saja,  jadi terkesan sangat sehat,” tambah Jansen.

 

Baca label nutrisi

Untuk menilai suatu poduk sesuai dengan klaimnya, baca baik-baik kandungan nutrisinya. “Yang dibaca jangan klaim yang di depan, tapi kotak panel info nutrisi di belakang kemasan,” tegas Leona. Misalnya, klaim mengandung vitamin C. “Ternyata di label nutrisi, vitamin C ada di bawah dan kadarnya cuma 0,01%. Betul mengandung, tapi tidak signifikan dan tidak berkhasiat apa-apa,” imbuhnya.

Perhatikan takaran saji dan jumlah sajian per kemasan. Misalnya, takaran saji pada bekatul 30 gr dan jumlah takaran sajinya 7. Maka satu kemasan dibagi untuk 7x konsumsi. Perhatikan kandungan karbohidrat total, garam dan lemak produk. Leona menyayangkan, “Di Indonesia, belum semua produk makanan wajib mencantumkan info nutrisi.” Keluaran produsen besar dan dijual di pasar swalayan pun belum semuanya dilengkapi info nutrisi. Bayangkan  produk rumahan yang tanpa registrasi BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan).

Tren kembali ke alam memunculkan klaim pangan organik dan produk rumahan dengan embel-embel organik, bebas gula dan sebagainya. Di Indonesia, belum ada aturan tegas mengenai pencantuman label organik. Sertifikat label makanan organik yang resmi yakni Bio Cert, diterbitkan Kementrian Pertanian. Untuk pangan olahan organik, belum ada ketentuannya. “Kalau di Australia, 95% sumbernya harus tersertifikasi organik. Di Indonesia semua bisa mengklaim bahwa produknya organik,” tutur Leona.

Di bazaar atau kios makanan organik ada minuman dengan klaim zero sugar, tapi sangat manis. “Begitu ditanya, memang tidak pakai gula (putih) tapi pakai brown sugar atau madu. Itu juga gula,” ujar Jansen.

Menjadi sehat sebenarnya hanya butuh konsistensi. “Banyak yang gagal karena tidak konsisten dan termakan hoax,” tandas Jansen. (nid)

 

Organik, Betulkah?

 

Beberapa produk pangan yang mencantumkan label organik tertentu. Tiap label memiliki arti berbeda.  “USDA Organik” berarti produk tersebut mengandung 95% bahan organik. “Dibuat dengan Komposisi Organik” berarti mengandung sedikitnya 70% bahan organik. “Mengandung Bahan Organik”  berarti mengandung <70% bahan organik. “Natural” berarti mengandung 100% bahan alami, tanpa pengawet dan pewarna sintetis; “GMO Free” berarti produk tidak mengandung rekayasa genetika.

Untuk produk hewani, label “Free Range” berarti hewan tersebut bebas hidup berkeliaran di habitat aslinya, tidak dikurung di kandang. “No Hormones Added” maksudnya hewan tidak disuntik hormon apapun. Masalahnya, karena belum ada regulasi baku di Indonesia, kita tidak bisa sepenuhnya percaya pada label. (nid)

 

 

Bersambung ke: Hoax yang Ngetren