Taufik Ismail: Sehat, Modal untuk Berkarya | OTC Digest

Taufik Ismail: Sehat, Modal untuk Berkarya

Delapan puluh satu tahun usia, penyair Taufik Ismail belum ada tanda-tanda akan berhenti berkarya. Beratus puisinya, terasa syahdu saat dilantunkan pemusik Bimbo, menggetarkan ketika diiringi biola Idris Sardi dan menggugah saat dibacakan langsung oleh sang penyair. 

Kelahiran Bukittinggi, 25 Juni 1935, ini membangun Rumah Puisi di pertemuan kaki Gunung Singgalang dan kaki Gunung Marapi, Sumatera Barat. Muncul di TV dan diundang perusahaan multi nasional, termasuk PT Unilever Indonesia di mana ia pernah menjadi manager, untuk membaca puisi. Pada 25 Agustus 2014, ia diundang Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono ke Istana Cipanas. Dalam acara silaturahmi bersama seniman dan budayawan itu, ia membacakan 3 puisi karya SBY.

Taufik tetap aktif dan terus berkarya karena punya “modal”.

“Sehat,” katanya. “Itu modal saya untuk dapat melaksanakan rencana-rencana dalam kehidupan.”

Ayah satu anak dan kakek dua cucu ini memupuk “modal” sejak masa kanak-kanak sampai lulus Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan UI (kini IPB) Bogor dan menjadi penyair. Ayahnya KH Abdul Gaffar Ismail (almarhum) mengajarkan hal sederhana:  berhenti makan sebelum kenyang, seperti dicontohkan Nabi Muhammad SAW.

“Sederhana tetapi prakteknya terkadang tidak mudah,” katanya.

Apalagi orangtuanya berasal dari Sumatera Barat, yang cenderung memasak masakan bersantan termasuk rendang. Untungnya, “Makan rendang hanya sesekali, karena daging mahal.” Menyadari masakan berkuah santan kurang baik untuk kesehatan, ia mencoba menghindari. Seiring perjalanan waktu, ia berubah tidak suka pada makanan berkuah santan. Sampai sekarang.

Tidak suka santan karena dilarang dokter? Taufik menggeleng. “Karena pengaruh bacaan,” kata Taufik yang sejak kecil gemar membaca buku sastra, sejarah, politik dan agama.

Sejauh yang diingat, makanan berkuah santan tidak sampai mengganggu kesehatannya. Daging kambing justru yang ia rasakan pengaruhnya. Wasirnya kumat kalau makan daging kambing. Maka, ia berhenti makan daging kambing dan, “Wasir saya hilang.”

Ada yang tidak diprogram, tetapi kemudian dia lakukan sejak sekitar 10 tahun lalu: mengurangi makan nasi. Makan siang, nasi cukup beberapa suap. Makan malam, nasi lebih sedikit lagi. Makan pagi?

“Havermut, kecap dan bubuk rendang,” ujarnya.

Mengurangi nasi membuatnya merasa lebih sehat.Mengurangi asupan karbohidrat, tampaknya sejalan dengan nasihat sang ayah, agar berhenti makan sebelum kenyang.

 

Durian, rokok

Durian dan rokok termasuk yang dihindari Taufik. Ada riwayatnya. Tahun  1961-an saat menjadi mahasiswa di Bogor, suatu malam asisten rumahtangga (lelaki) di tempat kost, berguling-guling di lantai sambil memegangi perit dan menjerit kesakitan. Ia dibawa ke dokter dan disimpulkan, derita pasien itu karena ia kebanyakan makan durian.

“Belum pernah saya melihat orang kesakitan seperti itu,” katanya, dan sejak itu ia tidak pernah tertarik makan durian.

Derita akibat rokok lebih dahsyat. Terasa sangat menyakitkan, karena korbannya adalah saudara dekat. Suatu hari ketika ke Padang, Taufik singgah ke rumah kerabat dekatnya itu. Bibirnya pucat dan tangannya yang memegang rokok terlihat gemetar. Ia  sudah kecanduan rokok, dan tidak ada nasihat yang mampu membuatnya berhenti merokok. Pernah dibawa ke Jakarta untuk berobat, tapi gagal. Akhirnya, dia meninggal di usia sekitar 50 tahun.

“Kami menangisi kepergiannya,” ujar Taufik. “Dia guru besar di perguruan tinggi terkemuka di Padang. Menjadi kebanggaan karena satu-satunya yang bergelar profesor dalam keluarga.”

Dengan kepedihan yang mendalam, Taufik mengumpulkan informasi soal rokok yang membuatnya tercengang. Korban narkotika 45 mati/hari. Korban lalu lintas 65 mati/hari. Nazi menghabisi 30 juta jiwa selama15 tahun. “Menurut WHO, kematian karena rokok di dunia 5 juta/tahun. Fantastis!”

Ada yang berkata: kalau rokok berbahaya mengapa tidak diharamkan? “Al Qur’an tidak menyebut, karena rokok baru ada belakangan,” ujar Taufik.

 

Debu di Atas Debu

Selain sebagai penyair, Taufik adalah pendiri majalah sastra Horison dan pendiri Dewan Kesenian Jakarta. Pernah menjadi Wakil General Manager Taman Ismail Marzuki (TIM), Ketua Lembaga Pendidikan dan Kesenian Jakarta (LPKJ), dosen IPB & Fakultas Psikologi UI dan Ketua Umum Lembaga Kesenian Alam Minangkabau.

Ketika menjadi pengurus Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan tinggal di komplek TIM, ia senang karena bisa olah raga jalan cepat 20-30 menit setiap hari.

“Pagi hari TIM terasa luas. Belum ada mobil parkir, udara segar,” ujarnya.

Sekitar 10 tahun kemudian, ia pindah ke Utan Kayu dan berolahraga di halaman IKIP Rawamangun (kini UNJ). Atau cukup senam di rumah. 

Sebagai mantan karyawan Unilever, Taufik mendapat fasilitas melakukan medical check up 2-3 kali setahun, sepanjang usianya. Secara umum kesehatannya baik. Dokter kadang memberi obat bila kadar kolesterol, gula darah, tensi atau asam uratnya di atas normal.

Usia sekitar 50-an, ia terkena prostat, “Rasanya sakit sekali.” Ia dirawat di rumah sakit dan menjalani operasi. Banyak penderita prostat yang kemudian harus menjalani operasi ulang. Alhamdulillah, prostat Taufik tidak pernah kambuh lagi.

Yang masih dirasakan dalam 10 tahun terakhir ini adalah gangguan insomnia (susah tidur). Awalnya ia minum obat dari dokter sebelum tidur. Bosan, ia berusaha tidak minum obat. Caranya, menjelang waktu tidur  ia berbaring di tempat tidur. “Mata dipejamkan sambil dzikir.” Sekarang, ia bisa tidur tanpa harus minum obat. Jam 03.00 dini hari kadang ia bangun untuk solat tahajud.

Tahun  2014 kumpulan puisinya “Debu di Atas Debu” (Dust on Dust) diterbitkan dwi bahasa (Indonesia – Inggris) hasil terjemahan Prof. Dr.  Amin Sweeney dari California University, Berkeley, Amerika Serikat. Buku setebal 1619 halaman (3 jilid) ini berisi 816 puisi. Ke dalam bahasa Arab, Turab Fawqa Turab  (111 puisi, 514 halaman) diterjemahkan Prof. Dr. Nabilah Lubis dari Universitas Islam Negeri, Jakarta.

Sebelumnya, puisi Taufik sudah diterjemahkan dalam basaha Jawa, Sunda, Inggris, Jepang, China, Belanda dan Rusia. Bagi Taufik, yang dilakukan se  mata adalah respon terhadap situasi dalam masyarakat, sekaligus kontribusinya sebagai seorang warna negara.